Mile

Read Time:9 Minute, 9 Second
Oleh Aliffaiz Achmad Iman*
Pukul setengah sepuluh malam, jalanan kota Bandung terdengar begitu sepi dari kamar kos ku yang tidak jauh dari jalanan utama kota. Dengan kondisi kebugaranku yang tidak begitu baik dan butuh perawatan sekadarnya, aku memaksakan pulang ke rumah ibuku di Jakarta.Motif rindu rumah juga berangkat sebagai latar belakang keberangkatan. Biasanya dengan urgensi seperti ini aku meminta kiriman uang dari ibuku tapi tidak bisa gara-gara hari paling tragis yang menimpaku kemarin lusa.Berawal dari dompetku menghilang dari saku belakang celanaku, entah itu tertinggal di kelas pagi atau mungkin kecopetan ketika berjalan menuju kantin, yang pasti aku sudah mencoba mencari dompetku di kelas pagi itu. Kisah tragis dihari itu bertambah dengan perangkat telepon genggamku yang tercebur ke dalam kloset kamar kos pada sore hari ketika sibuk scrolling timeline akun propagandis. Betapa bodoh dan teledornya aku hari itu, seketika malam itu jadi sosok yang berbeda ketika meratapi hari yang serasa begitu panjang.

Dengan mengandalkan uang simpananku di lemari bukuku yang berjumlah delapan puluh ribu rupiah aku nekat berangkat malam itu juga. Dengan persiapan yang sepertinya cukup memadai seperti sebotol penuh air mineral dan dua bungkus mi instan tak lupa juga kubawa empat buah kaset pita lengkap dengan earphonedan pemutar kaset pita itu sendiri untuk menemani suntuknya perjalanan malam. Selepas melaksanakan ibadah salat Isya dan berdoa agar dilancarkan perjalananku, aku berangkat dengan menggunakan sepeda motor dengan transmisi otomatis pemberian ibuku. Tujuan terdekat saat itu adalah pom bensin yang kulewati pertama kali yang harus ada di sisi kiri jalan. Di pom bensin aku mengisi penuh kapasitas bensinku dan sesudahnya aku membeli rokok kretek secara eceran di warung yang cukup berdekatan dengan pom bensin tersebut.Usai membakar batang pertama aku kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan aku merasa doaku dijabah, dari Bandung hingga Ciputat yang kurang lebih berjarak sekitar lima puluh kilometer. Langit tampak selalu cerah, aku bisa melihat lebih banyak bintang-bintang di langit tanpa terganggu polusi cahaya dan tentu pembandingnya adalah Bandung dan Jakarta. Aspal jalanan begitu lembut hampir tidak ada lubang, penerangan jalan juga tidak begitu seburuk empat tahun lalu ketika aku baru pertama kali berangkat kuliah dari rumah menuju kampus sebagai maba tulen. Atas berkah cuaca dan kondisi jalan aku merasa banyak berterima kasih dan sedikit merasa malu kepada birokrat setempat yang memperhatikan akses transportasi, karena sebelumnya aku agak jijik kepada mereka.
Ditemani dengan musik yang mengalir secara analog dari walkman ke telingaku, suasana perjalananku menjadi semakin nyaman.Setiba di daerah yang menurut papan penunjuk jalan, sudah di Cianjur atau setidaknya dekat-dekat Cianjur, udara mulai dingin dan angin juga mulai berhembus kencang.Setelah melewati pertigaan akses Bandung-Sukabumi-Jakarta, gerimis mulai turun meski awan tampak tidak begitu tebal. Mendekati Cipanas, suhu begitu terasa sangat dingin dan gerimisnya juga menjadi semakin deras. Aku memutuskan untuk meminggirkan sepeda motorku terlebih dahulu dan mengenakan jas hujan yang sepanjang lutut, tapi karena aku juga menutupi tas ransel yang kukenakan dengan jas hujan yang juga kukenakan, jas hujan tersebut hanya menutupi hingga pangkal paha. Di Puncak sekitaran kebun teh, udara dingin kini hingga mencapai puncaknya, curah hujan juga menyerap ke dalam sepatu, sarung tangan dan juga celana jeansku.Tidak hanya menerima air, aku juga mengeluarkannya dari tubuhku, air keluar dari mata karena aku mulai mengantuk, keringat dingin juga keluar dari pori-pori tengkuk hingga leher serta bersin-bersin yang mengeluarkan lendir-lendir dari hidung dan mulut. Aku menyesal untuk tidak berhenti ketika hujan mulai deras yang tidak kuketahui kira-kira persisnya kapan aku harus berhenti.Karena sudah terlanjur basah, jadi kulanjutkan saja perjalanan pulang.
Sudah memasuki kabupaten Bogor, kira-kira masih di daerah Puncak juga, hujan mulai mereda tapi aku masih merasa kedinginan karena pakaianku yang dibasahi air yang begitu dingin. Karena sebagian besar jalanan kedepan adalah turunan, aku memilih untuk mematikan mesin sepeda motorku karena uang bekalku sudah kurang dari setengah. Baterai pemutar kasetku sudah habis ketika hujan mulai mereda dan aku mulai suntuk dan benar-benar mengantuk karena kelelahan. Kontur jalanan daerah ini begitu bergerunjal, hampir tidak ada yang rata. Pengguna jalanan daerah ini juga begitu brengsek menurutku, bagaimana bisa orang-orang mengendarai kendaraannya dengan begitu kebut dan ugal-ugalan, baik itu menggunakan sepeda motor, mobil, truk dan bis yang pembuangan emisinya luar biasa mengebul, serta kendaraan mewah yang ber arak-arakan dengan menggunakan sirine serta bunyi-bunyi aneh yang jalannya dibukakan oleh perangkat-perangkat keras. Karena sudah sangat gusar, mengantuk serta demam yang semakin menjadi, aku memilih untuk beristirahat sejenak di dalam masjid terdekat yang secara kebetulan tampak agak mewah, kebetulan karena aku memilih dengan tidak sengaja. Di parkiran masjid aku membereskan jas hujan yang kukenakan, serta melucuti sarung tangan dan kaus kaki yang begitu lepek.Usai membereskan semuanya yang dirasa penting, seseorang yang sepertinya pengurus masjid menghampiriku. “Mau apa?” Mendengar pertanyaan itu aku agak panik jadi kontan kujawab saja “sembayang, pak” “Gak boleh!apa-apaan kamu mau solat di sini, kamu gak pantes salat di sini, setelan preman, mana bau lembab pula, sudah bukan waktunya salat juga”.

Aku bingung dan bertanya-tanya kenapa orang dengan penampilan yang tampaknya begitu suci itu berkata seperti itu dan kurasa aku tidak sanggup untuk berdebat.Memang aku mengenakan jaket hitam lusuh, celana robek-robek yang sebenarnya robeknya juga tidak kusengaja dan melebar sendiri robekanya, serta sepatuku yang memang sudah lumayan hancur meski masih bisa kukenakan.Aku lebih merasa tampak sebagai gembel ketimbang preman.”Wah, numpang istirahat aja gak boleh pak?Inikan rumah Allah untuk umatnya” dengan nada mengemis dan sok polos aku mengiba.”Sok suci kamu!Mana ada dalilnya?Pergi kamu, ngotor-ngotorin ubin masjid aja nanti kamu!” Dengan kecewa aku mohon pamit dan meminta maaf karena mengganggu, tak lupa juga aku bersalim dengan mengambil bapak itu terlebih dahulu dan dia tidak menolaknya. Kunyalakan kembali motorku dan kuucapkan salam dengan manggut ke bapak tersebut, aku tidak mendengar balasannya.
Dalam melanjutkan perjalanan aku semakin merasa konyol setelah secara fisik aku lumayan tersiksa, kini aku menggerutu dan memaki-maki bapak tadi dalam hati, ya kini aku semakin kacau dengan merasa dendam dan benci. Ditambah ketika berada di depan masjid agung di kota Bogor gerbang utamanya ditutup, aku malas mencari jalan lain untuk masuk karena dari luarpun masjidnya tampak begitu gelap, aku justru semakin kesal dan kebencianku malam itu justru membuatku lupa aku merasa sakit meski hampir lima menit sekali aku bersin-bersin di atas sepeda motorku.
Sudah lebih dari setengah perjalanan menuju rumah, jalanan juga sudah tidak semenyebalkan sebelumnya, bekalku kini tinggal uang lima ribu rupiah karena sisa kembalian uang rokok dan bensin ketika ku isi di Bandung sudah kugunakan untuk mengisi bensin tidak jauh dari masjid yang batal kusinggahi. Sebungkus mi rebus mentah juga sudah kulahap ketika aku memutuskan berhenti untuk mengenakan jas hujan. Persediaan rokok juga sudah habis.Aku semakin bersemangat ketika merasa sudah cukup dekat dengan rumah, tapi apadayaku melawan tubuhku yang semakin melemah dan sempat tertidur sembari mengendarai sepeda motor. Kuputuskan untuk berhenti di pelataran ruko untuk tidur sejenak.Sekitar setengah jam tidur di lantai, aku merasa lebih buruk ketimbang sebelumnya meski sedikit mengobati rasa kantuk. Kulanjutkan perjalanan hingga kujumpai sebuah kubah kecil di sisi kiri jalan yang berjarak sekitar 50 meter di depanku, dengan semangat kupacu sepeda motorku menuju kubah yang ternyata adalah bagian dari sebuah musala. Setibanya di sana aku melihat beberapa buah sepeda motor serta beberapa buah gerobak yang bentuknya berbeda-beda. Di dalam musholla tersebut banyak laki-laki yang terbaring di atas karpet-karpet bergambar masjid, hanya sebagian kecil dari isi musholla yang melakukan sholat malam dan berdzikir.Seketika aku langsung menuju tempat wudhu untuk membasuh tangan, wajah serta kaki dan langsung masuk ke dalam musholla untuk merebahkan badan dan langsung tertidur setelah kupastikan semua perlengkapan dalam jangkauan aman meski aku sudah tertidur.
Sebangun tidur aku merasa menjadi lebih baik, aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, jam terakhir yang kulihat adalah jam yang digantung di kamar kos ku. Kulihat jam di musholla menunjukkan kurang dari pukul empat dini hari, dan kulihat lima jam mati yang salah satunya menunjukkan waktu adzan subuh jatuh pada pukul 04.35 WIB. Kupastikan semua bawaanku tetap pada tempatnya dan semuanya lengkap.Penghuni musholla tampaknya sudah lebih sedikit ketimbang yang kulihat ketika aku baru tiba, meski ada beberapa yang tadinya tidak kulihat ketika aku mulai merebahkan badan.Usai memperhatikan, aku beranjak keluar menuju parkiran masjid untuk beranjak pulang.Tidak jauh dari motorku kulihat ada bapak-bapak yang memegangi gerobak yang menjajakan kue putu.Karena menyadari keberadaanku dia menegurku dan bertanya, “Dek, ada korek, dek?””Oh iya, pak, ini ada” kusodorkan korek gas milikku.Bapak itu menyalakan sebuah lilin di gerobaknya dan mengembalikkannya padaku.”Ini, terima kasih”.”Sama-sama, pak”.Kemudian bapak itu mengangkat lilinnya dan menyambung apinya kedalam yang sepertinya sumbu di dalam gerobaknya dan peluit khas kue putu berbunyi. Bapak tersebut membakar rokok kreteknya dari api yang menyala di lilin lampunya dan melanjutkan menyalakan lampu petromak kecil di sisi depan gerobaknya sebelum meniup api dari lilin tersebut.
Sembari duduk mengumpulkan nyawa, aku memandangi bapak penjual kue putu tersebut, inginku basa-basi tapi bingung.Beruntung, bapak penjual kue tersebut menawarkan dagangannya terlebih dahulu sebelum aku memberanikan diri untuk menegurnya.”Berapaan, pak?” “Terserah, seadanya si adek aja”.”Lima ribu dapet, bang? Saya tambahin deh pake mi rebus belum masak” sambil kusodorkan mi rebus yang sudah kugapai dari dalam tas berikut uang terakhirku. “Wah, dapet dek, alhamdulillah, saya juga laper”.”Loh, pak, bapak kan dagang makanan, masa laper, pak?””Lha, inikan dagangan, dek, ya kudu jadi duit buat urip anak, cucu, dek”. Jawabnya sambil menertawakan pertanyaanku.”Eh, saya angetin dulu ya, dek, ini kretek buat nungguin nganget”. Entah kenapa aku menerima tawarannya dan langsung menghisap rokok yang baru saja kuterima. Aku terdiam dan bingung dengan logika yang dianut oleh bapak tua pedagang kue putu tersebut.”Dari mana, dek, nyubuh begini masih, keluyuran?””Dari kampus, pak, ini mau pulang”. “Masak baru pulang kampus jam segini? Abis diskusi mahasiswa gitu ya, dek?”. “Oh, nggak, pak, saya dari Bandung emang mau pulang aja pak, kangen ibu, hahaha”. “Walah jauh bener, dek ya ampun, hati-hati, dek, bahaya itu jauh, capek lho itu, dek, saya kiramah abis diskusi, soalnya anak saya yang paling bontot pulang malem mulu, alesannya ya diskusi melulu, jadi ya saya ngiranya si adek ini abis diskusi, gitu”. “Ya saya kadang-kadang aja sih, pak ikut-ikut diskusi, hehe”.Bapak tersebut beranjak dan menyajikan kue putunya, dan kembali melanjutkan perbincangan yang membahas seputar perkuliahan, keluarga masing-masing dan pekerjaan si bapak.

Sekitar 20 menit berlalu, aku beranjak dan mengucapkan salam serta terima kasih kepada bapak penjual kue putu tersebut. Sesudah si bapak menawarkanku menetap setidaknya hingga adzan subuh untuk sholat subuh meski aku berdalih aku memilih untuk solat di rumah dan rumahku dapat ditempuh dalam waktu sekitar setengah jam.Karena begitu bersemangat dalam memacu sepeda motorku, aku tiba di rumah dalam waktu kurang dari setengah jam, di depan pagar rumah, aku masih bisa mendengarkan suara imam yang memimpin solat berjamaah dari pengeras suara masjid dekat rumah. Aku semakin merasa lega karena bisa datang lebih awal, meski tidak kujumpai ibuku di rumah.Karena sangat kecewa aku memilih untuk langsung tidur.

*Pegiat Komunitas Rusa Besi

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Kita adalah Para Penindas
Next post Sema Dema UIN Jakarta Sikapi Aksi 212