Read Time:2 Minute, 33 Second
Maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Kasus tersebut menjadi prahara yang harus ditangani dengan serius. Menurut Badan Pusat Statistik, tercatat satu dari tiga perempuan pada usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual selama hidupnya.
Seperti halnya kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakartabaru-baru ini terungkap. Kasus pelecehan dilakukan mahasiswa teknik UGM berinisial HS terhadap rekannya saat melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Seram, Provinsi Maluku, pada 2017 lalu.
Tak hanya itu, kasus serupa juga terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pasalnya ada dua mahasiswa baru (Maba) mengaku menerima pelecehan seksual. Pelecehan ini terjadi pada hari pertama Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) tahun 2017 lalu, mirisnya lagi pelecehan dilakukan oleh panitia penyelenggara.
Bahkan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung pelecehan seksual dilakukan oknum dosen kepada mahasiswinya. Seorang dosen yang seharusnya memberikan contoh yang baik kepada mahasiswanya, malah melakuka hal yang memalukan. Pelecehan seksual tersebut dilakukan dosen dengan bermoduskan akademik.
Namun dari beberapa kasus yang terjadi, tak banyak kampus terbuka untuk menindak lanjuti perihal kekerasan seksual dengan alasan nama baik instansi. Hal ini menjadikan proses penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus terhambat dan tidak berjalan lancar. Tidak hanya itu, bahkan kasus tersebut seakan-akan hilang dibawa angin tanpa ada kelanjutan proses penanganan yang jelas.
Belum lagi dampak psikologis yang diterima oleh seseorang yang mengalami pelecehan seksual. Seseorang yang menjadi korban pelecehan seksual mengalami stres berat, mereka mungkin akan sulit berbicara atau menceritakan langsung mengenai tragedi yang menimpanya. Bahkan rasa takut seseorang yang mengalami pelecehan seksual berakibat pada trauma berat terhadap kehidupan korban.
Ditinjau dari kasus pelecehan seksual, ada modus di mana pelaku menjalin hubungan yang baik dengan korban, setelah terjalin kedekatan pelaku menawarkan bantuan, atau iming-iming tertentu. Ketika kedekatan emosional itu, mengakibatkan sang korban tidak kuasa menolak permintaan pelaku. Akibat kedekatan emosional yang terjalin antara keduanya, korban akan merasa segan menolak, karena takut mengecewakan atau merasa berhutang kepada orang yang sudah baik kepadanya.
Setelah sang korban merasa tidak berdaya, pelaku akan melakukan kehendaknya. Begitu juga kekuasaan yang sering disalahgunakan dalam aksi pelecehan seksual. Seperti halnya kasus pelecehan seksual di UIN Bandung , sang dosen merasa mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari korban yang hanya mahasiswi. Hal seperti itulah pemicu terjadinya kekerasan seksual di dunia pendidikan.
Tak banyak korban yang mau angkat bicara atau melaporkan kekerasan seksual yang dialami, terlebih dalam konteks kampus. Ada banyak hambatan yang membuat mereka merasa takut untuk melapor . Seperti halnya takut tidak ada perlindungan bagi pelapor atau sang korban takut aibnya diketahui oleh orang lain.
Pelecehan seksual merupakan kejahatan bentuk tindak pidana yang harus diselesaikan dengan hukum berlaku. Pelaku pelecehan seksual dapat dijerat berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 289 sampai dengan pasal 296 selama-lamanya Sembilan tahun penjara.
Seharusnya pihak kampus mampu menangani kasus pelecehan seksual sesuai hukum. Bukan sebaliknya, malah menutup-nutupi atau bahkan bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan alasan nama baik instansi. Karena kasus tersebut menyangkut hidup seseorang, jadi harus ditindak lanjuti sesuai Undang-Undang yang berlaku.
SA
Average Rating