Oleh: Hany Fatihah*
Vaksinasi di Indonesia sudah mulai diberlakukan sejak 13 Januari 2020, namun tanggapan masyarakat Indonesia mengenai keberadaan vaksin tersebut pun beragam. Melansir dari kompas.com, hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menyatakan, bahwa hanya 55 persen masyarakat Indonesia yang ingin divaksin, 41 persen yang tidak bersedia, dan 4,2 persen yang tidak memilih untuk menjawab. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan masyarakat Indonesia mengolah informasi secara akurat. Sehingga, masih banyak informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya mendarat ke telinga masyarakat.
Sedangkan, para ahli dalam bidangnya masing-masing sudah mengeluarkan pernyataan tentang efektivitas vaksinasi. Salah satunya Hari Hendarto, yang merupakan Dokter sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Vaksinasi merupakan cara yang paling efektif untuk memutus rantai penyebaran Covid19. Manfaat vaksinasi bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain.
Selain Hari Hendarto, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menyatakan bahwa vaksin Covid19 halal. Kalaupun terdapat kandungan vaksin yang haram, vaksinasi tetap boleh dilakukan karena kondisi darurat. Begitupula pemerintah, yang terus melakukan kampanye untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam vaksinasi.
Walaupun begitu, sebagian masyarakat masih saja memilih memercayai informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya. Mulai dari beredarnya hoax ditemukannya chip berbahaya yang terdapat didalam vaksin sampai halal-haram vaksin Covid19. Hal ini memperlihatkan , bahwa masyarakat Indonesia tidak terbiasa berpikir secara kritis, serta terus mengkaitkan sesuatu dengan hal-hal irasional.
Di era digital ini, mustahil bagi kita untuk mengendalikan proses penyebaran berbagai macam informasi tersebut sampai ke telinga masyarakat. Maka dari itu, salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah menangkal informasi yang tidak akurat itu dengan menerapkan critical thinking sebagai pola pikir kita. Critical thinking adalah kemampuan mengolah informasi secara akurat, sehingga menghasilkan kesimpulan yang benar dan dapat dipercaya. Pemakai pola pikir ini, biasanya menggunakan pemikiran yang reflektif, independen, jernih, dan rasional. Semua orang berhak dan dianjurkan memiliki pola pikir kritis, terutama kaum intelektual seperti dosen dan mahasiswa. Agar tradisi penyebaran hoax tidak terus menjamur dikalangan masyarakat.
Tentu, critical thinking tidak hadir begitu saja sebagai pola pikir seseorang, tetapi harus terus menerus dilatih. Caranya yaitu, yang pertama, seseorang harus terbiasa mencari informasi sebanyak-banyaknya dan tidak boleh menutup kemungkinan dari mana asal informasi tersebut. Yang kedua, menjauh dari kebiasaan penarikan kesimpulan terlalu dini. Yang ketiga, seseorang tidak boleh merasa argumennya sudah pasti benar. Dan yang terakhir, untuk tidak cenderung berpikir secara kelompok, artinya suatu keadaan dimana keyakinan seseorang dibentuk oleh pemikiran orang-orang disekitarnya dan bukan dari apa yang ia peroleh atau saksikan.
Manfaat yang diperoleh dari penerapan critical thinking, diantaranya seseorang menjadi tidak mudah terpapar oleh hoax, dapat menghindari bias informasi atau keterpihakkan informasi, dapat berpikir secara independen dan tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran orang lain, mampu menghasilkan kesimpulan yang benar, dan menghindari dari sikap mengeneralisasi secara sembarangan.
Dengan begitu, critical thinking harus terus dipelihara supaya tidak terjadi kegagalan dalam memahami informasi mengenai apapun itu. Jika masyarakat mampu memahami informasi dengan struktur logika yang tepat, maka masyarakat dan pemerintah juga dapat membuat keputusan yang akurat, salah satunya keputusan masalah vaksinasi.
Average Rating