KATA

Read Time:4 Minute, 38 Second
Oleh : Rinai Riinday*

Dalam setiap kata terselip beberapa makna yang sulit untuk diucapkan. Begitu pula tentang sebuah rasa yang tertahan dan enyah dimakan oleh waktu, pada akhirnya rasa itu terselip dalam bangsal-bangsal penyesalan yang dikenang selamanya. Seperti tanda koma yang dimunculkan semau-mau dan seperlu-perlunya penulis. Begitulah kiranya kisah amatir nista yang akan aku ceritakan.

Malam itu, di sebuah peraduan senja, tepatnya di bawah nyiur pohon kelapa dan tepat di hadapan tangis senja, dia bertemu dengan seorang lelaki berparas khas timur dan berbadan khas barat. Ia menatap dalam-dalam hingga akhirnya mengalir sebuah desiran rasa yang janggal. Kiranya tak perlu seorang jalang seperti dia mencintai yang mustahil menjadi miliknya. Namun, pekara cinta tak ada yang bisa dielakan.

Kala itu, ia melemparkan sipuan senyum yang jarang ia keluarkan untuk para lelaki bejat. Saat itu senyumnya amat sangat tulus. Namun, rasaku tak ada yang benar-benar tulus dalam sebuah putaran roda kehidupan. Nahas, pria itu berlaju begitu saja tanpa memberi balasan. Mungkin, fikirnya gadis itu menawarkan badannya. Tetapi, sebetulnya gadis itu menawarkan sebuah rasa yang masih belum bisa dicari makna leksikalnya.

Wanita bertubuh semampai yang molek itu merah padam dibuatnya malu. Realitanya, memang bukan kali ini saja ia ditolak mentah-mentah. Bahkan, beberapa malam sebelumnya, ia pun sering ditolak mentah dan dinistakan begitu saja kepada orang-orang laki yang nyatanya lebih nista dari padanya, tetapi kali ini, ada sebuah tusukan tersendiri yang tertancap pada hatinya.

Wanita itu kembali ke tepi pantai, melonjorkan kaki mulusnya yang berlapis kain sari tipis buah tangan pelanggannya. Ia merenung, mengangkat butiran-butiran pasir dan menaruhnya lagi. Sekiranya, menjadi perempuan jalang memang sulit menggapai cinta. Padahal, setiap malam ia selalu bercinta. Tapi, dalam hidup makna cinta terbelah menjadi dua ; cinta yang hina dan cinta yang mulia.
Dahulu kala, hidup sebuah keluarga yang akur dan nyaman dipandang. Keluarga itu adalah keluarga Syekh Ali Syahbana seorang petuah di desa Temanggung, Jawa Tengah. Hidup sepasang laki bini yang dikaruniai seorang putri nan jelita dan soleha. Putri tercinta itu selalu mengenakan jilbab sebawah pusaran perut serta terseret-seret pakaian bawahnya sebagai penutup aurat

Syahdan kiranya, gadis itu gemar sekali akan sebuah kesenian. Bukan kesenian wayang warisan para wali. Bukan pula syair-syair syekh pujian baginda nabi, melainkan sebuah kesenian kata yang terus ia ukir di sebuah buku merah bersulam benang emas itu. Namun, kata yang ia tulis bukan berbau agama melaikan berbau cinta yang hina di mata ayahanda.

Setiap hari, selepas sore ia berjalan kepinggiran danau yang berada di belakang halaman masjid dengan maksud untuk menulis. Banyak orang yang sudah tau akan kebiasaannya, begitu pula dengan sang ayah. Dengan molek ia ukirkan pena yang berisi perihal pujian-pujian cinta. Ya, cinta yang haram menurut ajaran moyangnya.

Diam-diam gadis itu memasuki pintu rumahnya. Mangumpat-umpat agar bukunya tak terlihat orang-orang rumah. Karena, yang ia tahu, ayahnya tak suka dengan kesenangannya. Dulu, ketika ia berusia 15 tahun, tepat menginjak masa pubertas, ayahnya pernah memergoki tulisan syairnya yang berbau cinta. Lantas, sang ayah turut merobek kertas tersebut, ibunya hanya diam seakan menunjukan kesetujuan atas sikap ayahnya. Sebab itulah sekarang hatinya selalu diliputi rasa was-was akan kesenangannya.

Kala itu kejadiannya sangat menegangkan. Aku masih ingat betul kejadiaannya. Saat itu, ketika semua santri sedang tadarus dan sang ayah sedang asyik mendengarkan lantunan ayat suci, tiba-tiba Laila datang kemudian disambut hangat dengan senyum ramah ayahnya. Namun, saat kejadian itu berlangsung, Laila lupa menyembunyikan buku sakunya, ia menentengnya dan beranjak salim dengan ayahnya yang kemudian dilihatlah oleh ayahnya buku tersebut. pertama-tama sang ayah bertanya dengan nada perlahan, namun Laila tak kuasa menahan cucuran keringat dari rasa tegangnya sehingga hal tersebut membuat sang ayah curiga. Diambillah oleh ayahnya buku tersbut dan dibacanya kemudian.

Para santri yang ada saat itu hanya diam bak menyaksikan teater yang sedang dipentaskan.mereka hanya melongo melihantnya. Terlebih ketika gurunya tersebut menyobek-nyobek kertas milik putrinya sembari menyebut-nyebut istighfar.

“Apa yang salah dari menulis, Ayah? Bukankah segala syariat juga dituangkan melalui tulisan, sehingga kita bisa tahu sampai saat ini? Bukankah dengan tulisan serupa ini Sulaiman dan Bilqis bisa bersatu? Kenapa Ayah? Kenapa ayah mengharamkan hal yang belum jelas keharamannya? Bukankah tidak semua kelangkaan dalam budaya itu batil adanya, Ayah?”

Raungan gadis itu disambut meriah dengan sentuhan telapak tangan sang ayah di pipinya. Semua orang yang menyaksikan terheran-heran, begitu pun aku. Lantas, gadis itu berlari tanpa ada yang menahannya. Ia lekas mengunci pintu kamarnya dan saya tak tahu lagi apa yang diperbuatnya di dalam kamar itu. Namun, jelas yang saya tahu ia hanya ingin merangkai kata sedemikian rupa. Ia hanya ingin menjadi Kartini yang mahir akan tulisan. Tapi, mau dikata apa, yang keluarganya tahu hanya tulisan arab dan aksara melayu yang menceritakan sebuah legenda islami.

Gadis jalang itu terhentak ketika seorang pedagang asongan menegurnya untuk berpindah tempat. Ia menutup buku sakunya, menyudahi tulisannya mengenai kekolotan keluarga Laila.  Sekiranya, hanya melalui tulisan inilah ia bisa menjadi raja atas kehidupan. Berhak menciptakan tokoh apapun, berhak mematikan dan membangkitkan tokoh, dan berhak untuk mencintai walau hanya dalam sebuah cerita. Realitanya wanita panggilan seperti ia semakin ditekan martabatnya oleh masyarakat. Jangankan untuk mendengar impian dan keluh kesahnya, melihat senyumnya pun masyarakat akan jengah, terkecuali laki-laki hidung belang yang faedahnya lebih rendah darinya. Bedanya, wanita seperti ia tak punya uang untuk memanipulasi publik dan pria itu memanfaatkan uang untuk membungkam kenyataan. Bedanya lagi, ia tak punya asal-usul keluarga orang penting untuk membuat orang lain sungkan dengannya. Toh yang penting dari hidup ini ialah uang dan jabatan, bukan?


Wanita itu beranjak dari tempat duduknya. “Ah, mungkin perihal pria tadi, aku akan memilikinya lewat ceritaku selanjutnya.” katanya.

*Mahasiswa PBSI UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Terganjal Tim Verifikasi, FDI Kembali Aklamasi
Next post Mengenang Gus Dur, Sosok Penuh Toleransi