Ilustrasi. (Sumber: Internet) |
Read Time:4 Minute, 7 Second
Oleh: Ahmad Hifni*
Beberapa hari lalu (Senin, 9 Maret 2015) rektor terpilih UIN Jakarta periode (2014-2019) Prof. Dr. Dede Rosyada melantik hampir seluruh dekan fakultas serta direktur Sekolah Pascasarjana baru.
Tercatat dekan baru itu meliputi Fakultas Tarbiyah, Adab, Syariah, Dirasat Islamiyah, Ekonomi, Kedokteran dan direktur Sekolah Pasca Sarjana serta dekan baru wajah lama meliputi fakultas Ushuluddin, Dakwah, Psikologi, Sains dan Teknologi. Lalu menjadi pertanyaan, mengapa revolusi besar-besaran struktural jabatan kampus dilakukan?
Fenomena baru ini membuat tanda tanya semua pihak sivitas akademika UIN Jakarta, khususnya mahasiswa. Betapa tidak, setelah rektor baru terpilih, tidak ada yang meduga akan ada perombakan jabatan struktural kampus secara besar-besaran. Faktanya, pada periode-periode sebelumnya tidak pernah rektor baru merombak dan melantik para dekan secara serentak. Maka perlu pemahaman secara luas tentang kebijakan-kebijakan rektor, agar seluruh sivitas akademika UIN Jakarta mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
Prerogatif Rektor
Peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 17 tahun 2014 tentang statuta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa rektor mempunyai hak penuh dalam mengangkat dan memberhentikan perangkat pembantu rektor (warek, dekan, dan wadek). Peraturan baru itu juga yang mengubah kewenangan para Senat Universitas yang sebelumnya mempunyai hak untuk mengangkat wakil rektor, dekan dan wakil dekan. Maka, dampak kebijakan ini rektor bukan sekadar organ yang menjalankan fungsi pengelolaan kampus, tapi juga mempunyai hak prerogatif penuh dalam mengintervensi dan mengatur jabatan struktural kampus.
Tentu kebijakan ini bisa kita asumsikan pada dua pendapat, positif dan negatif. Dampak positifnya adalah pertama, kebijakan antara dekan dan rektor sejalan, sehingga hambatan-hambatan dalam pandangan maupun kebijakan kampus tidak akan terganjal oleh kebijakan para perangkat pimpinan kampus di bawah rektor. Keselarasan dalam pandangan ini bisa saja karena faktor kedekatan dan kese-larasan rektor dengan pimpinan pembantu rektor menjadi tombak sinergisitas menuju visi besar UIN Jakarta.
Kedua, Peraturan tentang statuta UIN Jakarta telah mengubah kewenangan senat dalam memilih rektor, dekan, warek, dan wadek. Fungsi senat telah kembali, yakni pada penetapan dan pertimbangan pelaksanaan kebijakan akademik. Tugas dan fungsi senat yang selama ini hanya sibuk mengurusi jabatan struktural kampus dan hanya cenderung politis akan kembali pada kebijakan-kebijakan maupun pertimbangan terhadap rektor dan para pejabat kampus dalam bidang kebijakan akademik.
Adapun dampak negatif peraturan baru ini adalah pertama, fakultas tidak mandiri karena proses desentralisasi diubah menjadi sentral kekuasaan rektor. Kemandirian fakultas akan terganjal oleh intervensi rektor. Apabila kebijakan dekanat tidak selaras dengan rektorat, besar kemungkinan kebijakan itu akan terganjal. Proses kemandirian itu akan lebih didikte oleh sentral rektorat.
Kedua, rektor picu tindakan otoriter. Sistem pemilihan langsung oleh rektor akan memicu tindakan semena-mena rektor. Pemilihan akan bersifat subjektif karena rektor hanya akan memilih orang-orang terdekatnya atau para pendukungnya. Sehingga kualitas intelektualitas, pengalaman dan track recordcalon pejabat kampus tidak lagi menjadi pertimbangan, melainkan hanya karna faktor balas budi atas terpilihnya rektor baru. Kebijakan ini merupakan indikasi nyata kemunduran demokrasi di kampus.
Politik Chemistry
Sudah menjadi persepsi umum, bahwa dampak kebijakan ini adalah para pejabat yang akan diangkat menjadi dekan ialah orang yang dekat, selaras, sejalan, searah, baik dalam pemikiran maupun idealisme intelektual dengan rektor. Inilah “politik chemistry” jabatan. Akan menjadi baik jika dapat memperlancar visi dan misi yang diusung rektor terpilih menuju UIN Jakarta yang lebih baik di masa depan. Tapi akan menjadi ancaman jika yang dipilih justru hanya karena faktor kedekatan. Apalagi jika pengangkatan pejabat kampus yang baru dapat menurunkan kualitas kampus.
Inilah dinamika perjalanan suatu kebijakan kampus. Dalam kebijakan baru ini ada pihak yang pro dan kontra. Bagi yang pro, ini merupakan awal kemajuan revolusi struktural jabatan yang selama ini hanya sibuk dengan politisasi jabatan kampus. Bagi yang kontra, kebijakan ini merupakan kemunduran. Mereka yang kontra bukan tidak ingin menyuarakan aspirasi kekecewaannya dan memprotes kebijakan ini.
Namun dengan etika sopan selayaknya kita sebagai sivitas akademika harus menjaga legitimasi sebagai seorang intelektual dan akademisi. Karena tanggung jawab itu harus mengedepankan etika yang ramah, bukan dengan protes demonstrasi anarkisme. Meskipun dalam perspektif psikologis penulis sangat yakin ada keinginan memberontak yang besar dari para dosen, mahasiswa, dan seluruh perangkat kelembagaan kampus. Tak perlu orasi berkoar-koar dengan microphone atau teriakan yang akan mewarnai suara-suara gema kampus.
Jauh dari itu semua, kita hanya bisa berharap dengan adanya kebijakan baru ini dapat meningkatkan kualitas UIN Jakarta, sebagaimana visi kampus menuju World Class University. Bukan malah membawa kampus UIN Jakarta menurun dengan kualitas menjadi buruk, terbelakang, dan mengalami kemunduran. Karna kita tahu, di era kepemimpinan sebelumnya kita telah memegang amanah sebagai kampus Islam terbaik di Indonesia.
Pengangkatan para pejabat kampus yang baru tentu bukan hanya sebuah revolusi struktural saja, tapi harus menjadi sebuah revolusi multi-kebijakan. Revolusi harus dilaksanakan dalam bidang akademik, anggaran, dan kebijakan-kebijakan yang dapat membawa UIN Jakarta menjadi muara perguruan tinggi Islam Indonesia, bahkan dunia. Sebagai pemegang amanah tridarma perguruan tinggi, kita harus tetap mengelola pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan lebih baik. Jangan sampai sivitas akademika bertransformasi menjadi sivitas politika.
*Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta
Average Rating