Adaptasi Mahasiswa Baru di Tanah Rantauan

Adaptasi Mahasiswa Baru di Tanah Rantauan

Read Time:2 Minute, 12 Second
Adaptasi Mahasiswa Baru di Tanah Rantauan

 

Pilihan mahasiswa untuk merantau salah satunya demi belajar hidup mandiri serta mengenal lika-liku kehidupan di daerah tujuan. Pelbagai kondisi asing, mereka temukan kala beradaptasi.


Salah satu mahasiswa baru dari Pekanbaru, Riau program studi Perbandingan Mazhab, Muhammad Naufal Fadhail membagikan pengalaman lucunya saat membeli lauk pauk di warung makan di sekitar indekosnya. Ia berencana menjadikan lauk dan nasi pulen sebagai santapan saat itu.

 

“Saya bilang hendak membeli sambal kepada penjual, ia langsung bingung dan sekeliling melihat saya. Terus, penjualnya jawab kalau mereka enggak jual sambal. Soalnya di Pekanbaru sambal maksudnya lauk—di sini (Jawa) menganggap sambal dari cabai,” ceritanya saat diwawancarai melalui WhatsApp pada Sabtu (1/10).

 

Saat ditanya perihal perbedaan cuaca, Naufal lebih memilih cuaca Ciputat dibanding Pekanbaru, sebab panasnya tidak seberapa dengan daerah asalnya. Ia juga menilai cuaca Ciputat tidak menentu—pagi sampai siang panas terik, sore hingga malam hujan deras. Di Pekanbaru, Naufal lebih sering merasa kegerahan karena cuaca terik.

 

Di sisi lain, salah satu mahasiswa baru Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Zuhair Marzuq Siregar lebih memilih cuaca daerah asalnya, Medan, Sumatra Utara. Menurutnya, cuaca Ciputat buruk karena dipenuhi oleh polusi dari asap kendaraan bermotor yang padat dan teriknya panas matahari.

 

“Tempat tinggal di sekitar rumah saya dipenuhi dan dikelilingi oleh banyak pepohonan dan tanaman kecil, sedangkan di Ciputat yang pertama kali saya jumpai saat hendak ke luar adalah perumahan,” jawabnya saat diwawancarai online melalui WhatsApp pada Sabtu (1/10).

 

Zuhair juga menceritakan pengalamannya saat mengobrol dengan teman-temannya di kampus. Dengan logat dan bahasa Batak yang kental, mereka senang saat mendengar Zuhair berbicara. Ia mendapat atensi dari teman-temannya sebab bagi mereka logat dan bahasa Batak Zuhair sangat unik dan terdengar seru.

 

Hal serupa juga dialami oleh salah satu mahasiswi baru program studi Jurnalistik, Nathania Janise yang berasal Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Ia membeberkan bahwa teman sekelasnya menyadari logatnya sedikit berbeda, padahal ia telah berusaha tidak menggunakan logatnya.

 

“Dari segi kebiasaan dan bahasa tidak begitu mengejutkan karena di sini (Ciputat) masih mendominasi menggunakan bahasa Indonesia. Hanya logat yang mungkin masih sedikit tampak dan terdengar,” ujarnya saat diwawancarai online melalui pesan langsung Twitter pada Sabtu (1/10).

 

Nathania pun merasa kaget dan belum terbiasa dengan lingkungan di Ciputat yang sangat ramai, jalanan yang macet, serta bangunan padat dan berdempetan satu sama lain. Ia masih terbiasa dengan daerahnya yang sudah sepi saat pukul 22.00 Waktu Indonesia Barat (WIB).

 

“Aku pikir harga makanan di Ciputat itu mahal-mahal. Ternyata, kurang lebih sama dengan daerah saya—bahkan masih banyak juga yang lebih murah!” ungkapnya saat ditanya mengenai perbedaan harga makanan dan barang antara Pangkalan Bun dengan Ciputat pada Sabtu (1/10).

 

Reporter: Fayza Rasya

Editor: Nur Hana Putri Nabila

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
100 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Perdamaian Dunia dalam Genggaman Indonesia Previous post Perdamaian Dunia dalam Genggaman Indonesia
Festival Islami Tahunan di UIN Jakarta Next post Festival Islami Tahunan di UIN Jakarta