Berlakunya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan, mengundang buah mulut sejumlah civitas academica UIN Jakarta. Sebab, sejak September 2022 lalu, seleksi Rektor periode 2023—2027 di Kampus Ciputat ini tengah berjalan.
Banyak kalangan menilai seleksi Rektor, kini tidak transparan. Dari penetapan PMA terbaru ini, Kementerian Agama (Kemenag) berwenang memilih tiga nama kandidat Rektor terbesar.
Pihak Senat Universitas bertugas mengantongi pendaftar seleksi Rektor yang memenuhi kriteria. Lalu nama para pendaftar diserahkan ke Kemenag melalui Rektor. Pada 11 Oktober silam, pihak Senat Universitas dan Rektor telah menyetor nama-nama tersebut ke Kemenag.
Sebelum peraturan tersebut berlaku, seleksi Rektor berpaku pada PMA Nomor 45 Tahun 2006. Seleksi Rektor kala itu menggunakan suara langsung dari setiap anggota Senat Universitas. Terdapat tiga putaran perolehan suara untuk mengusung tiga nama kandidat Rektor. Kemudian hasil seleksi diserahkan ke Kemenag lewat Direktur Jenderal Pendidikan Islam.
Pada Rabu (16/11), Institut melakukan wawancara khusus dengan Saiful Mujani terkait prosedur seleksi Rektor berdasarkan (PMA) Nomor 68 Tahun 2015. Saiful merupakan peneliti dan guru besar politik Indonesia, sekaligus pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Kedua kalinya seleksi Rektor UIN Jakarta diselenggarakan dengan suara Kemenag. Banyak yang menilai PMA 68/2015 tak transparan…
Seharusnya lembaga Perguruan Tinggi Keagamaan seperti UIN Jakarta, banyak mengajarkan kepada para mahasiswa agar menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lembaga publik secara baik. Mulai dari memperhatikan aspek-aspek partisipasi, transparansi, mewadahi aspirasi serta dinamika yang berkembang di kampus.
Menurut saya, PMA 68/2015 bak lembaga jahiliah. Ibarat sebuah ilmu pengetahuan, orang-orang perlu tahu mengelola institusi yang beradab nan modern. Terlebih lagi ilmu pengetahuan mestinya melekat pada institusi pendidikan tinggi—tempat orang-orang terpelajar. Mereka layak untuk terlibat dalam kehidupan kampus, memberikan suara, dan menentukan pilihan,
Dampak yang diberikan kala PMA 68/2015 diterapkan, tercipta polarisasi politik. Hal ini terlihat dari desas-desus yang mengatakan Rektor Amany Lubis merupakan salah satu pengikut organisasi keagamaan…
Menurut saya itu konsekuensi dari PMA 68/2015 yang tidak transparan dan tidak menampung keberagaman. Padahal peraturan sebelumnya, PMA 45/2006 sangat mengedepankan mekanisme seleksi Rektor dalam mengelola keberagaman.
Idealnya, berikan kesempatan pada semua orang untuk bersuara dan memilih kandidat Rektor yang betul-betul paham dinamika UIN Jakarta. Dalam hal ini, Senat Universitas punya otoritas memilih satu dari belasan kandidat yang cocok memimpin UIN Jakarta.
Seperti peraturan seleksi Rektor di bawah naungan Kemendikbud, Senat Universitas punya kewenangan memilih kandidat Rektor lantaran bersifat alamiah. Artinya, orang-orang yang menduduki Senat Universitas kerap terlibat diri dalam dinamika kampus.
Bagaimana cara meredam polarisasi politik dalam lingkungan kampus kala seleksi Rektor sedang berjalan hingga selesai?
Bagi saya, polarisasi politik dalam lingkungan kampus tidak ada. Hanya ada perbedaan pendapat yang niscaya pasti ada dalam setiap lingkungan masyarakat yang terbuka. Apabila tak bisa menerima perbedaan pendapat, sama saja seperti masyarakat jahiliah. Ada kelompok setuju dan tidak setuju, sehingga kita harus terbiasa.
Perlukah pengembalian fungsi Senat Universitas, sebagai pihak yang berhak menjadi penyelenggara dalam pemilihan Rektor?
Pengembalian Senat Universitas sangat diperlukan. Civitas academika terutama dosen dan guru besar, lebih mengenal perkembangan UIN Jakarta ketimbang para pejabat Kemenag. Saya menilai Kemenag perlu menyerap dan menampung pilihan dari pelbagai suara. Lebih lagi suara dari Senat Universitas.
Pengembalian seleksi Rektor dengan Senat Universitas dalam PMA 45/2006 merupakan kebijakan yang lebih baik. Hal ini menengok rentetan kualitas Rektor terdahulu yang terpilih berdasarkan suara Senat Universitas. Di antaranya Harun Nasution, Quraish Shihab, Azyumardi Azra, hingga Komaruddin Hidayat.
Reporter: DS
Editor: Syifa Nur Layla