Read Time:6 Minute, 24 Second
Oleh Imam Budiman*
Ia adalah seorang penyair.
Setidaknya, begitu kesaksian orang-orang kota ini, ketika di mana pun namanya disebut; di pasar, pangkalan ojek, pentas seni, alun-alun hingga balai desa. Jawaban mereka tak jauh berbeda, ia adalah seorang penyair –meskipun sebagian mereka juga sering salah, dengan mengatakan kalau ia adalah seorang novelis. Padahal, kedua sebutan tersebut memiliki definisi yang jauh berbeda.Penyair itu, Aksara–namanya.
Tidak jelas asal-usul identitasnya. Kedatangannya yang tiba-tiba, sebatang kara, menyewa sebuah kos-kosan untuk ditempati selama setahun penuh kepada Mang Ipuh, dengan perjanjian akan dicicil setiap tiga bulan. Di tempat tinggal barunya itu ia tak juga banyak keluar, kecuali untuk suatu kepentingan mendesak, seperti ke warung untuk membeli barang yang paling sering ia butuhkan:beras, rokok dan kopi.
Ketika menulis, ia seolah menjadi seorang lelaki yang jazab; enggan mengenakan baju–padahal badannya tak ubah tulang berbungkus kulit, menenggak bergelas-gelas kopi; siang-malam, menghisap berbatang-batang rokok dalam satu waktu, sambung menyambung dan, ia juga seorang pegadang tangguh yang baru akan tidur setibanya waktu menunjukan jam empat dinihari. Sebab baginya, dengan begitu ia dapat menulis dengan lancar, serupa arus sungai yang tak henti-hentinya mengalir. Lepas dan bermakna.
Ia lelaki yang aneh. Bohemian, begitu kata orang-orang. Oleh karena itulah mereka menjauhinya. Kosnya nampak sepi jika dilihat dari luar. Di halaman rumahnya daun-daun gugur berserakan. Kalaupun ada yang membersihkan, pastilah itu si Aluh, anak bungsu Mang Ipuh. Ia lelaki yang kumuh, dekil dan menutup diri. Orang-orang kampung ini hanya mengenalinya sebatas nama. Tidak lebih.
Dan untuk mengatasi kesendiriannya, ia menjadi lelaki yang berupaya sekuat tenaga untuk menampung kegilaan-kegilaannya pada lembaran-lembaran kertas. Hal itu tergambar jelas dari puisi-puisi yang ditulisnya berisikan kegelisahan-kegelisahan. Cerpen-cerpennya yang cenderung mengutuki kehidupan. Ia sangat frustasi. Mengeluhkan banyak hal tentang persoalan hidupnya melalui kata-kata.
***
Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri. Tadi, akulah yang menceritakan itu di bagian pertama pengantar ini –bukan si pengarang cerita. Aku adalah laptopnya. Bagian hidup terpentingnya. Bagaimana tidak, ibarat penyalur hasrat, aku adalah tempat berlabuh kasih baginya. Dan aku, dalam cerita ini, akan menjadi orang ketiga yang akan banyak bercerita. Jangan heran kalau aku banyak mengetahui seluk beluk bahkan hingga hal-hal kecil darinya.
Aku adalah laptop usang yang sudah cukup berumur untuk seukuran laptop pada umumnya. Sudah berkali-kali aku masuk “rumah sakit”, untuk di-service karena rewelnya beberapa anggota tubuhku. Maklumlah, faktor usia.
“Wa man nu’ammirhu nunaqishu filkhalqi, afalaa ta’qiluun”
Beruntung, semua masih dapat terselamatkan, meski tentu saja tak seperti semula. Bahkan, di suatu kesempatan, Mail, salah seorang kawan si tuan penyair bilang, kalau aku lebih layak dimuseumkan saja.
“Laptop kau ini buruk kali, Bang. Bak rakitan besi tua zaman belanda.” Tandasnya dengan dialek Medan yang kental. Memukul-mukul punggung monitorku.
Aku tersinggung. Tua-tua begini aku masih kuat bergadang untuk dijamahi tuanku. Dan ia, tuanku itu, suka sekali menyenggamaiku hingga berjam-jam. Senggama memang bahasa yang menurutku, agak saru. Tetapi aku lebih suka memakai istilah itu. Ia lelaki yang –nampaknya tak mengenal orgasme. Sudah kubilang, ia jazab, ia seolah kehilangan akal manakala menggerayangi tubuhku. Kesurupan. Gila. Tak dikenal orang-orang di sekitarnya.
***
Minggu. Pemuatan karya seluruh media cetak.
Di antara sekian banyak penulis yang berladang di koran-koran minggu negeri ini, aku adalah salah satunya, aku ikut menanti dengan perasaan berdebar untuk eksekusi akhir pemuatan karya yang sebelum itu, naskahnya kukirimkan ke beberapa media lokal ternama. Redaktur lebih paham, kegilaan mana yang mesti ditampung dan dikonsumsi pembaca, dan kegilaan mana yang tidak layak santap. Kegilaanku, bukan berarti kesia-siaan. Kegilaan dalam arti yang lebih jauh dan dalam.
Sudah hampir setiap hari aku mendengarkan cercaan demi cercaan yang terlontar dari orang-orang. Bahkan dari kawan-kawan penyair sendiri. Tetapi aku tak mau ambil peduli. Hidup tetaplah hidup. Aku butuh makan. Aku butuh kopi dan aku –seperti penyair pada umumnya, butuh rokok. Di mana aku dapat memeroleh uang kalau bukan dari kantong-kantong para redaktur itu? Aku memahami kemauan redaktur, dan aku mememenuhinya. Ia senang. Meskipun pembacaku, entahlah.
Aku menulis untuk uang. Sebenarnya aku tak ingin mengatakan ini. Terlalu hina, kata mereka yang tetap mempertahankan idealismenya dengan berprinsip, “menulis adalah untuk kebermanfaatan dan mencerdaskan.”
Namun tak dipungkiri pula, konon Pram pun bilang begitu, di samping untuk kebermanfaatan, ada maksud lain dari tujuannya menulis: Uang. Siapa yang dapat menafikan? Aku pun hampir dapat memastikan, di balik alasan yang disembunyikan dan terkesan bertele-tele, sebagian besar penulis –yang tak memiliki profesi sampingan mencukupi, juga berpikir demikian, setidaknya mereka pun memenuhi kebutuhan hidup dari honor menulis dan, tentu saja royalti buku. Begitulah.
***
Pemilikku, si tuan penyair itu, tengah terbaring sakit. Sudah sebulan ini ia terserang demam hebat. Mang Ipuh menyarankan agar tuanku berobat, barang ke puskemas. Sekadar berobat ringan. Tapi ia enggan. Kekeraskepalaannya memang tak terbantahkan.
“Sakit biasa, nanti juga sembuh,” ujarnya meringkuk di kasur. Merapatkan selimutnya seleher.
“Sudah sejak kemarin kau tak makan,” Mang Ipuh mengingatkan.
“Nanti aku bisa beli.” Tuan penyair, ketus.
“Terserah kau saja!” Mang Ipuh kesal. Berbalik badan dari ambang pintu kosan si tuanku. Untuk yang ke sekian kali ia mengingatkan, tapi tak pernah sekalipun digubris. Mang Ipuh hanya mendapatkan jawaban yang itu-itu saja darinya.
Aku mendengus pelan. Menyesalkan perbuatan tuanku yang menjengkelkan. Aku pun turut prihatin dengan keadaannya. Apa daya, aku hanya dapat menyaksikan gigilnya yang semakin menjadi-jadi. Aku tak dapat melakukan apapun. Ia hanya meminum obat warungan. Dengan begitu, menurutnya, akan membuatnya segera sembuh.
Tapi tidak juga! Sakitnya justru semakin parah. Demamnya memuncak. Ia kerap mengigau, siang dan malam. Aku semakin khawatir. Semua menjadi tidak terurus. Berantakan. Dan satu bulan terakhir ini aku tak terjamah. Jangankan untuk mengetik, apalagi begadang, untuk buang air saja ia kepayahan. Tak ada yang membantunya. Semua ia lakuakan sendiri. Tubuhnya semakin kurus. Kalaupun ia ingin makan, ia lebih memilih untuk merebus mie instan yang didapat dari toko besar depan gang –yang sudah hampir kadaluarsa.
Dan aku mulai berpikir untuk meninggalkan tuanku yang celaka ini.
***
Sudah ratusan puisi kutulis. Sudah puluhan cerpen kurampungkan. Kesemuanya beranak-pinak dari imajinasiku. Mereka, anak-anakku. Anak-anak yang lahir dari kegilaan-kegilaanku. Dan untuk melahirkan mereka mau tidak mau harus melalui prosesi persalinan yang purna, aku membutuhkan wadah. Ya, surat kabar! Mereka harus segera lahir. Sebab, adik-adik mereka akan terus menerus minta diperanakkan pula.
Apa mau dikata, puluhan e-mail media cetak kuhimpun, kemudian satu persatu dari tulisanku kukirimkan. Minggu pertama tiba, tak satupun dimuat. Biasa saja, aku tidak terkejut. Aku mengira, masih masuk waiting list yang biasa diberlakukan di sebagian media cetak. Barangkali minggu depan, pikirku. Ternyata perkiraanku salah, tidak ada satupun pemuatan, bahkan hingga minggu-minggu berikutnya.
Aku sudah tak memiliki apa-apa lagi. Bagaimanapun juga, aku masih bergantung pada honor pemuatan. Mengapa akhir-akhir ini para redaktur tak jua melirik naskahku? Barang untuk satu kali pemuatan. Apa mereka jenuh atau, aku ini menjengkelkan? Tidak, aku tidak pernah menagih ke pihak keuangan saat transfer honor terlambat. Aku lebih memilih unutk menanti. Meskipun jelas, bahkan hingga kini, ada beberapa surat kabar yang tidak mengirimkan transferan ke rekening kopongku.
Di warung depan kosan, aku masih berhutang untuk tiga hal pokok: Beras, rokok dan kopi. aku berjanji untuk melunasinya segera. Entah kapan, aku kerap berdalih belum gajian –walaupun itu di awal bulan. Sebab menulis di surat kabar, seperti yang kerap kuanalogikan tak ubahnya seperti sebuah perjudian. Kita tidak tahu kapan dimuat, di awal atau di akhir bulan. Namun kenyataannya justru di luar dugaan. Aku menanti hal yang sia-sia.Sungguh celaka, tulisanku, tak satu pun dimuat!
Hingga suatu hari, di suatu siang yang paling puisi, Izrail menawarkan diri untuk melunasi hutang-hutangku dengan menggadaikan jubahnya.
Ciputat, 2015
*Pegiat Komunitas Rusabesi UIN Jakarta. Peraih terbaik pertama kategori cerita pendek, Event Aruh Sastra 2015 ke-XII, Martapura, Kalimantan Selatan.
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating