Lingkungan Tutup Mata, Perundungan Merajalela

Lingkungan Tutup Mata, Perundungan Merajalela

Read Time:6 Minute, 35 Second
Lingkungan Tutup Mata, Perundungan Merajalela

Perundungan masih rentan terjadi pada anak. Kondisi lingkungan sekolah, pola asuh orang tua, serta implementasi regulasi pemerintah menjadi faktor yang berpengaruh.


Kasus perundungan di kalangan pelajar Indonesia marak terjadi. Dilansir dari situs BBC.com, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 379 kasus perundungan di lingkungan sekolah dalam rentang Januari–Agustus 2023. Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023. Aturan tersebut menjelaskan segala bentuk kekerasan pada anak serta mekanisme pencegahan dan penanggulangannya.

Salah satu korban perundungan, Ahmad Fauzi mengatakan, dirinya sudah mendapat perundungan semenjak Sekolah Dasar (SD). Ahmad menceritakan, mata kanannya sampai sekarang tidak bisa melihat karena tonjokan pelaku yang merupakan teman kelasnya. “Waktu itu saya sudah minta maaf karena tidak sengaja menjatuhkan barang miliknya, tetapi dia masih marah dan memukul mata saya,” kenang Ahmad, Rabu (13/12). 

Lanjut, Ahmad menyayangkan sikap sekolahnya yang kurang peduli. Setelah pemukulan terjadi, pihak sekolah hanya membawanya ke Unit Kesehatan Sekolah (UKS). “Padahal mata saya berdarah,” ujarnya.

Tak hanya itu, Ahmad juga pernah mendapat kekerasan dari temannya sewaktu di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ketika ia bekerja di kantin sekolah, ujar Ahmad, seringkali temannya melempar kain pengelap meja kotor ke wajahnya. “Terkadang dikunciin di luar kelas, padahal hanya terlambat masuk kelas beberapa menit,” ucapnya.

Lanjut, Ahmad berharap pihak sekolah lebih memperhatikan siswanya agar perundungan tidak terjadi. Pihak sekolah tidak boleh diam ketika ada perundungan, walaupun penyelesaian kasus tersebut mencoreng nama baik sekolah. “Semoga kejadian yang menimpa saya tidak terulang pada siswa-siswa lain,” ujarnya.

Korban perundungan lainnya, Shabiika Juniar mengungkapkan, ia pernah menerima intimidasi dari temannya sewaktu SMP. Perundungan tersebut berawal dari keinginan Shabiika untuk lebih akrab dengan teman sekolah. 

Nahas, penyesuaian yang Shabiika lakukan mendapat respons tidak baik dari teman-temannya. “Pernah dikasih surat anonim yang berisi makian lalu ancaman tidak boleh mengadu. Ada juga diajak berantem sepulang sekolah,” kata Shabiika, Jumat (11/01).

Shabiika mengaku, perundungan tersebut menyisakan trauma mendalam bagi dirinya. Shabiika sering merasa tidak percaya diri dengan perbuatan yang ia lakukan. Perasaan khawatir dengan teman-teman yang berpandangan jelek, kata Shabiika, menghantui dirinya setiap akan melakukan suatu hal. “Jadinya saya tidak leluasa dalam mengekspresikan diri,” ungkapnya. 

Selain itu, terkadang Shabiika suka tersulut emosi ketika melihat aksi perundungan. Ia mengaku tidak terima ketika melihat aksi perundungan karena tidak ada orang yang pantas mendapat kekerasan, cacian, atau perbuatan jahat. “Kenapa kalian tega melakukan hal semacam itu? Jadi korban itu tidak enak,” geramnya. 

Pihak sekolah Shabiika merespons kejadian perundungan tersebut dengan baik. Shabiika mengungkapkan, dirinya mendapat perhatian serta dukungan dari sebagian guru di sekolah. Sekolah juga sering melibatkannya dalam beberapa kegiatan, sehingga Shabiika dapat lebih menunjukkan eksistensi dirinya di sekolah. “Wali kelas saya menjadi orsng pertama yang merespons kejadian (perundungan) itu,” ucapnya.

Lain halnya dengan tanggapan sebagian guru Shabiika. Mereka menganggap perundungan menjadi fenomena biasa sehingga hanya nasihat yang diberikan pada pelaku. Shabiika lanjut mengatakan, pihak sekolahnya tidak mengambil langkah tegas dalam pencegahan perundungan. “Malahan ada sebagian guru yang memihak pelaku,” ujarnya. 

Selanjutnya, Shabiika berharap tidak ada lagi orang yang melanggengkan budaya perundungan. Ia juga berharap sekolah lebih aktif melindungi siswa-siswinya dari praktik kekerasan tersebut. Selain itu, ia berharap orang tua bisa menanamkan sikap lebih menghargai orang lain pada anaknya. “Untuk semua korban perundungan di luar sana, semoga lekas sembuh,” pungkasnya.

Sebab Maraknya Perundungan di Sekolah

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Klaster Pendidikan, Aries Adi Leksono mengatakan, perundungan terjadi karena kurangnya pemahaman anak tentang dampak perundungan. Aries menuturkan, sekolah merupakan tempat interaksi anak bersama orang lain dengan latar belakang berbeda. Tentunya, sekolah harus lebih memfokuskan pada pembinaan karakter anak, bukan hanya pencapaian kognitif dan keterampilan. “Masih banyak sekolah yang menganggap perundungan hanya guyonan semata,” tulis Aries, Jumat (29/12).

Lanjut, Aries menyebutkan, perundungan marak terjadi di masa anak-anak, karena kurangnya edukasi dan sosialisasi perundungan terhadap anak. Pola asuh orang tua yang kurang baik dan minim perhatian juga menjadi penyebab perundungan anak. “Pergaulan serta tontonan yang memperlihatkan kekerasan tanpa pandang usia juga akan membuat anak berpotensi melakukan perundungan,” sebutnya.

Aries menjelaskan, keadaan anak sebagai korban perundungan juga akan menumbuhkan keinginan anak untuk melakukan perundungan. Hal tersebut, ia lakukan sebagai bentuk balas dendam atas apa yang ia terima. “Kebanyakan anak melakukan perundungan demi mendapatkan pengakuan atas kehebatannya dan penghormatan dari junior,” ujarnya. 

Pakar Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Abdul Rahman Shaleh mengatakan,  penyebab utama anak melakukan perundungan adalah kesepian. Orang tua yang sibuk bekerja, seringkali lupa tanggung jawab mereka untuk memberi perhatian terhadap anak. “Kesepian tersebut menimbulkan keinginan anak untuk mendapat perhatian yang lebih,” kata Rahman, Rabu (13/12).

Lanjut, Rahman menjelaskan, perlakuan orang tua yang suka membandingkan kekurangan anak dengan anak lain akan meninggalkan luka di hatinya. Anak akan merasa di rendahkan serta berpikiran tidak ada orang yang berada di pihaknya. “Akhirnya ia lampiaskan dengan melakukan kekerasan, dengan itu tentu ia akan mendapat perhatian dan pengakuan orang lain,” jelas Rahman.

Rahman mengatakan, perlakuan berlebihan terhadap anak juga akan berujung pada perbuatan perundungan. Ketika anak selalu mendapat pujian, sambung Rahman, ia akan merasa paling baik sehingga menganggap orang lain rendah. “Sikap itu membuat anak tidak menghargai orang lain dan suka berbuat semena-mena,” katanya.

Langkah Pencegahan dan Penanganan oleh Sekolah dan Pemerintah

Aries menyebutkan, pemerintah telah membuat kebijakan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Implementasi dari regulasi tersebut, terbentuknya tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) pada satuan pendidikan dan Pemerintah Daerah (Pemda). “Meskipun pada pelaksanaannya masih perlu penyempurnaan dalam segi anggaran dan program,” sebutnya. 

Lanjut, Aries mengatakan, pemerintah juga melakukan sosialisasi dan advokasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Hanya saja, respon satuan pendidikan dan Pemda masih kurang maksimal. Pembentukan satuan tugas (Satgas) PPKSP hanya sebatas pelaksanaan perintah. “Pemilihan satgas tidak memperhatikan kompetensi mereka yang mengerti tentang perlindungan anak ataupun psikiater,” katanya.

Aries menyatakan, korban dan pelaku perundungan akan mendapat perlindungan negara. Korban yang membutuhkan pemulihan psikis dan fisik, kata Aries, akan mendapat fasilitas dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sedangkan pelaku akan diberikan pembinaan disiplin oleh satuan pendidikan dan Pemda.

Aries mengatakan, tentunya perundungan akan memberi dampak terhadap orang yang melihatnya. Bisa saja seorang anak yang melihat perundungan mendapat gangguan psikis karena takut. Anak yang melihat juga bisa melakukan perundungan tersebut karena ketidaktahuannya. “Orang tua korban yang melihat tentunya akan merasa kecewa sehingga berujung pada laporan terhadap penegak hukum,” sambungnya. 

Rahman mengungkapkan, salah satu upaya pencegahan perundungan adalah menciptakan kondisi sekolah yang kondusif bagi anak. Hukuman bagi anak yang melanggar bisa menggunakan metode yang lebih edukatif. “Dengan begitu, walaupun ada luka serta dendam yang ada pada anak akibat perlakuan di rumahnya perlahan akan dapat hilang,” ungkapnya.

Selain itu, Rahman menyarankan, sekolah harus mampu menghadirkan pengalihan energi besar dalam anak pada kegiatan yang positif. Luka, dendam, dan amarah yang mereka pendam jangan sampai tersalurkan lewat kekerasan terhadap orang lain. “Perlakuan yang bisa memicu keluarnya perbuatan negatif akibat perasaan yang mereka pendam harus jauh dari mereka,” jelasnya.

Peran Orang Tua dan Masyarakat

Aries mengatakan, orang tua perlu memperkuat perannya dalam pencegahan dan penanganan kekerasan anak baik di rumah, maupun di sekolah. Menurut Aries, perlu juga menyelaraskan pendisiplinan anak dengan tidak merendahkan martabatnya. “Memberikan pengertian terhadap anak yang menjadi pelaku kekerasan untuk ikut mencegah,” imbuhnya.

Aries kembali menyebutkan, masyarakat perlu menanamkan prinsip bahwa setiap anak harus mendapat perlindungan. Masyarakat  bersama satuan pendidikan juga harus menciptakan lingkungan anti kekerasan terhadap anak. Tak hanya itu, perlu melakukan pengawasan terhadap kemungkinan munculnya praktik kekerasan pada anak. “Tak kalah penting adalah bantuan terhadap korban dan pelaku perundungan,” sebutnya.

Sama halnya dengan Aries, Rahman menyatakan, orang tua perlu menanamkan sikap menghargai orang lain pada anak. Kemudian, membuat anak merasa dihargai tanpa terlalu menyanjungnya. “Sebisa mungkin, jangan membuat anak kesepian,” ujarnya.

Kemudian, Rahman melanjutkan, orang tua harus melakukan pendisiplinan terhadap anak tanpa kekerasan. Kekerasan yang berkelanjutan terhadap anak, kata Rahman, hanya akan menimbulkan dendam pada diri anak. “Anak akan melakukan apa yang mereka terima dari orang lain,” pungkasnya.  

Reporter: MAI

Editor: Shaumi Diah Chairani 

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Kritis Bersama Bijak Memilih Previous post Kritis Bersama Bijak Memilih
Merawat Nada Lama di Pasar Musik Next post Merawat Nada Lama di Pasar Musik