Read Time:2 Minute, 33 Second
Oleh: Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram
Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia (RI) Nomor 289 Tahun 2016, resmi diterapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Secara serentak PTKIN memberlakukan sistem UKT, lain halnya dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang terlambat memberlakukannya.
Tahun ajaran 2017/2018 menjadi awal UKT diberlakukan di UIN Jakarta, diresmikan melalui SK Rektor UIN Jakarta Nomor 287 Tahun 2017 tentang UKT program sarjana dan profesi. Kebijakan tersebut menuai pro dan kontra, banyak dari mahasiswa baru merasa menjadi korban. Pihak yang kontra pun melakukan aksi demonstrasi tolak UKT dan menuntut agar sistem UKT dihapuskan.
Tujuan penerapan UKT itu sendiri tercantum dalam SK Menag RI Nomor 289 Tahun 2016, yaitu untuk memenuhi rasa keadilan dan efisiensi. Selain itu, UKT diharapkan menjamin kepastian besaran biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat sesuai dengan jenis program studi dan beban biaya setiap wilayah.
Dalih penerapan UKT berdampak positif bagi kampus, tetapi fakta di lapangan justru sebaliknya. UIN Jakarta mengalami kerugian mencapai 2 miliar di tahun pertama pemberlakuan UKT. Logis penulis, kerugian yang dialami UIN Jakarta berdampak pada kenaikan tarif UKT untuk mahasiswa baru tahun 2018.
Sebelumnya, kelompok UKT tahun 2017 berkisar antara kelompok satu hingga lima. Pada SK Rektor UIN Jakarta Nomor 259 Tahun 2018, UKT pada program sarjana berkisar hingga kelompok tujuh. Selain itu, nominal biaya perkelompok juga mengalami kenaikan dengan kisaran yang berbeda antar-jurusan. Hal ini makin menjadi perdebatan di kalangan mahasiswa. Patut dipertanyakan, “apakah sistem non-UKT lebih baik dari sistem UKT?”
Mengacu pada SK Menag RI Nomor 157 Tahun 2017, UKT kelompok satu sebesar Rp 4 ratus ribu diterapkan paling sedikit lima persen dari total mahasiswa yang diterima. Jumlah lima persen dalam pandangan penulis sangatlah sedikit. Jika UKT kelompok dua jumlahnya lebih besar dari biaya sebelum UKT diberlakukan, logisnya, hanya lima persen mahasiswa yang teringankan bebannya.
Kembali ke pertanyaan awal, ‘mahal’kah UKT UIN Jakarta? Ketika kita berbicara ‘mahal,’ pasti berhubungan dengan apa yang kita peroleh. Jadi, apa yang mahasiswa baru dapatkan setelah membayar UKT sangat penting.
Hemat penulis, mahal itu adalah sebuah perbandingan. Kita bisa analogikan ketika membeli suatu barang. Kita membeli sebotol sampo dengan harga Rp 50 ribu. Ketika digunakan, ternyata sampo tersebut kualitasnya tidak lebih baik dibandingkan dengan sampo dengan harga Rp 20 ribu. Maka, sampo tersebut bisa kita katakan ‘mahal’. Namun, jika kualitas sampo tersebut lebih baik dibandingkan dengan sampo berharga Rp 50 ribu lainnya atau bahkan yang lebih besar harganya, maka bisa kita katakan kalau sampo tersebut tidak mahal.
Mari kita bandingkan kualitas pembelajaran, dosen, sarana dan prasarana, serta penunjang perkuliahan lainnya di UIN Jakarta, apakah lebih baik dibandingkan dengan perguruan tinggi yang UKT-nya lebih rendah. Mahal atau tidaknya UKT hanya dapat dirasakan mahasiswa yang menerima. Sebagai mahasiswa, kita harus bersifat kritis. “Apakah saya sudah mendapat hak-hak yang sepadan dengan apa yang telah dibayar?”
Tatkala mahasiswa merasa terbebani dengan UKT yang ditanggung, menuntut penurunan atau bahkan penghapusan UKT bukanlah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Tuntutlah apa yang sekiranya kalian rasa berhak dapat dari sesuatu yang telah kalian keluarkanan.
Average Rating