Menangkal Hoax, Merawat Toleransi

Menangkal Hoax, Merawat Toleransi

Read Time:7 Minute, 55 Second

Menangkal Hoax, Merawat Toleransi
*Oleh: Eduardus Only Putra
Tak dapat dikibuli bahwa hampir setiap hari dalam hidupnya, manusia pasti akan selalu mendengar dan juga membaca berbagai berita bohong atau hoax. Ralitas ini membawa manusia pada suatu situasi baru yaitu situasi politik pasca-kebenaran (post-truth). Politik pasca-kebenaran adalah politik palsu berupa budaya politik di mana perdebatan publik dibingkai oleh daya tarik pada emosi dan perasaan masyarakat, terlepas dari fakta atau maksud politik yang sebenarnya.
Politik pasca-kebenaran didorong oleh siklus berita 24 jam yang harus diisi dengan pokok-pokok berita yang menarik perhatian sebanyak mungkin pemirsa. Kini sumber berita utama bukan lagi radio atau televisi, melainkan media sosial seperti Facebook, Youtube, dan Twitter. Media-media inilah yang rentan diinstrumentalisasi oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan berita bohong.
Dalam konteks dunia saat ini, hoax yang paling dominan memicu konflik adalah hoaxyang menyentil isu SARA. Orang dengan kebebasan yang dimiliki dalam menggunakan media sosial dapat dengan leluasa menyebarkan berita bohong yang menyinggung agama  atau kepercayaan orang lain. Hal inilah yang kemudian menimbulkan friksi dan fragmentasi, sebab agama berkaitan dengan iman dan keyakinan pribadi seseorang yang tidak bisa diganggugugat oleh siapapun.
Orang yang agamanya dihina tentu saja tidak dapat menerima hal itu sebab menghina agama berarti menghina Tuhan yang diimani dalam agamanya. Dalam hal ini, yang lebih dominan yang menciptakan konflik adalah kaum radikalisme agama. Mereka dengan segaja menyebarkan berita bohong tentang agama lain agar apa yang menjadi agama dan keyakinan mereka semakin diakui dan semakin banyak orang yang mau mengikuti mereka. 
Aksi radikalisme pasti berujung pada terjadinya kekerasan dan terorisme. Aksi teror yang dilakukan oleh kelompok radikalisme itu semakin merajalela dengan pengguanaan teknologi-teknologi canggih yang merupakan produk sistem global. Tentang hal ini, benarlah apa yang dikatakan oleh Jean Baudrillard bahwa penyebab utama dari masalah terorisme adalah hegemoni sistem global. Sistem global yang dimaksud adalah sistem pasar, turisme, teknologi dan informasi global. Hegemoni sistem global tersebut bekerja melalui tiga cara yaitu Pertama, hegemoni sistem global dapat mendatangkan reaksi negatif dari pelbagai singularitas, dan terorisme adalah reaksi yang paling keras dan buas.
Dalam konteks ini, sistem global adalah sebab tidak langsung dari terorisme. Kedua, terorisme dapat disebarkan secara eksponensial (berganda-ganda dalam kelipatannya) melalui sistem global misalnya melalui teknologi dan arus informasinya. Ketakutan lebih kecil dalam wilayah terbatas, digandakan oleh efek informasi global dan disebarkan ke seluruh dunia.
Dalam hal ini, hoax merupakan salah satu jenis teror yang dapat menciptakan ketakutan bagi semua orang.   Ketiga, terorisme dapat diproduksi juga oleh sistem global sendiri, di mana teknologi dan informasi itu sendiri yang memproduksi teror.
Maraknya aksi penyebaran hoax yang juga memicu konflik antara kelompok radikalisme agama dan kelompok agama lainnya menyebabkan terjadinya krisis toleransi dalam kehidupan masyarakat. Toleransi yang seharusnya menjadi nilai utama dalam kehidupan bersama kini sirna ditelan oleh egoisme dan arogansi segelintir orang yang ingin mempertahankan idealisme pribadi yang dianggap paling baik dari yang lain.
Hal ini tentunya tidak dapat dibiarkan terjadi terus-menerus. Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi krisis ini, maka salah satu hal yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi atau menghidupkan kembali nilai-nilai toleransi.    
Toleransi
Toleransi berasal dari kata Latin tolerare yang berarti “membiarkan” atau “memikul sesuatu”. Sebagai sebuah keuletan yang pasif, toleransi mengungkapkan kemampuan menahan penderitaan lantaran hal-hal yang tidak menyenangkan seperti rasa sakit, siksaan dan bencana. Dalam perkembangan selanjutnya terutama dalam bidang agama, toleransi tidak lagi dilihat sebagai “memikul hal-hal yang tidak menyenangkan”, melainkan membiarkan agama atau keyakinan-keyakinan asing bertumbuh.
Jadi toleransi mengalami pergeseran makna dari sikap terhadap diri sendiri menjadi sikap terhadap orang lain. Toleransi sebagai keutamaan moral individual pada akhirnya berkembang menjadi sikap etis sosial atau moral publik.
Konsep toleransi memiliki dua tingkatan kualitas yang dikenal dengan kualifikasi toleransi pasif dan toleransi aktif atau otentik. Pertama, toleransi pasif atau dikenal juga dengan konsep toleransi klasik tampak dalam sikap terpaksa membiarkan yang lain hidup karena realitas sosial yang plural. Toleransi pasif biasa juga disebut dengan “toleransi izinan” terpaksa (widerwillige Erlaubnis-Toleranz).
Di sini, penguasa membolehkan kelompok minoritas hidup sesuai dengan keyakinannya yang bertentangan dengan keyakinan mayoritas sejauh mereka tidak mempersoalkan otoritas penguasa. Kedua, toleransi aktif dan otentik. Toleransi jenis ini mengiakan hak hidup atau keberadaan, kebebasan dan kehendak yang lain sebagai yang lain untuk berkembang. Atau dalam rumusan yang lebih radikal dari Rosa Luxemburg: “kebebasan selalu berarti kebebasan berpikir lain. Toleransi aktif dikenal dengan “toleransi respek” (Respekt Toleranz).  
Merawat Toleransi
Toleransi merupakan salah satu aspek penting yang dapat menjamin perdamaian dan kenyaman dalam suatu ruang lingkup kehidupan yang dipenuhi pluralitas budaya, agama dan keyakinan. Toleransi mengandung berbagai macam nilai yang dapat merajut persatuan di tengah berbagai macam perbedaan yang ada dalam kehidupan bersama. Nilai-nilai toleransi itu nyata dalam berbagai konsep dan pandangan tentang toleransi itu sendiri.
Dalam agama Kristen, pandangan tentang toleransi bukanlah hal baru. Dalam teks tentang toleransi yang paling berpengaruh yang pernah ditulis, A Letter Concerning Toleration (1689), John Locke, leluhur dari liberalisme politik, menyatakan dalam kalimat pertama bahwa toleransi adalah “tanda khas yang utama dari Gereja yang sejati (Clark, 2014: 246-247).” John Locke menyampaikan dua gagasan utama tentang toleransi dalam umat Kristen.
Pertama, toleransi dan kebebasan. Keyakinan yang pertama berkaitan dengan kebebasan untuk beriman. Sifat dari iman adalah bahwa tidak seorangpun dapat dipaksa untuk percaya. Memeluk (atau menolak) iman Kristen merupakan upaya mengarahkan kembali seluruh komitmen fundamental dari hidup seseorang.
Jika kita dipaksa untuk percaya, kita akan percaya dengan tidak ikhlas dan dengan demikian tidak menghormati Tuhan sekaligus bertentangan dengan kesadaran kita sendiri. “Agama yang benar dan menyelamatkan”, tulis Locke, “berisi keyakinan batin dari dalam, yang tanpa hal itu, tak sesuatupun dapat diterima oleh Allah.” Maka iman semacam ini dapat bertumbuh hanya dalam kebebasan.
Kedua, toleransi dan kasih. Alasan kedua mengapa Locke berpendapat bahwa toleransi merupakan tanda terpenting bagi Gereja yang sejati adalah karena kasih merupakan pelaksanaan iman Kristen. Rasul Paulus menulis pernyataan yang terkenal bahwa sekalipun aku memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran agamaku, sekalipun aku telah mencapai prestasi moral yang mengesankan, “jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna” (1 Korintus 13:2).
Dengan menirukan Rasul Paulus, Locke berpendapat bahwa jika seseorang mempunyai pernyataan yang benar tentang ajaran, tentang keunggulan moral, atau tentang ketepatan liturgis, “namun jika kurang berbuat amal, kurang bersikap lemah lembut, dan kurang berkehendak baik bagi semua orang, apalagi terhadap mereka yang bukan Kristen, dia belum tentu menjadi seorang Kristen yang benar.
Intoleransi tidak sesuai dengan kasih yang sejati, karena tidaklah masuk akal bahwa penderitaan yang disebabkan oleh siksaan dan segala macam bentuk tindakan jahat merupakan perwujudan sikap kasih – sikap yang mendukung kasih yang keras dari Agustinus mengundang banyak perdebatan. Bagi Locke, intoleransi dengan demikian tidak sejalan dengan iman yang otentik. Intoleran itu sangat membahayakan.
Dari berbagai penjelasan yang cukup rinci tentang toleransi seperti yang ditelahkan dijelaskan di atas, kita dapat melihat berbagai macam nilai toleransi. Beberapa nilai penting yang termaktub dalam toleransi itu adalah kebebasan, adanya penghargaan atau penghormatan, dan kasih. Nilai-nilai toleransi ini tentunya bukan hanya berada dalam lingkup agama Kristen tetapi juga dalam seluruh agama yang ada di dunia ini.
Kebebasan sebagai salah satu nilai toleransi berarti setiap orang atau siapapun diberi kebebasan untuk memeluk agama atau keyakinan sesuai dengan keinginan masing-masing. Apalagi dalam konteks negara Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi, kebebasan niscaya menjadi satu syarat mutlak. Namun, kebebasan yang dimaksudkan tentunya bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Bebas yang dimaksudkan di sini adalah bebas yang bertanggung jawab dan tidak menggangu kepentingan orang lain.  
Pengakuan juga menjadi salah satu nilai penting dalam toleransi. Toleransi selalu menuntut adanya pengakuan. Setiap orang yang hidup dalam suatu komunitas plural wajib untuk memberi pengakuan terhadap keyakinan atau agama yang dianut oleh orang lain. Pengakuan menuntut setiap orang untuk menanggalkan egoisme dan kesombongan diri. Pengakuan mewajibkan setiap orang untuk menerima apa yang diyakini oleh orang lain. Dengan kata lain, pengakuan menuntut setiap orang untuk mengakui adanya perbedaan. Dalam bahasa Ricoeur, pengakuan berarti mengidentifikasi lewat proses pembedaan.
Selain kebebasan dan pengakuan, kasih merupakan nilai yang tidak bisa dilepaskan dari prinsip toleransi. Kasih merupakan fundamen utama bagi terciptanya kehidupan bersama yang damai dan nyaman. Dalam konsep Trilogi ranah interaksi Alex Honneth, kasih atau cinta merupakan salah satu aspek penting. Cinta mengungkapkan relasi intim manusia dan membantu individu untuk mengembangkan rasa percaya diri.
Untuk konteks negara Indonesia, nilai-nilai toleransi itu sebetulnya sudah termaktub jelas dalam Pancasila. Namun, nilai-nilai itu kini hilang dan mati ditelan oleh buasnya aksi radikalisme. Oleh karena itu, adalah suatu kewajiban untuk merevitalisasi atau menghidupkan kembali nilai-nilai toleransi yang terkandung dalam Pancasila. Revitalisasi nilai-nilai itu adalah salah satu cara untuk merawat toleransi.
Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila harus menjadi kekuatan utama untuk menghadapi liberalisasi agama yang berujung pada egoisme agama. Soekarno telah jauh-jauh hari mengingatkan bahwa ketuhanan jangan sampai terjangkiti liberalisme agama yang berujung pada egoisme agama. Soekarno berpesan agar bangsa ini bertuhan secara kebudayaan. Bertuhan secara kebudayaan adalah bertuhan yang mengedepankan sifat toleransi, solidaritas dan keterbukaan. Soekarno berkata, “marilah kita amalkan di jalan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban; ialah hormat-menghormati satu sama lain.
Tugas untuk revitalisasi ini tentunya bukan hanya tugas negara, melainkan tugas dari semua warga negara Indonesia. Sebagai salah satu bentuk dari revitalisasi nilai-nilai toleransi itu, semua anggota masyarakat harus mampu menggunakan media sosial secara bijak. Artinya, media-media sosial itu tidak boleh digunakan untuk menyebarkan hoax, melainkan lebih dari itu, media harus digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan tentang pentingnya toleransi dalam kehidupan bersama. Dengan dan melalui media sosial itu masyarakat juga dapat membangun dialog dengan berlandaskan semangat toleransi.
           
*Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Tabloid Edisi 54
Masa Bodoh Agar Lebih Waras Next post Masa Bodoh Agar Lebih Waras