Read Time:2 Minute, 49 Second
Oleh: Muhammad Teguh Saputro*
Persoalan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi primadona di antara mahasiswa—tidak hanya kali ini saja. Dapat dibilang, UKT menjadi klise sejak kehadirannya pada 2017 silam dan sudah ditolak oleh sebagian gerakan dan kelompok organisasi mahasiswa. UKT tercatat setiap tahunnya menjadi narasi utama yang digaungkan di tiap orasi para mahasiswa yang mengaku aktivis-aktivis kampus.
Banyak narasi yang dialamatkan pada UKT, satu yang paling familiar adalah komersialisasi pendidikan—sebuah usaha menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan. Artinya, siapa yang merasakan adalah yang mampu membelinya—sebuah pengkhianatan terhadap amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31.
Penolakan yang sudah berjalan tiga tahun ini melahirkan dua arus pemikiran yang menegasikan massa mahasiswa dan gerakannya. Pertama, mereka yang sejak awal dan sampai hari ini menolak pemberlakuan UKT (secara keseluruhan; sistem dan mekanisme penerapannya). Dalam tuntutan sederhananya, arus pertama ini menggaungkan Tolak UKT. Kedua, mereka yang selama ini tidak merasa keberatan dengan UKT sebagai suatu sistem, tetapi merasa keberatan dengan permasalahan ketidaksesuaian golongan yang didapat oleh para mahasiswa. Arus ini sangatlah besar, bisa dibilang Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U) pun cenderung sama.
Imbasnya, dalam 3 tahun hidup berdampingan dengan UKT, mahasiswa belum pernah melahirkan suatu gerakan yang benar-benar progresif. Sekadar diskusi-diskusi terbuka, audiensi-audiensi omong kosong, dan advokasi-advokasi yang angka keberhasilannya sangatlah kecil.
Dampak pandemi Covid-19 turut menggebuk seluruh lapisan ekonomi masyarakat sehingga mengantarkan dua arus tersebut berada dalam satu titik yang sama—lebih luas lagi. Sama-sama merasa keberatan menganai pemberlakuan UKT di tengah pandemi, sama-sama berpikir untuk harus peduli menganai persoalan UKT. Hal itu terbukti dengan ramainya aspirasi dan kritik mahasiswa di berbagai laman media sosial—Twitter, Instagram, dan Whatsapp. Hampir semuanya sepakat bahwa pandemi berdampak pada tiap individu mahasiswa dan keadaan ekonomi keluarganya. Memberikan keringanan UKT oleh Kementrian Agama ataupun pihak universitas sendiri seharusnya adalah suatu kewajaran.
Di titik inilah, patut dipertanyakan kembali arah perjuangan yang harus disepakati—menolak UKT sebagai suatu sistem atau sekadar melahirkan kebijakan keringanan UKT di masa pandemi? Putuskanlah sebelum lebih jauh perjuangan melangkah, sebelum masturbasi-masturbasi sia-sia kembali diterima.
Masturbasi-Masturbasi Perjuangan
Kala ini, mahasiswa masih menjalani perkuliahan mereka sebelum Ujian Akhir Semester menyambut. Jadwal pembayaran UKT masih sekitar satu bulan lagi, mahasiswa beserta gerakannya masih mempunyai kesempatan lebih matang dalam menyiapkan segala amunisi perjuangan. Mulai dari landasan tuntutan, dialog solidaritas, atupun persiapan teknis mengenai tim dan massa aksi. Dari semua persiapan yang harus disiapkan, penting adanya untuk memanfaatkan momen berada dalam satu titik yang sama—peduli UKT—adalah mempelajari kesalahan dari perjuangan sebelumnya.
Jika sudah tiga tahun UKT diberlakukan, artinya 75% mahasiswa merasakan pemberlakuan sistem UKT jika sederhananya ada empat angkatan mahasiswa aktif. Jika dalam kurun waktu tiga tahun tersebut UKT dapat diterapkan tanpa hambatan penolakan berarti, artinya sebagian besar mahasiswa bersikap menerimanya—meski mungkin beberapa secara terpaksa. Logika sederhana tersebut menyiratkan, sangatlah kecil kemungkinan gerakan mahasiswa berhasil kalau memakai narasi utama tolak sistem UKT secara kesuluruhan.
Gerakan juga menjadi tumpul jika aktor-aktornya bersifat eksklusif—artinya, hanya digerakkan Dema-U serta beberapa fakultas yang seafiliasi arah politik ekstra kampus. Perlu dibentuk semacam aliansi inklusif, mencakup seluruh organisasi intra, komunitas, individu, dan membersihkan diri dari organisasi eskternal kampus serta melempar jauh-jauh penokohan figur. Tujuannya supaya gerakan kali ini tidak lagi menjadi sebuah masturbasi—menikmati perjuangan tanpa esensi keberhasilan.
*Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta.
Average Rating