Kebebasan berekspresi belum sepenuhnya diterapkan di lingkup akademik. Hal ini menimbulkan ancaman pidana terhadap mahasiswa yang mengungkapkan ekspresi dan kritiknya.
Jerat Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah merambah ke ruang lingkup akademik. Kampus seharusnya menjadi tempat untuk kebebasan berekspresi, tetapi dengan adanya UU ITE justru menjadi ancaman civitas academica untuk menyampaikan ekspresinya.
Mahasiswa Universitas Riau (Unri), Khariq Anhar dilaporkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Riau atas dugaan pelanggaran UU ITE pada Jumat (15/3). Rektor Unri, Sri Indarti melaporkan video propaganda yang diunggah Khariq bersama Aliansi Mahasiswa Menggugat (AMM) untuk memperjuangkan penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) di kampusnya.
Melansir dari Kompas.com, video yang dibuat Khariq menyebutkan Sri Indarti Broker Pendidikan—pedagang perantara yang menghubungkan pedagang lain dalam hal jual beli. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unri, Hermanda menganggap kalimat tersebut menyerang harkat dan martabat rektor secara pribadi.
Pada Rabu (6/3), video tersebut mendapatkan atensi besar. Kemudian, rektor melaporkan video tersebut atas pencemaran nama baik terkait kenaikan IPI. Khariq mendapatkan ancaman dipolisikan serta dikeluarkan dari kampus. “Kenaikan UKT membuat 29 mahasiswa Unri tidak melanjutkan kuliah,” ungkapnya melalui Zoom dalam Forum Diskusi Digital Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Rabu (22/5).
“Kampus seharusnya menjadi benteng kebebasan dan berfungsi sebagai ruang untuk menyampaikan pesan kritik yang dijamin kebebasannya,” tutur Ismail Unggul mewakili Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Kritik Khariq yang seharusnya menjadi hak kebebasan mahasiswa untuk berekspresi, lanjut Ismail, bertentangan dengan prinsip hukum yang menjamin kebebasan berekspresi.
Selain itu, pembredelan yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) juga menjadi ancaman. UU ITE kerap menjadi alat untuk mengancam kebebasan berekspresi mahasiswa. “Sebagai bagian dari insan akademik, selama menghasilkan karya atau beraktifitas tentu kita dapat menikmati kebebasan yang sudah dijamin dalam prinsip hukum,” lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Pebriandi Haloho menyatakan, permasalahan ini sudah diselesaikan secara restoratif bersama penyidik. Menurut pandangannya, kasus tersebut berawal dari Rektor Unri yang mengetahui adanya sebuah akun media sosial yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Setelah diselidiki, pelaku di dalam video merupakan mahasiswa Unri dan sang rektor tidak terima atas kalimat yang dilontarkan Khariq.
Ruang digital menjadi tempat yang luas dan tidak ada batasan. Hal ini, menurut AKBP Pebriandi, menjadi alasan dibuatnya UU ITE di tahun 2008. Undang-undang diciptakan untuk membuat keteraturan yang baik. Walaupun pada praktiknya, penyimpangan terhadap aturan kerap terjadi. “Kami (Bareskrim Polri) menerima ratusan laporan pencemaran nama baik setiap harinya,” ungkap Pebriandi, Rabu (22/5).
Mewakili Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Alviani Sabillah mengatakan, kondisi kebebasan akademik secara global mengalami hambatan. Riset Free to Think mencatat telah terjadi 409 serangan terhadap kebebasan berekspresi di lingkup akademik yang mencakup akademisi dan mahasiswa di 66 negara sejak 1 Juli 2022 hingga 30 Juni 2023.
Pada 2022, PSHK melihat kecenderungan situasi kebebasan berekspresi masyarakat sipil secara global menurun. UU dimanfaatkan oleh penguasa untuk membatasi aktivisme dan mengancam masyarakat. “Ekspresi yang diatur oleh kerangka hukum berupa makar, penghinaan, pencemaran nama, berita bohong, dan ujaran kebencian,” kata Alviani, Rabu (22/5).
Alviani menerima laporan yang yang tercatat oleh KIKA perihal serangan akademik. Laporan itu terdapat berbagai kasus serangan digital, teror terhadap mahasiswa, pemaksaan kebenaran sepihak oleh pemerintah, dan pemidanaan terhadap saksi ahli/dosen. Sebanyak 29 kasus terjadi sepanjang 2021 dan 43 kasus pada 2022.
Pasal yang dapat berpotensi menjadi bumerang bagi kebebasan akademik, ucap Alviani, di antaranya UU ITE Pasal 27 ayat (3) yang mengatur larangan distribusi, transmisi, dan pembuatan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Selain itu, UU ITE Pasal 28 ayat (3) tentang penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang membuat pemberitahuan bohong dan menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Reporter: RIN
Editor: Nabilah Saffanah