UU Pilkada Pintu Masuk Neo Orba

Read Time:1 Minute, 58 Second

Disahkannya Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Nomor 22 Tahun 2014. Tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang dipilih langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat peran masyarakat dalam berdemokrasi hilang.


Selain itu, pengesahan UU Pilkada Nomer 22 Tahun 2014 juga menuai protes dari berbagai macam elemen masyarakat termasuk mahasiswa. Salah satunya mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Patriotik Indonesia (GPPI). Mereka melakukan aksi penolakan UU Pilkada di depan Halte Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Selasa (14/10).

Menurut ketua GPPI Jeanita, aksi ini merupakan bentuk penolakan mahasiswa terhadap UU Pilkada No 22 Tahun 2014 yang disahkan beberapa waktu lalu. Ia juga mengatakan, aksi tersebut adalah bentuk kepedulian GPPI terhadap demokrasi di Indonesia.

Meski menolak UU Pilkada No 22 Tahun 2014 itu sulit terealisasi, kata Jeni, GPPI dan gerakan masyarakat lainnya tak akan menyerah. “Masyarakat sangat gelisah, itu terbukti dari yudisisal review yang sering diajukan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Jeni seusai berorasi.  

Menurutnya, disahkannya UU Pilkada No 22 Tahun 2014 akan memunculkan benih-benih Neo Orde Baru (Orba). Hal tersebut terbukti dengan merapatnya partai-partai yang memiliki kedekatan dengan rezim orba ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP). “Munculnya simbol neo orde baru terlihat dari semakin kuatnya KMP di parlemen” jelas Jeni.

Senada dengan Jeni, Koordinator aksi Budi Permana mengatakan, saat ini masyarakat dihadapkan pada persoalan politik yang rumit. “Apalagi dengan terbentuknya dua kubu, KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Keduanya sibuk memperebutkan kursi kekuasaan tanpa memedulikan rakyat,” jelasnya, Jumat (17/10).

Dengan adanya aksi ini, Budi berharap, UU Pilkada No 22 Tahun 2014 yang sudah disahkan dapat dibatalkan. Karena menurutnya, jika UU Pilkada tersebut dibiarkan maka rezim orba akan muncul lagi.             

Menanggapi hal demikian, mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Mitra Lesmana mengatakan, aksi penolakan UU Pilkada No 22 Tahun 2014 yang dilakukan di depan Halte UIN Jakarta kurang efektif. Karena menurutnya, aksi tersebut hanya menambah kemacetan jalan.

Ia menyarankan, sebaiknya aksi seperti itu dilakukan di tempat yang bisa didengar oleh pemerintah. “Lagi pula yang ada di jalan itu kan belum tentu para pejabat. kemungkinan untuk didengar pun kecil,” ujarnya, Jumat (17/10).

Di sisi lain, ia sependapat dengan GPPI untuk tidak menyetujui UU Pilkada No 22 Tahun 2014. Karena  baginya, UU tersebut akan membuat pemilihan tidak transparan dan rentan terjadinya kecurangan.   

YA

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Equalium: Sama Objek Berbeda Cerita
Next post Gagasan Demokrasi Adnan Buyung Nasution