Manusia Jarak Jauh

Read Time:4 Minute, 52 Second
Sumber: Internet
Oleh: Fikri Bermaki*


Sepuluh orang dalam satu perkumpulan adalah hitungan yang tidak bisa dibilang sedikit. Aku sengaja membiarkan telepon genggamku tergeletak di atas meja yang penuh dengan aneka makanan supaya aku dapat berinteraksi dengan kawan-kawanku, tapi mereka lebih asyik dengan orang yang jaraknya lebih jauh daripada kami yang hanya berjarak satu jengkal.

Aku lirik kanan, temanku berambut keriting asyik dengan media sosial facebook sambil menulis di statusnya: “Asyik, akhirnya bisa kumpul lagi setelah liburan panjang kuliah @kedaikopiabah”. Lalu temannya ada yang komentar: “Ciye Rudi asiknya yang kumpul bareng-bareng lagi,” kemudian dibalas oleh Rudi: “Iya dongs”, dan terus mereka balas-balasan sampai saya bosan menunggu jedanya. Tunggu dulu tadi dia bilang kumpul? Aku sangat kecewa dia bisa menulis seperti itu karena dari sejam yang lalu aku hanya melihat dia asyik dengan telepon genggamnya tanpa basa-basi dengan kami yang lebih dekat.

Di depanku, temanku yang paling cantik, karena dia seorang yang mengenakan kerudung. Bagiku perempuan yang berkerudung akan lebih anggun dibanding perempuan yang tidak berkerudung. Tapi bukan hanya kerudung yang menjadi tolok ukur melainkan sikap dan perbuatan. Mitha namanya, sangat murah tersenyum dan yang paling penting adalah akhlaknya baik nan santun. Tapi, sayang sekali Whatsapp membawanya menjadi orang pikun. Pikun bahwa dia sedang berada dalam satu perkumpulan yang sebetulnya sudah diidam-idamkan sejak libur.

Aku kesal mereka mengabaikan begitu saja perkumpulan ini. Aku sempat mengajak ngobrol Dodi, tapi dia bilang “tunggu sebentar, ki. Lagi BBMan nih”.
 Aku pun memesan makanan kembali dan memanggil pelayan. Tak lama kemudian datanglah kentang goreng pesananku. Aku pun asyik makan kentang goreng pesananku, tiba-tiba tangan Adi dari arah yang jauh menyambar kentang gorengku, lalu aku lirik ke arahnya ternyata ia sedang menikmati dunia yang lainnya.

Tidak biasanya Adi seperti ini, biasanya dalam kumpul seperti ini ia selalu menjadi orang yang paling ramai di antara kami. Tapi kini, dia hanya tertawa sendiri melihat telepon genggamnya, entah apa yang dilihat dan dibacanya. Aku hanya melihatnya tertawa, hanya itu.
Tak terasa satu setengah jam sudah terlewati begitu saja tanpa obrolan dan tanpa papasan dalam perkumpulan. Aku merasa sendirian meski orang lain melihat kami berkawanan. Facebook, twitter, whatsapp, BBM dan jejaring sosial lainnya menenggelamkan mereka pada dunia yang baru dikenal olehnya.

Waktu pun semakin larut, orang-orang mulai meninggalkan kedai, tinggal kami sepuluh orang dalam satu meja.Aku merasa asing dengan temanku sendiri. Kekecewaanku semakin menderu kala Ica mengajak kami untuk foto bareng. Kami semua berpose dengan gaya masing-masing. Selepas itu kembali mereka sibuk dengan telepon gengamnya tanpa mau melihat hasil fotonya terlebih dahulu. Dan mereka malah lebih suka meminta foto untuk dikirim ke jejaring sosialnya.
“Ca, fotonya masukin ke Path aja ya”, kata Yogi.

 “Ke Whatsapp aku juga ya cantik”, kata Mitha dan mendapat anggukan dari yang lain.
 “Aku mah semuanya aja ca, kirim ke semua jejaring sosial aku ya”, kata Adi yang setelah itu disuraki oleh teman yang lainnya.
“Iya tenang aja. Kau tidak ingin dikirim ke facebookmu, Riki? Atau ke jejaring sosialmu yang lain?”, tanya Ica.
“Tidak, ca. Aku mungkin akan lebih suka kita berbincang dibanding kita harus mengabadikan moment yang tak indah ini!”, akhirnya aku dapat mengatakannya dengan lantang.
“Maksudmu apa Riki?”, tanya Mitha dengan herannya.
“Kumpul seperti ini sebetulnya yang kita idam-idamkan bukan? Dua bulan kita libur, tak pernah kita tatap muka. Tapi setelah kita bertemu, kalian hanya memainkan handphone kalian saja tanpa ada obrolan satu sama lain!”

Perlahan semua temanku menatapku dengan seksama, sebagian ada yang menundukan kepala sambil menaruh telepon genggamnya di meja.
“Aku sengaja menaruh handphoneku di atas meja, supaya aku dapat berbincang dan menikmati waktu bersama kalian. Tapi kalian malah lebih asyik dengan jejaring sosial yang kalian miliki. Aku juga punya, tapi aku tidak terlena. Akan ada waktunya kok. Sekarang kita lagi kumpul. Lagi kumpul!”
Adi yang tadinya mendengarkanku bicara sambil memainkan telepon genggamnya pun kini menaruh teleponnya di atas meja. Lalu diikuti oleh teman yang lainnya. Bahkan Mitha pun mematikan daya telepon genggamnya.

“Mungkin orang lain melihat kita sedang kumpul dengan jumlah yang cukup banyak, tapi mereka tidak tahu apa yang kita bicarakan. Bukan hanya mereka yang tidak tahu, kalian juga tak tahu kan apa yang daritadi kita perbincangkan?”
“Jelas kalian tidak tahu apa yang kita bincangkan, karena kalian hanya asyik dengan facebook, twitter, dan  media sosial lainnya. Manusia yang jaraknya jauh kalian sambangi dengan handphone yang kalian punya, sementara kita yang sedaritadi duduk dalam satu meja tak ada yang berbicara sepatah kata pun. Aku ingin memulai obrolan, tapi satu di antara kalian ada yang masih asyik BBM pacarnya.
Dodi menundukkan kepala karena dia tahu itu adalah perbuatannya tadi.“Bukan hal yang sering, tapi jarang. Kumpul seperti ini jarang kita dapatkan lagi. Apalagi orangnya pas ada sepuluh, biasanya ada saja yang tidak hadir. Tapi karena hanphone yang kalian milikilah seakan kita mempunyai sekat dinding walau kita duduk berdekatan”

 “Ini kesempatan kita kumpul. Ini sahabat-sahabat kalian. Melebihi pacar kasih sayangnya. Jangan kalian diamkan. Manusia yang di handphone kalian adalah manusia yang jaraknya jauh dari pandangan. Pandangilah kita yang dekatnya satu meja. Pandangi dan ajak bicara!”, tegasku.

“Kalau tujuan kalian berkumpul hanya ingin mendapatkan foto-foto, lebih baik cari tempat rekreasi atau tempat wisata yang indah. Bagiku foto adalah bonus dari kesempatan kita berkumpul.
Ica pun menundukkan kepalanya tanpa melihat aku, entah dengar atau tidak, yang jelas ia merasa bersalah. “Sudah satu setengah jam lebih aku menunggu kalian untuk berhenti sejenak memainkan handphone. Tapi nyatanya kalian malah lebih asyik. Baiklah, sepertinya menonton TV di rumah atau mungkin membaca buku akan lebih asyik dibanding harus menonton kalian tertawa dengan handphone kalian masing-masing”, aku pun pamit.

Semua diam dan hanya mengangguk saat aku pamit kepada mereka.

“Hati-hati, Riki. Terimakasih atas malamnya kali ini”, hanya Mitha yang berujar kepadaku, tapi kali ini tidak dengan senyum khasnya mungkin ia tertegun mendengar kata-kataku tadi.


*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post The Rush of New Program
Next post Efektivitas Sanksi Bagi Mahasiswa Perokok