Selamatkan Bumi, Cegah Perubahan Iklim

Selamatkan Bumi, Cegah Perubahan Iklim

Read Time:5 Minute, 34 Second

 

Selamatkan Bumi, Cegah Perubahan Iklim

Bencana iklim mendatangkan malapetaka di seluruh dunia. Jutaan orang kehilangan rumah, mata pencaharian, dan kehidupan mereka. Diperlukan solidaritas global dalam pertandingan melawan krisis iklim. Gaya hidup ramah lingkungan menjadi pilihan.


Perhelatan konferensi iklim dunia COP26, yang digelar di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober—13 November lalu, oleh sejumlah kalangan, dinilai belum cukup untuk mencegah malapetaka perubahan Iklim. Berita mengenai ancaman perubahan iklim dari belahan dunia terus bergulir. Hal ini memicu para aktivis lingkungan dan korban dari bencana iklim terus bersuara.

Hasil dari konferensi itu: tak ada negara yang sepakat menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Cina dan India adalah negara terdepan yang lebih memilih kata “mengurangi” ketimbang “menghentikan” penggunaan bahan bakar fosil. Pasar karbon dan upaya dekarbonasi atau net zero, juga menjadi perbincangan para pemimpin dunia dalam COP26 kemarin. 

Krisis iklim menyebabkan timbulnya kerugian dan kerusakan. Berdasarkan data Office for the Coordination of Humanitarian Affairs  (OCHA), tahun lalu, 12 dari 20 negara yang rentan mengalami dampak perubahan iklim, menyerukan bantuan kemanusiaan antarlembaga. Sementara itu, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan, terjadi peningkatan pemanasan bumi lebih dari 1,1 derajat celcius. 


Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah memperkirakan, ketika ada bencana iklim, jumlah orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan dapat berlipat ganda menjadi lebih dari 200 juta pada tahun 2050. Sementara kebutuhan dana kemanusiaan, dapat meningkat menjadi US$20 miliar tiap tahunnya pada 2030.

Sejumlah kalangan berharap, hasil dari COP26 Glasgow mampu memberikan solusi untuk menghentikan bencana iklim. Ketidaksepakatan sejumlah negara untuk mengurangi emisi karbon, dinilai menjadi pertanda bahwa belum adanya harapan baik untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim.  

Ketua Solidaritas Perempuan, komunitas yang berfokus pada isu perempuan dan lingkungan, Dinda Annisa Nuur Yura, biasa disapa Caca, mengatakan bahwa  bencana iklim global merupakan isu yang perlu diperhatikan semua kalangan. ‘’Bahkan secara keseluruhan krisis iklim ini akan berdampak pada kepunahan kehidupan dan peradaban,’’ kata Caca kepada institut, Minggu (28/11).

Caca juga sangat menyayangkan, masih banyak orang yang belum sadar mengenai dampak perubahan iklim. ‘’Dampaknya sudah terasa dan mengorbankan banyak orang, namun tidak banyak yang memahami keterkaitannya dengan krisis iklim.’’ Salah satu kebijakan Pemerintah Indonesia, kata Caca, yang belum sepenuhnya memperhatikan aspek iklim, adalah pembangunan yang masih bertumpu pada bahan bakar fosil dan industri ekstraktif.

Kepada Institut Caca mengatakan, kebijakan pencegahan dan penanggulangan iklim yang dilakukan pemerintah juga tidak lepas dari kepentingan investasi. Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pembukaan COP26, yang berfokus pada pengembangan potensi sumber daya alam dan harapan akan kontribusi negara maju, tak ubahnya menjadikan aksi-aksi iklim sebagai sarana investasi. 

Akibatnya, kesepakatan itu tidak menghasilkan proyek yang sejalan dengan inisiatif atau kebutuhan komunitas yang selama ini memiliki kemelekatan dengan alam. “Melainkan skema proyek yang justru banyak memporakporandakan tatanan sosial masyarakat,’’ tegas Caca.

Caca, yang turut hadir dalam konferensi COP26 itu juga berkata, upaya menurunkan emisi karbon yang digagas sejumlah negara, hanyalah kamuflase dari proyek-proyek iklim palsu. Kesepakatan itu, kata Caca, tidak benar-benar melahirkan komitmen untuk mengurangi polusi. “’Sejak awal, pidato para pemimpin negara termasuk presiden Indonesia dipenuhi dengan klaim,’’ pungkas Caca. 

Kegelisahan Generasi Muda 

Menyadari bahaya dampak perubahan iklim, mahasiswi Magister Studi Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan di University College London, Dhita Mutiara Nabella, pada 2020 lalu, berinisiatif mendirikan sebuah komunitas bernama Cerita Iklim. Gerakan itu berfokus untuk mengedukasi dan menyebarluaskan isu seputar perubahan iklim ke masyarakat.

Dhita mengaku, alasan terbesarnya untuk menggagas Cerita Iklim adalah ingin berbagi ilmu. Untuk menyukseskan gerakannya, Dhita kerap dibantu oleh sejumlah peneliti di bidang lingkungan hidup. ‘’Sayang banget kalau ilmu dan informasi dari para expert tentang perubahan iklim itu tidak disebarluaskan’’, kata Dhita, Minggu (7/11).

Menurut Dhita, semua elemen masyarakat harus tergerak untuk mencegah perubahan iklim. Melalui Cerita Iklim, dia berharap gerakannya itu mampu menjadi wadah pemersatu dan penjalin relasi untuk menyebarkan informasi yang berkaitan dengan perubahan iklim. ‘’Banyak orang yang tidak tahu kalau satu orang emisi di negara maju sama dengan lima puluh orang di negara berkembang.” Informasi seperti itu, menurut Dhita, sudah seharusnya diketahui oleh masyarakat.

Sama seperti Dhita, mahasiswa Magister Entomologi Institut Pertanian Bogor (IPB), Rosyid Amrullah, juga mengalami kegelisahan yang sama soal krisis iklim. Dalam wawancara bersama Institut, Rosyid mengungkapkan, tanpa disadari, perubahan iklim itu disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri. “Tak bisa dipungkiri kebutuhan manusia yang banyak dan beragam menjadi faktor terbesar dari perubahan iklim’’, ujar Rosyid, Minggu (7/11).

Ketertarikan Rosyid terhadap isu perubahan iklim membuatnya tergerak mengikuti Training Climate Reality Leadership Project pada 2020 lalu. Diakui Rosyid, training tersebut memberinya banyak pengalaman dan pengetahuan baru tentang perubahan iklim. ‘’Di training ini juga aku bisa mendapatkan banyak hal baru terkait dampak dan pengaruh perubahan iklim sendiri yang ternyata sangat komprehensif,” kata Rosyid. 

Menurut Rosyid perubahan iklim adalah kasus yang tidak bisa diselesaikan secara struktural. Perubahan iklim, menurut dia, juga mempengaruhi berbagai sektor seperti ekonomi; kesehatan; dan pendidikan. Sebagai contoh, krisis iklim bisa mempengaruhi musim serta hasil panen para petani. 

‘’Kalau tidak panen di musim yang semestinya, maka para petani kehilangan pendapatannya, lalu kesulitan memenuhi kebutuhannya dan akhirnya si petani itu jatuh sakit. Jadi dampaknya itu berlipat,’’ pungkas Rosyid. 

Green Life Habits

Green life habits atau kebiasaan hidup ramah lingkungan menjadi pilihan terbaik dalam mencegah perubahan iklim. Hal inilah yang dilakukan Melati, salah satu karyawan swasta di Jakarta. Beberapa tahun terakhir, Melati mengaku sudah berupaya menjalankan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. ‘’Green life habits saya semakin intens sejak pandemi melanda, karena banyak waktu di rumah saya jadi lebih memperhatikan jumlah sampah yang saya hasilkan,’’  tutur Melati, Sabtu (20/11). 

Melati juga berusaha mengajak keluarga dan tetangganya untuk menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan. Dia mengaku gemar mengajak tetangganya untuk memilah sampah. “Tetangga-tetangga sekitar rumah juga saya ajak untuk memilah sampah yang mereka hasilkan,’’  kata Melati.

Usahanya tersebut tidak sia-sia. Selama enam bulan terakhir, Melati berhasil mengajak sekitar 30 Kepala Keluarga (KK) di RT-nya untuk berpartisipasi dalam memilah sampah anorganik dan menyetorkannya secara rutin ke bank sampah kelurahan. Berat sampah yang berhasil ia himpun mencapai satu ton. “Terkumpul setidaknya satu ton sampah anorganik yang berhasil dialihkan dari tempat pembuangan akhir, untuk didaur ulang,’’ pungkas Melati. 

Menerapkan green life habits dapat dimulai dari hal kecil. Seperti dilakukan Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya, Yanti Fristikawati. Sedari SMA, Yanti kerap diminta untuk menyiram tanaman di rumahnya. ‘’Kebetulan tugas saya di rumah adalah menyiram tanaman dan saya senang melakukannya,’’  ucap Yanti, Selasa (23/11).

Yanti merasa jauh lebih dekat dengan alam ketika dirinya sedang menyiram tanaman. Kepeduliaan Yanti terhadap lingkungan juga ia tularkan kepada keluarganya, dengan menyuruh membiasakan diri untuk menyiram tanaman, serta mengurangi penggunaan sampah plastik. ‘’Menurut saya manusia adalah bagian dari alam jadi kita harus menjaga alam untuk kesejahteraan manusia juga,’’  pungkas Yanti.


Firda Amalia Putri

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Rape Culture Hantui UIN Jakarta Previous post Rape Culture Hantui UIN Jakarta
Hak Buruh Perempuan Terabaikan Next post Hak Buruh Perempuan Terabaikan