
Penyalahgunaan ChatGPT menurunkan daya pikir kritis dan motivasi mahasiswa. Kalangan akademisi diimbau untuk bijak dalam menggunakan teknologi.
Perusahaan OpenAI telah meluncurkan web penelusuran bernama Generative Pre-trained Transformer (ChatGPT) pada akhir tahun lalu. Berbeda dengan website lain, ChatGPT berbasis chatbot—layanan percakapan virtual oleh robot—menyediakan jawaban penelusuran dalam waktu singkat. Saat ini, ChatGPT sudah punya versi keempat dan penggunanya semakin meningkat.
Dilansir dari CNN Indonesia, Pemerintah New York City memblokir akses ChatGPT pada perangkat yang terhubung internet di sekolah negeri. Pemerintah New York khawatir munculnya ChatGPT berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Pemakaian ChatGPT dianggap dapat mengganggu proses berpikir serta pemecahan masalah siswa.
Muhammad Nur Gunawan, Dosen Program Studi (Prodi) Sistem Informasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menuturkan ChatGPT menyediakan informasi yang berasal dari dataset—basis data yang terlebih dahulu diinput manusia. Berdasarkan penelitian tentang ChatGPT yang diketahuinya, tingkat akurasi web penelusuran ini mencapai 90%, artinya hasil input informasi tersebut lengkap sehingga jawaban yang diberikan hampir tepat.
Menurut Gunawan, ChatGPT berbahaya bagi mahasiswa karena menyebabkan ketergantungan terhadap teknologi. Akibatnya, daya berpikir kritis dan motivasi mahasiswa berkurang sehingga gagasan yang diusung tidak lagi orisinal. Dalam proses perkuliahan, terutama perihal tugas dan skripsi beberapa dosen menguji penguasaan mahasiswa dalam teknologi. “Sekarang, Turnitin—aplikasi untuk cek plagiarisme—mengembangkan alat deteksi untuk tulisan hasil ChatGPT,” lanjutnya, Sabtu (15/3).
Mahasiswa Prodi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Brawijaya, Muhammad Faris Faisal mengatakan ChatGPT sangat membantunya dalam proses perkuliahan. Ia dapat menggunakan ChatGPT untuk mencari jawaban ketika presentasi dan menyusun beberapa bagian dalam makalah. Menurutnya, hasil penelusuran yang ditampilkan ChatGPT lebih tepat, relevan dan efisien. “Kalau menggunakan Google atau web penelusuran lainnya, hasilnya memang banyak namun harus dibuka satu-persatu dahulu, itu amat memakan waktu,” katanya, Kamis (16/3).
Senada dengan Faris, Mahasiswa Prodi Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Emirani Nurfaiza menilai penggunaan ChatGPT lebih praktis dibanding website penelusuran lainnya. Ia sering menggunakan aplikasi ini untuk mencari suatu definisi dengan cepat. Ia tidak sepakat terhadap pemblokiran ChatGPT karena menimbang manfaat dari aplikasi tersebut. “Tapi, kalaupun mendesak, sudah disalahgunakan sehingga merugikan banyak pihak, saya setuju saja jika aplikasi tersebut dihapuskan,” lanjutnya, Kamis (16/3).
Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie menilai pemanfaatan teknologi dalam pendidikan tak bisa dihindari. Di sisi lain, itu akan menjadi tantangan ketika teknologi disalahgunakan oleh para sivitas akademika. Menurutnya, pedoman dan aturan ketat dalam penggunaan teknologi tetap diperlukan sebagai langkah antisipasi penyalahgunaan ChatGPT.
Tholabi menyatakan UIN Jakarta akan segera merancang pedoman penggunaan teknologi dalam perkuliahan, baik berbentuk Surat Ketentuan (SK) Rektor maupun surat edaran. Para dosen pun akan diminta untuk selalu mengecek keaslian karya tulis dan mengimbau mahasiswa agar tidak menyalahgunakan ChatGPT. “Aturan tersebut harus diimplementasikan dalam proses pembelajaran di kelas, misalnya disisipkan dalam komponen Rencana Pembelajaran Semester (RPS),” ucap Tholabi, Kamis (30/3).
Reporter: SDC
Editor: Nurul Sayyidah Hapidoh