Carut-Marut Revisi UU Penyiaran

Carut-Marut Revisi UU Penyiaran

Read Time:2 Minute, 26 Second
Carut-Marut Revisi UU Penyiaran

Jelang hasil Revisi UU Penyiaran diputuskan, kebebasan pers terancam. Para jurnalis, pers mahasiswa, dan organisasi pro demokrasi berserikat menyuarakan tuntutan penolakan.


Koalisi pekerja media, pers mahasiswa, dan organisasi pro demokrasi melakukan unjuk rasa di depan Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Senin (27/5). Melalui aksi ini, massa menuntut pembatalan revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang berpotensi membungkam kebebasan pers.

Pawai jurnalis membuka aksi yang dimulai dari Jalan Gerbang Pemuda sampai ke depan Gedung MPR-DPR RI di Jalan Gatot Subroto. Dilanjut dengan melantangkan orasi dari berbagai elemen jurnalis.

Sebelumnya, pada Kamis (23/5), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengundang berbagai organisasi profesi wartawan dan organisasi masyarakat sipil pro demokrasi untuk konsolidasi secara daring terkait Rancangan UU (RUU) Penyiaran. Konsolidasi tersebut menghasilkan suatu kesepakatan untuk menggelar aksi penolakan terhadap RUU Penyiaran.

Dalam siaran pers Aksi Tolak Revisi UU Penyiaran, terdapat beberapa tuntutan yang tertulis di dalamnya. Pertama, membatalkan seluruh pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran. Kedua, melibatkan dewan pers, gabungan pers mahasiswa, dan organisasi pro demokrasi dalam pembahasan RUU Penyiaran. Ketiga, memastikan perlindungan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dalam setiap peraturan perundang-undangan.

Dalam orasinya, Sekretaris AJI Jakarta, Marina Nasution menggaungkan penolakan terhadap RUU Penyiaran dengan sangat lantang. “Revisi UU Penyiaran akan berdampak sampai lima tahun ke depan, dan bisa ke tahun-tahun berikutnya,” soraknya, Senin (27/5).

Hadirnya anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan menjadi bentuk dukungan atas aksi dan penerimaan aspirasi masyarakat. Revisi UU Penyiaran merupakan konsekuensi dari masuknya klaster penyiaran di UU Cipta Kerja. Jadi, induk undang-undang tersebut harus direvisi sesuai kesepakatan bersama.

Namun, ketika membuka revisi suatu undang-undang, akan timbul konsekuensi berbagai upaya untuk mengubah pasal-pasal yang lain. “Maka, ada banyak kepentingan-kepentingan yang masuk, salah satunya pasal-pasal untuk melakukan represi terhadap kebebasan pers,” terangnya, Senin (27/5).

Farhan juga mengakui, dirinya tidak ikut menyetujui UU Penyiaran masuk ke dalam ranah pers karena pers telah diatur dengan perundang-undangan tersendiri. “Walaupun produk jurnalistik televisi masuk penyiaran, tetapi UU Pers dengan tegas menyatakan produk jurnalistik harus berada di bawah UU Pers,” lanjut Farhan.

Salah seorang massa aksi dari organisasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Iyung Rizki berpendapat, kegiatan jurnalistik semestinya diatur dalam UU Pers. Akan tetapi, dalam RUU Penyiaran, UU Pers tidak diikutsertakan dalam mengawasi produk jurnalistik.

Rizki juga mengatakan akan terus menuntut pemerintah jika RUU Penyiaran tersebut disahkan. Dirinya tidak ingin ada ruang yang membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. “Jadi, (harapannya) pers tetap berdiri tegak, merdeka, dan independen,” ucap Rizki, Senin (27/5).

Selaras dengan Rizki, Marina juga menyatakan, AJI bersama organisasi lainnya bersekutu untuk melawan ancaman kebebasan pers lewat pasal-pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran. 

Marina juga mengungkapkan, jika RUU Penyiaran ini disahkan, ia bersama organisasi-organisasi yang lain akan terus bergerak melawan pemerintah. “Tentu, kita tidak akan berhenti mendatangi DPR sampai pasal-pasal bermasalah itu dicabut!” jawabnya berteriak.

Reporter: IB
Editor: Nabilah Saffanah

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Minim Ruang Aman untuk Mahasiswa Berekspresi Previous post Minim Ruang Aman untuk Mahasiswa Berekspresi
Tak Ada yang Berhak Melabeli Kebenaran Next post Tak Ada yang Berhak Melabeli Kebenaran