Read Time:3 Minute, 49 Second
Oleh : Rizqi Jong*
Sehari sebelum membuat tulisan ini saya membaca kembali salah satu cerpen dari salah satu sastrawan kondang negeri ini; AA Navis, judulnya “Robohnya Surau Kami”. Berkisah tentang kakek penjaga surau yang hidupnya disibukkan untuk fokus mengejar akhirat saja hingga lalai akan kewajibannya di dunia. Ia bicara tentang sebuah sindiran. Kisah tentang bagaimana sebuah hidup semestinya dijalani.
Pada beberapa derajat kita menyebut sindiran sebagai perbuatan tidak menyenangkan itu sebagai peringatan. Tapi kita tahu bagaimana akhirnya. Si penjaga surau itu memutuskan bunuh diri karena tak tahan dengan sindiran. Kata-kata seringkali bisa lebih keji dari kematian itu sendiri. Ia merusak mental, menghancurkan kebanggaan dan ia membuat manusia merasa kalah tak berharga.
Usaha AA Navis untuk mengkritik dengan perumpamaan kisah seorang kyai yang masuk neraka sangatlah masuk akal. Saya kira untuk Anda yang belum membaca cerpennya, segera mungkin untuk membacanya. Apa yang baru saja saya tulis di atas hanya potongannya saja. Kalau Anda tidak membacanya dengan utuh, saya khawatir Anda menuduh saya yang tidak-tidak.
Pernahkah Anda dikritik? Disindir? Ya, kritik, sindiran dan sejenisnya, seringkali dimaknai sebagai bentuk hinaan atau mengandung unsur kebencian. Padahal, jika bisa sedikit saja berpikir jernih, kritik bisa diartikan sebagai usaha untuk mencintai. Dulu atau mungkin sekarang orang menulis cerpen untuk melakukan kritik. Menyamarkan rupa cerita untuk memberikan peringatan.
Dulu Ada harian Harian Rakjat sebagai koran yang kerap menghajar para tokoh melalui rubrik kebudayaan. Ada yang frontal menyebut nama ada pula yang sembunyi dengan metafora. Koran kala itu menjadi hantu yang mengerikan karena mampu membeberkan kebobrokan orang, aib diumbar dan tentu saja koran mampu mengadili seseorang.
Itu dulu, bagaimana sekarang? Bukankah media cetak banyak yang mengalami senjakala? Jawabannya ada. Namanya media sosial. Ia adalah hantu baru yang kita sebut sebagai akses langsung untuk berpendapat tanpa harus bertatap muka. Nafsu dominasi dan usaha membuat manusia lain lebih rendah melalui kata-kata nyinyir dan umpatan. Kita menemukan terma baru bullying atau penggencetan sebagai bentuk relasi agresif untuk membuat satu pihak lebih terhina dari yang lain. Seringkali bullying diawali dari guyonan, namun tak sedikit yang memang dilahirkan dengan keinginan menyakiti.
Momentum pilkada/pilpres seringkali menjadi puncak massifnya para pengguna media sosial untuk bullying, saling menghujat, nyinyir dan tak jarang berujung ke meja hijau. Sudahlah jujur saja kadang kita menikmati perilaku ini. Ada rasa puas ketika kita melakukan penindasan pada orang yang dianggap lebih inferior dari kita. Bahwa orang yang kita tekan, tindas, dan nistakan itu memang pantas diperlakukan demikian.
Masih ingat beredarnya video salah seorang kepala daerah terkait surat Al Maidah yang menjadi viral di media Sosial? Bahkan karena video itu ribuan orang rela datang ke ibu kota. Tentu saja, para predator seperti saya ini yang aktif menggunakan media sosial seolah mendapatkan angin segar untuk melegitimasi dan panggung untuk melakukan hujatan maupun menyalurkan kebencian.
Penindasan atau populer disebut cyber bullying adalah hal yang jamak ditemui. Sudah tidak asing lagi dalam kehidupan kita. Model seperti itu disukai banyak orang sebagai cara untuk menjatuhkan seorang karena si pelaku tidak perlu berhadapan muka dengan orang lain yang menjadi targetnya, hanya berhadapan dengan layar komputer atau layar telpon seluler dan dapat dilakukan selama 24 jam dimana saja. Kadang yang menjadi entry pointnya adalah membangun diskusi atau perdebatan yang sebenarnya tidak essensial atau melakukan penyanggahan tanpa dasar yang kuat dan menggunakan bahasa kasar dan menghina.
Pada akhirnya sebuah penindasan tak akan pernah bisa diakhiri. Diredam mungkin bisa untuk beberapa hari kedepan. Media sosial sudah terlanjur menjadi panggung dimana bullying atau penindasan itu sebagai salah satu hiburannya. Mereka yang berpikir untuk berhenti sebentar melakukan bullying karena berpikir ‘ah, itu tidak etis bagi saya’ sama saja munafik.
Kita pun pada akhirnya mengakui tak ada yang bisa dilakukan kecuali menakar diri bahwa ada ruang-ruang dimana sebuah umpatan bisa dilakukan, sebuah kata tajam bisa diutarakan dan kritik pedas bisa disampaikan. Sejatinya tak pernah ada yang tahu batas etika dan moralitas di internet. UU ITE yang menjadi salah satu upaya pemerintah untuk meredam seringkali tak berarti apa-apa.
Bagi saya, hal yang mampu membuat hidup lebih ringan dengan berhenti melakukan itu atau mengakui bahwa saya adalah satu dari sekian banyak biang kerok di media sosial. Tidak perlu menjadi seorang yang belagak sok bijak atau rendah hati. Tidak mau kalah adalah jati diri yang tidak takut saya akui. Atau meminjam bahasanya Awkarin; “Aku Penuh Dosa”.
Menjadi bijak adalah usaha untuk menjadi santun dan jujur pada setiap saat. Bukan hanya satu momen tertentu atau hanya karena masyarakat menekan kita berbuat demikian. Seseorang yang sering berkata lacur tiba-tiba menjadi suci hanya karena dikritik dan takut dicap sebagai amoral. Bukan hal ini sangat menjijikan. Mari kita mengakui kalau kita adalah para penindas.
*Peminum kopi dan penyulut kretek
Average Rating