Read Time:3 Minute, 54 Second
Oleh : Faishal Bagaskara*
Membaca bagi masyarakat pada umumnya merupakan sebuah kegiatan di mana seorang individu bersentuhan dengan objek berupa tulisan baik dalam bentuk kertas maupun buku. dalam KBBI, membaca mengandung makna melihat , memahami serta mengetahui isi dari apa yang tertulis.
Sebenarnya jika kita kaji secara mendalam, aktifitas membaca tidak hanya terikat dengan objek berupa tulisan saja, melainkan juga sebuah usaha dari kemampuan mata kita untuk melihat dengan cara membaca berbagai situasi serta fenomena yang sedang berlangsung pada suatu masa.
Bagi kalangan akademisi khususnya bagi mahasiswa, membaca merupakan sebuah harga mati yang mesti dilakukan, sebab tanpa aktifitas ini para agen perubahan ini akan dengan mudah menjadi santapan musuh besar dari gairah intelektual yaitu taklid buta.
Jika direnungkan, Sudah berapa banyakkah masyarakat kita yang sudah menjadi korban dari pada taklid buta ataupun hoax ? korban di sini bisa merujuk kepada mereka yang mati pemikirannya maupun mati jasadnya karena harus membela sesuatu yang tidak mereka pahami secara kaffah. Sudahkah kita sebagai agen perubahan memberikan penyadaran kepada mereka terkait masalah ini ?
Di antara solusinya, kita bisa merujuk kepada sumber – sumber profetik. Tentu kita ingat dengan wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad di mana Tuhan memerintahkannya untuk membaca, bukan shalat, zakat, ataupun hal – hal ibadah lainnya.
Dari sini tentu kita sudah bisa mendapatkan secercah cahaya kesadaran. Dengan membaca kita akan mengetahui mengapa Tuhan memerintahkan kita untuk beribadah, apa tujuan utama dari ibadah yang kita kerjakan. Kelak agar kita beragama dengan penuh keikhlasan tanpa harus dibayang – bayangi ketakutan akan api neraka. Begitu pun dalam kehidupan sosial, kita mampu memahami arti yang hakiki dari pada kehidupan di dunia ini.
Yang perlu kita garis bawahi ialah Inti utama dari pada membaca ini ialah mencari kebenaran. Tentu dalam mencari kebenaran tidak berhenti sampai dengan membaca saja, kita harus mencari tahu dari manakah sumber bacaan itu, jangan – jangan sumber bacaan itu justru malah membawa kita kepada kesesatan yang akan menenggelamkan kita.
Islam mengenal istilah tabayyun (memeriksa sesuatu dengan teliti). Dalam Surat al Hujurat : 6. Wahai orang – orang beriman, jika seseorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu.
Dengan bertabayyun, islam mengajak seluruh umat manusia untuk bersikap bijaksana dalam membaca suatu kabar maupun peristiwa secara ilmiah supaya dapat menemukan kebenaran yang objektif. Dalam hal ini tabayyun merupakan suatu pencegahan terhadap tindakan taklid yang berujung pada kesesatan.
Khususnya di saat perkembangan teknologi kian canggih, setiap menitnya gadget kita bisa mendapatkan informasi terkait hal – hal yang berkaitan dengan masalah – masalah sensitif seperti agama yang didominasi konflik kaum modernis dan tradisionalis, maupun isu politik yang saat ini tengah ramai dengan bangkitnya PKI di Indonesia.
Berbicara bangkitnya PKI di Indonesia, sudah semestinya kita tidak asal bicara mengenai komunisme di Indonesia. Kita tidak bisa membaca hanya dari satu buah sumber bacaan saja, melainkan kita harus membaca banyak sumber terkait komunisme lebih khusus perkembangannya di Indonesia.
Jika kita merujuk kepada ilmu sejarah, perkembangan komunis di Indonesia khususnya peristiwa tahun 65 dikategorikan sebagai fakta lunak, karena terdapat berbagai macam versi dari para ilmuwan.
Fakta lunak inilah yang menjadi perhatian utama bagi kita, khususnya bagi pembaca yang tidak menekuni dunia kesejarahan untuk cermat dalam menanggapi sumber – sumber bacaan, jangan sampai kita terlena dengan konspirasi – konspirasi yang tersaji di media – media online yang biasa kita santap setiap saat.
Maka dari itu, membaca sambil bertabayyun sangat cocok ditanamkan pada diri kita di era globalisasi saat ini, di mana gadget kita mampu mengakses berbagai macam berita maupun informasi dari manapun. Di tengah zaman penuh fitnah yang kian hari dipenuhi individu – individu pragmatis ini, kita mesti berhati – hati dalam memilih berita maupun informasi yang objektif. Hal ini selaras dengan petuah seorang Filosof Rasionalis Perancis, Rene Descartes (1596 – 1650) de omnibus dubitandum (segala sesuatu harus diragukan).
Dengan memegang prinsip ini, tentu kita tidak akan menjadi zombie – zombie yang bergerak mengikuti nafsunya, meskipun badannya hidup tetapi hilang akalnya dengan membawa segala kerusakan di muka bumi.
Sayangnya di era milenial seperti saat ini, budaya membaca sambil bertabayyun memang tengah mengalami dekadensi. Sesuai dengan ramalan seorang futuris Amerika, John Naisbitt (1929) dalam bukunya Megatrends 2000, bahwa masyarakat pada abad 21 akan didominasi oleh 3F yaitu food, fashion dan fun. Hal ini diperjelas dengan banyaknya mahasiswa sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya menjelajah di dunia maya, sibuk pamer diri di media sosial dan hang out di cafe.
Pada akhirnya, kita pun harus pandai memilih media yang merisalahkan suatu berita ataupun informasi. Sudah semestinya media memiliki sikap objektif serta memiliki kualitas dalam mencari maupun menulis fakta dan tentunya diharapkan memiliki sikap independensi tanpa adanya pihak yang mengendalikan media tersebut.
*Mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, pegiat kajian LKISSAH (Lingkar Kajian Ilmu Sosial dan Sejarah)
Average Rating