Membingkai Ilmu Pengetahuan dengan Karya Seni

Read Time:3 Minute, 16 Second

 
Karya seni merupakan media untuk menyampaikan keindahan. Melalui seni rupa, pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam menyajikan sebuah penelitian ilmiah.

Seorang pria menggoreskan kuas di atas kain putih berukuran 120cm x120cm. Ia torehkan tinta hitam untuk melukis pulau-pulau di Indonesia, dari Sumatera hingga Papua. Gerakan jemarinya kemudian membuat garis melengkung yang melintang di antara Kalimantan dan Sulawesi.

Pria itu melukis peta persebaran hayati di Indonesia serta menandai titik hutan tropis di Pulau Jawa dan Kalimantan. Proses melukis tersebut terekam dalam video berdurasi 6.25 menit yang dipamerkan di Galeri Lantai 2 Salihara. Lukisan The Frids Hutabarat dalam video tersebut menggambarkan keanekaragaman hayati yang ditemukan Alfred Russel Wallace sejak 1823 hingga 1913 di Nusantara.

Di sisi kanan proyeksi video, terlihat paruh runcing seekor burung dan sepasang kaki kecilnya. Kerangka burung yang berusia lebih dari 100 tahun itu nampak bertumpuk tercetak di atas kertas berukuran 90×60 cm. Burung tersebut adalah jenis Kakaktua (Plyctolophus) yang ditemukan di Lombok pada November 1894.

Sedangkan pada sudut lain ruangan, kodok hitam dengan empat kaki berselaput mengambang dalam tabung berdiameter 15cm dan panjang 30cm. Berbeda dengan kodok biasanya, reptil bernama kodok pohon besar ini memiliki selaput amat lebar sehingga ia dapat terbang dari satu pohon ke pohon lain. Kodok terbang ditemukan pertama kali pada 1860 di Borneo. Kini, jenis kodok pohon besar ini tak dapat ditemukan lagi.

Wallace pun menggambarkan perubahan setiap spesies tersebut yang tercetak pada kertas berwarna coklat kekuningan. “Perubahan spesies merupakan sebuah proses yang lambat. Kita semua setuju akan hal itu, walaupun berbeda pendapat tentang bagaimana proses tersebut terjadi,” ungkap Wallace dalam kertas itu.

Dua ekor cendrawasih (Paradisaea apoda) juga tak kalah menarik perhatian pengunjung. Dalam kubus yang terbuat dari kaca bening, kedua burung cendrawasih itu bertengger di sebuah ranting. Sayapnya yang berwarna kuning kecoklatan membentang dari sebelah kiri hingga kanan kubus. Jenis burung cendrawasih kuning besar ini ditemukan hanya di Papua.

Selain itu, ratusan miniatur kupu-kupu menempel pada sebuah kain putih yang digantungkan di tengah ruangan. Warna merah, kuning, biru dan hijau dari kupu-kupu tersebut terlihat mencolok di atas kain putih. Beberapa kupu-kupu yang paling besar dengan sayap berwarna-warni merupakan jenis Ornithoptera croesus yang ditemukan di Ambon.

Di sisi kanan miniatur kupu-kupu, empat orang yang membawa tombak tengah menyelamatkan diri dari serangan orang utan (Pongo) yang menggigit salah satu dari mereka. Penyerangan orang utan tersebut tercetak dalam foto berukuran 30 cm x 30 cm.Tak hanya foto, kulit orang utan  dengan bulunya yang coklat pun terbaring di atas meja sepanjang 2 meter dan lebar 60cm.  Lengkap dengan tengkorak yang juga tergeletak di sebelahnya.

Pameran 125.660 spesimen sejarah alam ini memperlihatkan ekologi Indonesia pada tahun  1823-1913. Pameran ini melibatkan 23 seniman dan ilmuan dari Indonesia dan mancanegara. Dalam pameran spesimen, para seniman dan ilmuan menelusuri penemuan Wallace serta mendokumentasikan dalam bentuk karya seni.

Asisten kurator, Bima Asya mengatakan, pameran yang digelar dari 15 Agustus-15 September ini menggabungkan dunia seni dan ilmu pengetahuan. “Kami ingin  menyampaikan suatu permasalahan dari penelitian dan pengolahan data melalui karya seni,” tutur Bima, Minggu (6/9).

Dengan adanya pameran spesimen bersejarah ini Bima berharap, masyarakat Indonesia dapat menjaga ekosistem. “Apabila salah satu spesies hilang dari suatu ekosistem dapat merusak spesies lainnya, bahkan manusia itu sendiri,” ungkapnya.

Salah satu pengunjung asal Depok, Salfia Rahmawati mengungkapkan, pameran ini merupakan hal baru baginya, ia dapat menikmati seni dan juga ilmu pengetahuan sekaligus. “Banyak spesimen alam yang dijadikan lukisan, miniatur, puzzle dan masih banyak lagi di pameran ini,” katanya.

Senada dengan Selfia, Puan Dinar, seorang ibu dengan dua anak ini juga menikmati pameran terrsebut. “Kebetulan saya mengajak anak saya, dan mereka menjadi lebih mudah belajar mengenai hewan dan habitatnya di sini,” tutur Puan, Minggu(6/9).

Namun Puan menyayangkan beberapa hal dari pameran yang merujuk pada jejak Wallace ini. Menurutnya, ada beberapa karya seni yang penjelasannya kurang lengkap. “Banyak foto kupu-kupu, namun tidak ada nama dan penjelasan spesifik mengenai jenisnya,” pungkasnya. 


Ika Puspitasari

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Koalisi Masyarakat Tangsel Tuntut KPK Tuntaskan Korupsi
Next post Lestarikan Keroncong melalui Pagelaran Seni