Surat Terbuka untuk Menristek Dikti dari Mahasiswa Bodong

Read Time:3 Minute, 44 Second
(Sumber: Internet)

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) menonaktifkan tiga perguruan tinggi di bawah Yayasan Aldiana Nusantara. Ketiganya adalah Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Suluh Bangsa, dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT).

Salah satu alasan penonaktifan tiga kampus tersebut, menurut Menristek Dikti, Muhammad Nasir dikarenakan ada praktik jual beli ijazah ke Papua, Maluku, dan sejumlah daerah di luar Jakarta.


Menanggapi hal tersebut, seorang mahasiswa dari STKIP Suluh Bangsa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) mengirimkan surat terbukan untuk M. Nasir. Berikut petikan surat terbuka  dari mahasiswa yang bernama Usman Lamawulo.


Yang Terhormat,

Bapak Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi
di
Jakarta

Assalammu’alaikum, Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua.

Perkenalkan Pak Menteri, nama saya Usman Lamawulo saya berasal dari Kampung Kalikur di pelosok Lembata, pesisir Flores, NTT. Saking pelosoknya, sulit bagi bapak untuk menemukan kampung saya. 

Pak Menteri, saya adalah mahasiswa bodong dari kampus ilegal Yayasan Aldiana Nusantara yang baru-baru ini menjadi buah bibir masyarakat dan media. Mohon maaf Pak Menteri kalau saya harus menulis surat terbuka ini kepada Bapak karena saya tidak mengerti bagaimana caranya untuk bisa curhat ke Bapak Menteri.

Sebelum saya ceritakan bagaimana saya bisa terlempar ke Jakarta dan menjadi mahasiswa bodong, saya ingin berbagi kisah saya dahulu kepada bapak, kisah dari anak pedalaman yang sulit terjamah, namun kenyataannya merupakan bagian dari NKRI yang saya cintai. 

Di kampung saya, Desa Kalikur saya mengawali pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Swasta Alhuda Kalikur, tidak ada SD Negeri di kampung kami . Guru di sekolah saya seluruhnya hanya lulusan SMA, tidak seperti guru di SD atau MI lain di Jawa ataupun Jakarta yang pendidikannya sarjana. 

Setelah lulus MI yang tidak terakreditasi ini, saya lanjutkan sekolah di MTs. Kalikur.  Meskipun menempati bangunan reyot, ini adalah satu-satunya MTs negeri di Kabupaten Lembata. Di sekolah ini guru-guru kami lagi-lagi sangat sedikit yang bergelar sarjana, di sekolah ini pula cita-cita menjadi sarjana bagi saya mulai tumbuh. Bagi kami anak Desa Kalikur bermimpi menjadi sarjana adalah hal yang hampir mustahil.

Setelah lulus MTs, saya kembali melanjutkan pendidikan tingkat SMA dengan fasilitas yang buruk dan terbatas. Bagi kami, anak Flores, stereotip yang selalu melekat pada kami sebagai anak bodoh, miskin, bahkan primitif yang sudah akrab dengan keterbatasan. Meski demikian, cita-cita menjadi sarjana tetap kuat di benak saya.

Bapak Menteri, setelah saya lulus SMA akhirnya saya sadar, saya terbangun dari mimpi, bahwa menjadi sarjana adalah tidak mungkin bagi saya. Ayah saya hanya seorang kuli bangunan, dan Ibu saya bukanlah wanita karir, terlalu mahal bagi saya untuk bermimpi  menjadi sarjana.

Namun, percayakah Pak Menteri dengan keajaiban dan doa yang di ijabah…?? Sebuah berita adanya beasiswa penuh datang menghampiri saya. Saya mendapat tawaran beasiswa di Jakarta, berkuliah di Ibu Kota adalah melebihi harapan dan doa yang saya panjatkan. 

Akhirnya, bersyukur pada Allah, saya resmi menjadi mahasiswa, saya berkuliah di STKIP Suluh Bangsa Yayasan Aldiana Nusantara. Selama kuliah, saya tidak memiliki tempat tinggal, hingga akhirnya organisasi Muhammadiyah memberikan saya naungan dan tempat berteduh secara cuma-cuma bagi saya, di Asrama milik Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat ini saya bertemu dengan mahasiswa beasiswa dari berbagai kampus. 

Pak Menteri, sebelum pendidikan kuliah saya di ujung tanduk ini berakhir oleh sanksi, izinkan saya menanyakan suatu hal kepada Bapak, setidaknya jawaban dari bapak selaku pejebat penyelenggara negara membuat saya tenang.

Pak Menteri, saya sudah sadar, bahwa pendidikan murah dan bermutu bagi rakyat menupakan amanat UU, tapi kenapa negara tidak menangkap mimpi, doa dan harapan saya yang ingin menjadi sarjana? Dan kenapa, justru sebuah kampus ilegal yang menangkap doa saya, dan memberikan beasiswa kepada saya? Lalu, apakah negara menyadari, di tengah pendidikan saya yang bodong tersebut, justru sebuah organisasi Muhammadiyah yang memberikan saya sebuah tempat untuk berteduh? Sedangkan di Jakarta saya begitu banyak dipertunjukan berbagai aset negara nan megah.

Lalu, kini di berbagai pemberitaan, yang menghadirkan wajah intelektual bapak, kami dicap sebagai mahasiswa ilegal, bodong, abal-abal, dan sebagainya. Kami diancam akan diberhentikan, akan ditutup kampus kami. Saat ini saya kembali was-was, bahwa suatu saat negara akan mencabut cita-cita saya untuk kembali kampung dan mengajar sebagai sarjana.

Pak Menteri, saya hanya mahasiswa yang mendapat beasiswa, dari kampus bodong ini, saya tidak mengetahui mengenai praktik jual beli ijazah, dan perkuliahan fiktif yang menjadi sensasi di Kemeterian Bapak. Namun, saya di sini benar-benar menjalankan perkuliahan semestinya. Saya berharap, kementerian bapak dapat memberikan solusi yang dapat menyelamatkan impian saya dan mahasiswa lain dari Sabang hingga Merauke untuk dapat menggapai mimpinya.

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Aksi Tani Tuntut Reforma Agraria
Next post Aliansi Tarik Mandat Tuntut Jokowi Lengser