Read Time:2 Minute, 17 Second
“Bisu! Tuli! Hahahaha,” disertai gelak tawa mereka. Entah berapa kali aku mendengar umpatan itu. Tak terhitung. Sayatan pada dinding hati terlalu memenuhi ruang dadaku. Umpatan itu selalu menyambut setiap aku memasuki ruang kelas, dan menjadi pengantar kepulanganku.
Pada tingkat pertama aku sekolah, aku masih bisa menahannya. Meskipun sesak yang aku rasakan seakan memberontak ingin segera diungkapkan. Aku duduk di bangku SMP. Hingga aku memasuki tahun kedua. Aku benar-benar tidak bisa menahannya.
Pagi itu, seperti biasa, ayah mengantar aku ke sekolah. Seperti biasa pula, teman-teman juga bersiap menyambutku dengan olokan sampah. Tanpa dikomando, setelah melihatku mereka akan tertawa. Tiba-tiba hatiku memanas. Jeritan dalam hati yang selama ini aku tahan, akhirnya meluap tak terbendung.
Aku benar-benar kesetanan. Kuluapkan kemarahanku ke ayah. Mulutku mencaci seakan tak ada habisnya. Aku membanting setiap apapun yang aku pegang. Berteriak tak terkendali hingga membuat semua orang yang ada disana terpaku melihatku. Begitu juga teman-teman yang sedari tadi mengejekku, seakan mulut mereka tercekat tak satupun dari mereka bersuara lagi.
Ayah hanya terdiam dan tersenyum. Sekeras apapun aku memarahinya. Sekeras itu pula ayah berusaha memberikan senyum terbaiknya. Lagipula ayah tak akan bisa mendengar umpatan-umpatanku. Pun tak akan bisa membalas dengan rayuan-rayuan seperti umumnya seorang ayah yang ingin menenangkan putrinya ketika merengek. Ayah tak sama dengan ayah-ayah yang lain.
“Semua ini karena ayah! Aku menyesal mempunyai ayah sepertimu! Dasar bisu! Tuli!” kata-kata terakhir yang aku luapkan. Sebelum aku meninggalkan ayah seorang diri. Ia hanya terdiam menatapku dari luar gerbang sekolah, namun tanpa sedikitpun meninggalkan senyumnya.
Puas sekali aku rasakan. Rasa lega setelah meluapkan apa yang selama ini aku pendam. Tanpa ada sedikitpun penyesalan. Namun hatiku tetap berkecamuk. Aku langsung menuju ke kelas. Tak kudapati tawa sinis atau umpatan sampah yang aku terima setiap hari. Malahan, aku melihat dalam mata teman-teman rasa takut terhadapku. Seakan tak menyangka aku bisa murka seperti itu. Mereka membangunkan singa tertidur.
Di kelas aku seakan sendirian. Aku dalam keheningan meskipun di tengah keramaian. Aku kalut. Hatiku ribut. Bel pergantian jam membuyarkan kesunyianku. Tak berpikir lama aku keluar kelas membawa ransel. Aku menuju ke kamar mandi sekolah.
Entah setan apa lagi yang merasukiku. Aku membongkar ransel mencari silet yang selalu aku bawa untuk meruncingkan pensil. Setelah menemukannya. Sejenak aku menatap silet tersebut seolah aku membisikinya, “tolong bawa aku keluar dari semua penderitaan ini.”
Darah segar membasahi pergelangan tanganku. Perlahan tak kurasakan sebelah tanganku dan menjalar ke anggota tubuh lainnya. Bayang-bayang gelap mulai menyelimutiku. Semakin redup. Hingga gelap menutup pandanganku. Tiba-tiba terselip sedikit penyesalan. Aku teringat ayah. Aku teringat senyumnya. Namun aku terlanjur hilang. Aku melayang. Tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Yang aku ingat hanya jika terakhir aku menyebut “ayah..”
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta
Average Rating