Read Time:1 Minute, 13 Second
Bertepatan dengan International Women Day, puluhan masyarakat yang tergabung dalam Komite Persatuan Perjuangan (KPP) melakukan aksi terkait kesetaraan dan kesejahteraan bagi perempuan di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (8/3).
Aksi tersebut menuntut kesetaraan delapan jam kerja bagi buruh perempuan. Hal itu diutarakan Ronal Sapriansyah, salah satu anggota KPP. Ia mengatakan, aksi yang diikuti oleh beberapa organisasi tersebut juga menuntut gaji layak bagi buruh perempuan. “Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada buruh migran Indonesia serta mencabut UU No. 39 tahun 2004,” ujar Ronal, Minggu (8/3).
Ronal menambahkan, dikeluarkannya UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak memberi jaminan perlindungan sepenuhnya. “UU tersebut hanya dibuat untuk kepentingan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja saja,” paparnya.
Sementara itu, salah satu anggota dari Serikat Mahasiswa Indonesia, Martin Luise mengatakan, pemerintah harus menghapus sistem kerja kontrak dan outsourcing. Meskipun ada UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang mengatur jaminan terhadap hak-hak buruh perempuan, namun pada praktiknya masih banyak perusahaan yang melakukan kekerasan terhadap buruh perempuan.
Alhasil, sambung Luise, sekarang banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dengan alasan efisiensi dan relokasi. Hal itu menyebabkan banyak buruh perempuan menjadi pengangguran tanpa gaji pesangon. Selain itu, mereka tidak mendapat tunjangan untuk melahirkan, hak cuti hamil dan keguguran.
Luise mengatakan, salah satu tujuan aksi tersebut untuk membangun kesadaran masyarakat Indonesia agar tidak pasrah terhadap penindasan yang dilakukan terhadap mereka. “Sekarang, saatnya perempuan Indonesia bangkit, belajar dan melawan penindasan,” kata Luise.
Ika Puspitasari
Average Rating