Janggal Pencopotan Hakim Konstitusi

Janggal Pencopotan Hakim Konstitusi

Read Time:3 Minute, 20 Second

Janggal Pencopotan Hakim Konstitusi

Pada Jumat (29/10) lalu, Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR) resmi mencopot Hakim Konstitusi Aswanto dari jabatannya. Beberapa waktu setelahnya, Guntur Hamzah dilantik sebagai hakim konstitusi berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 114/P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi. Guntur pun sah menjadi hakim konstitusi setelah dilantik pada 23 November 2022. 


Pada Senin (28/11), Institut melakukan wawancara khusus dengan Firman Husaeni terkait kasus pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR. Firman merupakan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.


Bagaimana tanggapan Anda mengenai kasus pencopotan hakim konstitusi yang diajukan DPR melalui kacamata hukum tata negara?


Hakim Aswanto dianggap tidak menjalankan komitmennya sebagai hakim yang ditunjuk DPR. Merasa punya hak, DPR lantas mencopot Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah. Padahal realitanya, DPR sebagai lembaga legislatif tidak memiliki wewenang untuk memecat hakim konstitusi. Alasan utama DPR mengganti Aswanto, sebab Aswanto dianggap banyak membatalkan Undang-undang (UU) yang dibuat oleh DPR.


Saya sepakat dengan argumentasi Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa kasus tersebut merupakan tindakan serampangan, otoritarianisme, dan upaya sistematis menundukkan mahkamah.


Menurut Anda, apakah kebijakan DPR terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) melanggar kemerdekaan, kekuasaan kehakiman, dan merusak demokrasi?


DPR telah menabrak Pasal 24 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin eksistensi kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman. Pemaknaan kemerdekaan itu, ditafsirkan terbebas dari kepentingan politik yang meliputi seluruh cabang kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif. Dengan praktik sewenang-wenang DPR, pemberhentian ini adalah bentuk pelanggaran hukum yang merusak independensi peradilan.


Secara normatif, pemberhentian ini cacat karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan. Pasca perubahan ketiga UU MK menjadi UU Nomor 7 tahun 2020 Pasal 87, hakim konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat akan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Dalam konteks masa jabatan Aswanto, mestinya ia mengakhiri masa tugasnya pada 21 Maret 2029 atau setidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun.


Bagaimana pandangan kacamata hukum tata usaha negara tentang Jokowi yang menyetujui kebijakan DPR terhadap pencopotan Aswanto sebagai hakim konstitusi?


Tinjauan hukum yang berkaitan dengan tata usaha negara adalah tidak adanya suatu kegiatan tanpa kewenangan. Kewenangan DPR hanya mengusulkan, bukan menetapkan. Presiden memiliki kewenangan untuk memberhentikan, bukan DPR. Pencopotan hakim MK merupakan fenomena yang tidak baik bagi ketertiban hukum di Indonesia. Sebab, segala perbuatan harus berdasarkan hukum yang telah ditetapkan. 


Di sisi lain, presiden tidak bisa mengubah keputusan yang telah ditetapkan oleh DPR, dalam hal ini adalah pengusulan penggantian hakim MK. Ada kewajiban administratif presiden untuk menindaklanjuti keputusan DPR ke dalam Keputusan Presiden (Keppres) sebagaimana diatur dalam UU MK. Presiden menerbitkan Keppres pengangkatan Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi merupakan kewajiban administratif.


Bagaimanakah dampak dari pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto terhadap independensi MK?


Pencopotan Hakim Aswanto berdampak terhadap independensi MK, sebab dapat merusak sistem ketatanegaraan. Langkah DPR mengganti Aswanto melanggar hak konstitusional. Hal tersebut mengakibatkan independensi MK yang digerus DPR akan menimbulkan preseden buruk di kemudian hari. Saya memaknai bahwa DPR telah mengintervensi MK dengan mengganti hakim yang mereka usulkan sebelumnya. 


Dari segi prosedur DPR, pemberhentian ini janggal karena sidang paripurna dilakukan tanpa proses yang terjadwal dan tidak diketahui publik. Jika publik membiarkan proses ini begitu saja, akan tercipta kesan bahwa DPR berkontribusi meruntuhkan independensi peradilan. Salah satu esensi dari independensi peradilan adalah masa jabatan hakim yang tetap dan lepas dari campur tangan lembaga lain. 


Pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi merupakan bentuk kesewenang-wenangan hukum. Sebab yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tercela, melanggar hukum, etik, atau melanggar sumpah jabatan hakim konstitusi sebagaimana ketentuan pemberhentian dalam Pasal 23 UU MK.


Sebagaimana yang diketahui, Ketua MK merupakan ipar Jokowi. Apakah proses hukum dari DPR ke presiden merupakan dampak dari hal tersebut?


Pencopotan hakim Aswanto oleh DPR disetujui oleh presiden alasannya bukan dikarenakan ketua MK adalah ipar presiden. Hal tersebut disebabkan karena presiden tidak dalam posisi yang dapat menolak keputusan DPR terkait dengan penggantian Hakim Aswanto. Hakim MK yang diusulkan DPR tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Maka yang berhak mencabutnya pun presiden, bukan lembaga lain.

Reporter: PA

Editor: Alfiarum Cahyani

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Menemukan Sang Ilahi Melalui Hati Previous post Menemukan Sang Ilahi Melalui Hati
Puntung Rokok Berserakan di Toilet FISIP Next post Puntung Rokok Berserakan di Toilet FISIP