Perppu Cipta Kerja Memperburuk Krisis Iklim

Perppu Cipta Kerja Memperburuk Krisis Iklim

Read Time:3 Minute, 44 Second

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada akhir tahun lalu. Perppu ini dirancang untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Agung (MK). Namun, Perppu ini segera memunculkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Banyak sektor yang terdampak secara tidak langsung oleh Perppu Cipta Kerja, salah satunya adalah sektor lingkungan.

Terkait dampak yang akan ditimbulkan Perppu Cipta Kerja bagi lingkungan, Institut melakukan wawancara khusus dengan Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri pada Selasa (28/2). Novita merupakan aktivis yang kerap menyuarakan isu-isu lingkungan, khususnya mengenai perubahan iklim.

Apa yang melatarbelakangi Trend Asia untuk bergabung dalam aksi penolakan Perppu Cipta Kerja? 

Trend Asia menilai beberapa pasal di Perppu Cipta Kerja cukup problematik, khususnya dalam aturan yang berkaitan dengan lingkungan. Dalam pandangan saya, beberapa pasal di sana justru akan memperburuk situasi lingkungan. Bisa dibilang lingkungan kita saat ini juga tidak baik-baik saja, namun adanya Perppu ini justru akan membuka peluang semakin parahnya situasi lingkungan kelak.

Lanjut, mengenai alasan pemerintah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja. Perppu bisa dikeluarkan ketika ada alasan genting, beberapa alasan sudah diungkap pemerintah mengenai penerbitan Perppu ini, ada dua hal yang bisa digarisbawahi. Pertama, mempertimbangkan situasi perubahan iklim. Kedua, terkait dengan harga energi, rantai pasok, dan masalah lingkungan lainnya. Di sisi lain, kita dapat melihat bahwa beberapa pasal terkait lingkungan cenderung kontradiktif dengan alasan tersebut. 

Pasal mana dalam Perppu Cipta Kerja yang paling berdampak pada sektor lingkungan?

Trend Asia menganggap bahwa sektor lingkungan—dalam Perppu Cipta Kerja—merupakan sektor yang paling dieksploitasi. Aturan-aturan yang dibuat sangat memudahkan perizinan usaha dan sejenisnya, namun perlindungan lingkungannya tidak diperkuat. Akhirnya tidak ada keseimbangan yang terjadi antara dua hal itu, sehingga menimbulkan masifnya eksploitasi lingkungan. Di sini bisa dilihat bahwa negara tidak hadir, negara tidak berpihak pada lingkungan, terlebih kepada masyarakat di suatu daerah yang terdampak secara langsung.

Perppu Cipta Kerja ini merupakan sebuah paket yang akan mempermudah kaum kapitalis untuk mengeksploitasi lingkungan, karena unsur lingkungan dalam kitab ini dilemahkan. Peraturan lingkungan yang harus dipenuhi sebelum terbitnya izin usaha dirasa terlalu memberatkan, harus ada izin lingkungan, AMDAL—Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup—, kemudian ada kajian lingkungan dahulu. Jadi, banyak pasal tentang perizinan usaha yang kami rasa justru melanggengkan eksploitasi lingkungan. 

Dalam Perppu Cipta Kerja Pasal 22 dan 26 tercantum bahwa partisipasi masyarakat dalam penerbitan AMDAL dikurangi. Bagaimana aturan mengenai penerbitan AMDAL dalam UU sebelumnya?

UU No. 32 tahun 2009 mengatur tentang perlindungan lingkungan hidup, di dalamnya ada aturan mengenai penerbitan AMDAL. Di dalamnya, disebutkan bahwa segala macam usaha yang akan memberikan dampak besar pada lingkungan, wajib memiliki AMDAL. Itu dokumen wajib yang harus dipenuhi sebelum meminta izin lingkungan dan izin usaha, jadi ada tiga tahap perizinan untuk pendirian usaha. Tetapi, setelah adanya UU Cipta Kerja, fungsi AMDAL ini dilemahkan.

Dalam UU Cipta Kerja maupun Perppu Cipta Kerja yang ada saat ini, isinya sama saja. Jika ada usaha yang ingin didirikan di suatu daerah, hanya masyarakat terdampak langsung saja yang boleh mengikuti diskusi penerbitan AMDAL. Sedangkan kalau di UU No. 32 tahun 2009, masyarakat secara umum boleh memberikan kritik, saran dan masukan dalam penerbitan AMDAL. Bisa masyarakat terdampak maupun tidak terdampak, akademisi, praktisi lingkungan, dan pemerhati lingkungan. Jadi di Perppu Cipta Kerja ini, partisipasi masyarakat amat dibatasi dibanding UU sebelumnya.

Dalam aksi ini, organisasi-organisasi lingkungan banyak mengangkat isu perubahan iklim. Bagaimana bunyi pasal dalam Perppu Cipta Kerja yang berhubungan dengan perubahan iklim?

Salah satu pasal kontradiktif terkait lingkungan tertera pada pasal 128A Perppu Cipta Kerja. Pasal ini berisi, “Setiap perusahaan yang memiliki izin usaha pertambangan atau pertambangan khusus yang melakukan hilirisasi—mengolah hasil tambang menjadi barang jadi—atau pengembangan lain yang memiliki nilai tambah, maka akan diberikan royalti 0%”. Dengan kata lain, mereka yang melakukan upaya hilirisasi akan terlepas dari pembayaran royalti. Padahal, setiap perusahaan dalam sektor pertambangan yang melakukan hilirisasi akan dikenakan pajak, pajaknya pun ada besaran tertentu.

Bagaimana pasal tersebut mempengaruhi perubahan iklim?

Dengan adanya pasal itu, perusahaan-perusahaan akan semakin masif melakukan hilirisasi dengan anggapan bahwa negara mendukung hal itu. Di sini baru muncul kaitannya dengan perubahan iklim. Semakin banyak kita eksploitasi lingkungan, kita mengeruk semua tambang, jangan lupa bahwa kegiatan itu akan mengeluarkan emisi, atau gas rumah kaca. Gas ini akan berkumpul di atmosfer dan secara akumulatif akan memperparah perubahan iklim dalam kurun beberapa waktu. Perubahan iklim saat ini memang sudah terjadi, namun kondisi ke depannya akan semakin buruk akibat adanya kebijakan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan.

Reporter: SDC

Editor: Nurul Sayyidah Hapidoh

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Fluktuatif Berkelanjutan, Kebijakan BI Menjadi Sorotan Previous post Fluktuatif Berkelanjutan, Kebijakan BI Menjadi Sorotan
Menjelajahi Pasar Kaget Sekitar UIN Jakarta Next post Menjelajahi Pasar Kaget Sekitar UIN Jakarta