Pram dan Semangatnya Melawan

Read Time:2 Minute, 23 Second
Wong Dzolim saat berorasi tentang kebudayaan pada acara Peringatan 7 Tahun Kepergian Pram di lapangan Student Center (SC) Selasa, (30/5)

Tujuh tahun sudah Pramudya Ananta Toer pergi,  namun semangatnya dalam melawan penindasan dan ketidakadilan tak pernah padam. Ia merupakan sosok yang keras, namun penyayang. Ia juga pembangkang, namun sangat nasionalis. Meski pernah ada tawaran untuk menjadi warga negara lain, tapi dia menolak. Itulah Pram.

Hal itu diungkapkan oleh gitaris sekaligus vokalis Band Tetralogiska, Aditya Prasstira, pada acara Haul Tujuh Tahun Kepergian Pramudya Ananta Toer yang digelar di lapangan Student Center (SC), Selasa (30/4). Adit juga mengatakan, sebagai cucu Pram, ia sangat mendukung acara ini, karena menurutnya semangat Pram dalam melawan ketidakadilan dan penindasan adalah warisan yang harus diteruskan oleh kaum muda khususnya mahasiswa. “Acaranya keren dan cukup kreatif,” ujarnya, Selasa (30/4).

Acara haul ke tujuh Pram diselenggarakan oleh Angkringanwarta.com, Teater Syahid, Kolekan, Majelis Kantiniyah, Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEMJ) Aqidah Filsafat, SMGI, Piramida Circle, Surah, dan Lembaga Pers mahasiswa (LPM) INSTITUT.

Meski didanai hanya dari sumbangan mahasisawa, acara ini terbilang ramai. Acara ini dihadiri oleh beberapa aktivis, sastrawan, budayawan, dan sejarawan, seperti Martin Alaieda, Hilmar farid, Hamzah Sahal, Wong Dzolim, A.J Sumana, Ade faisal, dan Jibal Windiaz.

Selain itu, acara ini juga dimeriahkan oleh penampilan drama dari Teater Syahid, pembacaan puisi dan tari oleh Pojok Seni Tarbiyah (Postar), penampilan Band Tetralogiska, dan pembacan sholawat oleh Kolekan.

Dalam sambutannya, ketua panitia Haul ke tujuh Pram, Kiki Ahmad Rizki mengatakan, selain orasi kebudayaan acara ini juga bertujuan untuk mengenalkan Pram kepada mahasiswa. Karena menurutnya banyak mahasiswa yang tidak mengenal Pram, “Bahkan tadi ada yang nanya Pram itu siapa? Malah lebih parah lagi ada yang nanya Pram-nya dateng nggak?” tuturnya, Selasa (30/4).

Setelah berorasi tentang budaya, Martin Aleida mengatakan, acara seperti ini sangat bagus apalagi dibuka dengan lagu dan tarian Genjer-genjer. Menurutnya, lagu itu adalah lagu rakyat yang dilarang oleh pemerintah, sehingga orang-orang takut menyanyikannya. “Mahasiswa sudah menunjukan perlawanan meski dengan hanya menyanyikan lagu itu,” ujarnya, Selasa (30/4).

Menanggapi banyaknya mahasiswa yang tidak mengenal Pram, Martin mengatakan, ketidaktahuan mereka karena banyak sejarah yang disembunyikan dalam buku-buku pelajaran sejarah. “Seharusnya pemerintah menerbitkan buku yang sejarahnya tidak disembunyikan, agar siswa dan mahasiswa bisa membaca sejarah dengan benar, dan juga agar diketahui pubik,” tuturnya.

Ia menambahkan, disukai atau tidak, Pram itu sudah diakui oleh dunia bahkan beberapa kali ia dicalonkan untuk menerima hadiah nobel. “Sinisme sejarahlah yang membuatnya tidak dikenal oleh publik sendiri,” tegasnya. Namun, kata Martin, pada Pram kita belajar mencintai bangsa dan tanah air Indonesia sekali pun kadang pahit rasanya.

Senada dengan Martin, Kordinator Umum Piramida Circle, Dedik Priyanto mengatakan, Pram adalah sosok yang mempunyai sikap perlawanan dan konsistensi. Pram melawan segalanya dan dia konsisten untuk tidak masuk kedalam pemerintah, dia juga konsisten dalam menulis. “Itu yang seharusnya dicontoh dan dimiliki mahasiswa,” ujarnya, selasa (30/4). (Ahmad Sayid)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Semangat Pemuda, Semangat Indonesia
Next post Memahami Islam dalam Jilbab