Gong Si Bolong Warisan Seni Tanah Baru

Gong Si Bolong Warisan Seni Tanah Baru

Read Time:2 Minute, 55 Second
Gong Si Bolong Warisan Seni Tanah Baru

Warisan leluhur seringkali diacuhkan oleh para pewarisnya. Berbeda dengan Gong Si Bolong karena keturunan dan warga masih mempertahankannya.


Kesenian Gong Si Bolong (GSB) telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Penghargaan tersebut diberikan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) pada tahun 2021. Seni yang berasal dari Depok ini telah berdiri sejak tahun 1600-an.

Pelatih GSB, Ahmad Olih menjelaskan sejarah GSB, berawal dari Kesenian Tayuban yang kemudian melahirkan GSB dan Kesenian Ajeng khas Depok. Ajeng merupakan instrumen gamelan yang hanya menggunakan Terompet Ajeng.

Ajeng berasal dari kata Pajeng, yakni permainan gamelan di  panggung setinggi kurang lebih dua meter dan menghadap ke sawah. Ajeng kerap kali digunakan sebagai pengiring petani saat musim panen. Dahulu, orang memakai ani-ani untuk memotong tangkai-tangkai padi hingga ada lagu yang bernama Ani-ani Potong Padi.

Dikutip dari situs web Kelurahan Tanah Baru, GSB telah memperoleh banyak prestasi dari kancah nasional hingga internasional. GSB kerap kali mewakili berbagai ajang kejuaraan di bidang seni. 

GSB telah meraih beberapa penghargaan besar, antara lain Anugerah Kebudayaan Tahun 2011 dan Pelestari serta Pengembang Warisan Budaya oleh Wakil Presiden. Selain itu pada tahun 2013 diakui sebagai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat oleh Gubernur Jawa Barat.

Olih menyebutkan ragam kesenian yang terdapat di GSB, yakni Gamelan Ajeng, Mapag Besan, Tayuban, Ganjuran, hingga Wayang Kulit. “Biasa dimainkan untuk menyambut  pesta rakyat dan hari besar nasional,” ungkapnya, Jumat (29/12).

Lanjut, Olih mengatakan jika dahulu wayang digunakan untuk mengiringi hajat. Berbeda dengan sekarang, pertunjukan wayang hanya dikonsumsi oleh orang yang tertarik dengan seni. “Sekarang tidak bisa menyamaratakan orang suka seni, tapi kita menolak punah,” tegasnya.

Olih menjelaskan, guna mengikuti zaman dan sebagai bentuk syiar, seringkali Gamelan Ajeng digunakan untuk mengiringi selawat. “Menerapkannya tidak sebentar harus menyatukan rasa terlebih dulu,  prosesnya butuh waktu lama,” pungkasnya.

Pengurus GSB, Haidlr Basyaru berpandangan, tantangan kesenian pada era modern adalah kurangnya generasi yang mempunyai rasa peduli terhadap kesenian. Saat ini orang lebih memilih menghabiskan waktunya dengan teknologi. ”Regenerasinya susah dan yang tertarik di bidang seni juga kurang,” ungkapnya, Jumat (29/12).

Jika masyarakat ingin mengundang GSB untuk pertunjukan, lanjut Haidlr, terdapat  tarif yang telah disesuaikan dengan jenis dan jumlah keseniannya. Tarif dibanderol mulai dari Rp5 juta hingga Rp20 juta. 

Haidlr menuturkan, tak hanya masyarakat sekitar, Pemerintah juga turut memberikan perhatian dan bantuan untuk warisan seni. Saat ini, GSB sudah mendapat sertifikasi nasional dari pemerintah. “Pemerintah juga memberikan bantuan dana untuk pelatihan dan operasional,” ungkapnya.

Haidlr turut mengajak siapapun yang tertarik di bidang seni dapat mengunjungi GSB. Ia siap menerima serta membuka pintu bagi siapapun ingin datang, belajar dan ikut latihan. “Langsung saja ke sanggar di Tanah Baru kita belajar bersama,” ajaknya.

Anggota GSB,  Maulana Oktaviansyah mengaku, dirinya mengikuti GSB karena berasal dari keluarga seniman. “Dari kecil sudah diajak Ayah main ke GSB dan berlanjut sampai sekarang,” tuturnya, Jumat (29/12).

Maulana juga mengajak para pemuda untuk lebih memperhatikan dan peduli terhadap kesenian yang sudah ada. “Kalau bisa duduk bareng, latihan bareng, dan kita rawat tradisi ini,” pungkasnya.

Warga Tanah Baru, Fathir Gibransyah mengatakan, adanya GSB mempermudah mengenal kesenian dan warisan yang ditinggalkan oleh para nenek moyang. Keberadaan GSB juga menguntungkan untuk para pemuda supaya lebih mengenal kesenian. “Supaya para pemuda lebih mengenal kesenian dan daerahnya menjadi terkenal dengan simbol keseniannya,” ujarnya (29/12).

Lanjut, Fathir menilai masyarakat sekitar dari berbagai kalangan usia masih peduli terhadap GSB sebagai warisan leluhur. “Remaja sekarang suka teknologi modern, di sini masih peduli kesenian,“ pungkasnya.

Reporter: SAA

Editor: Nabilah Saffanah

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Fasilitas Kurang Berfungsi, Kehilangan Menghantui Previous post Fasilitas Kurang Berfungsi, Kehilangan Menghantui
Mahasiswa Harapkan Fasilitas Penyeberangan Aman Next post Mahasiswa Harapkan Fasilitas Penyeberangan Aman