Read Time:2 Minute, 48 Second
Oleh Ahmad Nauval*
Desember ini, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta akan menyelenggarakan Pemilihan Umum Raya (Pemira) organisasi kemahasiswaan. Pemira yang diadakan setahun sekali ini bertujuan untuk keberlangsungan dan kesinambungan pembinaan mahasiswa melalui organisasi. Pemira dilaksanakan secara langsung oleh mahasiswa –dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk oleh tim independen– dengan metode yang mengacu pada Pancasila, Tri Dharma Perguruan Tinggi, dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Organisasi Kemahasiswaan UIN Jakarta.
Pemira 2016 kali ini membawa angin segar bagi jalannya demokrasi mahasiswa di UIN Jakarta. Minat dan perhatian terhadap pemerintahan mahasiswa bertumbuh naik dalam tiga tahun terakhir. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya mahasiswa yang berpartisipasi menggunakan hak politiknya baik sebagai pemilih ataupun sebagai calon ketua dan anggota.
Tahun ini, posisi calon Senat Mahasiswa (Sema) menjadi sorotan. Dari hasil rekapitulasi pendaftaran, diketahui sebanyak 74 mahasiswa yang mendaftar sebagai bakal calon anggota Sema di tingkat universitas (Sema-U). Begitu pula halnya dengan Sema di tingkat fakultas (Sema-F) yang menunjukkan peningkatan.
Terdapat semacam perubahan arah perhatian dan kecenderungan yang patut dicatat. Posisi Sema sebagai lembaga legislatif (rule making function) mulai disadari peran pentingnya dalam pemerintahan mahasiswa. Sebelumnya, kebanyakan mahasiswa lebih tertarik untuk berkecimpung dalam lembaga eksekutif (rule application function) seperti Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) dan Himpunan Mahasiswa tingkat jurusan maupun program studi (HMJ/HMPS). Memang benar, bila mau mencari eksistensi, lembaga eksekutif memberi kesempatan besar. Sebab, kinerja lembaga ini terlihat dan terasa secara langsung oleh mahasiswa sebagai pelaksana aturan. Namun bukan berarti posisi Sema menjadi tak penting dalam keberlangsungan pemerintahan mahasiswa. Sebab, Sema mengambil peran strategis dalam membingkai kerja pemerintahan mahasiswa agar sesuai dengan AD/ART dan ketetapan yang berlaku. Lebih dari itu, Semajuga mengacu kebutuhan dan aspirasi mahasiswa pada umumnya.
Dalam menjalankan tugas legislasi dan pengawasan, Sema memakai sistem kolektif-kolegial. Kolektif berarti mengambil ketetapan dan keputusan yang mengatasnamakan sidang yang melibatkan anggota-anggotanya. Kolegial adalah tidak adanya stratifikasi antar anggota, tidak ada perbedaan hak dan kewajiban, kecuali pada tanggung jawab administrasi yang telah disepakati. Lain halnya dengan sistem kerja Dema dan HMJ/HMPS yang bertugas menjalankan program-program kegiatan mahasiswa. Corak kerja lembaga itu sangat dipengaruhi oleh ketuanya. Ketua dalam lembaga eksekutif mahasiswa begitu krusial dibanding dengan anggotanya dalam menentukan arah dan bentuk organisasi yang dipimpinnya.
Dalam perihal keanggotaan, Sema-U sendiridipilih lima orang dari perwakilan fakultas. Sedangkan anggota Sema-F terpilih tiga orang dari masing-masing jurusan/prodi. Bila pendaftar melebihi batas kursi perwakilan, maka dilakukan pemilihan melalui pungutan suara. Artinya,untuk menjadi anggota Sema bukanlah hal mudah. Belum lagi setelah terpilih menjadi anggota, para anggota yang terpilih akan melakukan sidang pemilihan ketua Sema. Sedangkan keanggotaan Dema dan HMJ/HMPS ditunjuk dan dibentuk oleh ketua dan wakil ketua terpilih. Ini juga menjadi perbedaandinamika antara lembaga legislatif dan eksekutif.
Sudah sepatutnya kita syukuri bersama bahwa mahasiswa UIN Jakarta mulai memiliki kesadaran kolektif akan pentingnya partisipasi politik dalam pemerintahan mahasiswa. Apapun pilihan partisipasinya, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, menjadi bekal pembelajaran yang berharga. Berbagai kebutuhan dan aspirasi mahasiswa bisa disalurkan lewat organisasi kemahaiswaan sebagai jembatan antara pihak mahasiswa dengan kampus. Pilihan untuk meneruskan tradisi berdemokrasi menjadi pilihan tepat. Walau dalam kenyataannya, mereka harus menghadapi kepahitan. Sebab di samping UIN Jakarta bukan lembaga politik, hadirnya pemerintahan kemahasiswaan yang dipilih lewat pemilu berpotensi memunculkan disorientasi mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika kepada kecenderungan politis dan hegemoni kekuasaan.
*Ketua Forum Komunikasi dan Kajian PAI (FK2I) UIN Jakarta
Average Rating