Problematika Data Perlindungan Pribadi di Indonesia

Problematika Data Perlindungan Pribadi di Indonesia

Read Time:3 Minute, 34 Second

Problematika Data Perlindungan Pribadi di Indonesia


·  
Kasus kebocoran data pribadi kembali menjadi perbincangan pasca menimpa situs Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal tersebut bukan pertama kali terjadi di Indonesia, beberapa kasus serupa juga sering terjadi sebelumnya.

 

Kasus pencurian data pribadi masih menjadi teror di tengah masyarakat. Kejadian meresahkan ini sempat dialami oleh Alma. Peristiwa tersebut terjadi sekitar bulan Mei 2021. Saat itu ia dihubungi oleh nomor tak dikenal. Penelepon misterius itu tiba-tiba mengatakan ingin menagih utang pinjaman online. Utang tersebut mengatasnamakan dirinya. Padahal ia sama sekali tidak pernah meminjam uang dari penyedia pinjaman online.

Saat itu, Alma sempat mengingat bahwa beberapa hari sebelumnya, salah seorang temannya meminta foto Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan foto dirinya. Setelah kejadian itu, lebih dari lima perusahaan layanan pinjaman online menghubunginya secara terus-menerus. Perusahaan  pinjaman onlinetersebut meminta dirinya membayar utang sebesar Rp2 juta dalam jangka waktu hanya delapan hari.

Alma sendiri mengaku lebih memilih untuk tidak memperdulikan masalah itu. Namun karena tidak ditanggapi, pelaku malah mengancam akan menyebarkan foto KTP-nya. “Sebelumnya saya merasa kepikiran. Namun apa boleh buat, sudah terlanjur disebar,” ujar Alma, Senin (7/6).

Kebocoran dan penyebaran data pribadi di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Bagi sebagian masyarakat, masalah itu dianggap tidak begitu penting. Seperti yang diungkapkan salah seorang pekerja fotokopi di daerah Serua Indah, Ciputat yang tidak mau disebutkan namanya. Ia mengaku menjual kertas bekas fotokopi kepada pengumpul barang bekas. “Biasanya saya jual ke tukang rongsokan, bekas fotokopi KTP, Kartu Keluarga (KK), atau ijazah,” ungkapnya, Minggu (13/6).

Berbeda dengan Hendy, penjual sayur di Tigaraksa, Kabupaten Tange-rang ini menggunakan koran bekas yang dibeli langsung dari kerabatnya yang memiliki pabrik limbah untuk membungkus sayuran. Kepada Institut Hendy mengaku kerabatnya itu  hanya menjual koran-koran bekas. “Dulu, sih, ada kertas ujian juga, tetapi sekarang sudah tidak boleh, jadinya pakai koran bekas saja,” tuturnya, Minggu (13/6).

Beberapa waktu lalu, pencurian data pribadi juga dialami oleh salah seorang Staf Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (Pustipanda) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Ihsan Nasihin. Ia mengaku mendapat tawaran pembuatan kartu kredit pada November 2020 lalu. Setelah itu dia dihubungi oleh pihak yang mengaku akan membantu penutupan kartu kreditnya. Celakanya, pihak tersebut ternyata adalah oknum tak bertanggung jawab yang menyalahgunakan datanya untuk transaksi ilegal. “Kerugian ditaksir sejumlah Rp 15 juta,” ujar Ihsan, Selasa (11/5).

Sub Koordinator Regulasi dan Kebijakan Perlindungan Data Pribadi (PDP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Tuaman Manurung menanggapi kasus kebocoran data pribadi tersebut. Menurutnya, hal tersebut tercermin dalam naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Dalam RUU tersebut dijelaskan bahwa perlindungan data pribadi merupakan suatu proses atau cara dalam hal melindungi data pribadi, dari kegiatan-kegiatan yang melawan hukum. 

Menurut Tuaman, urgensi perlindungan data pribadi berangkat dari ketentuan umum RUU PDP, yang mengatakan bahwa hal tersebut berasal dari hak asasi manusia yang perlu dilindungi. Urgensi lainnya adalah supaya ada keseimbangan atau keharmonisan antara kepentingan dari  pengendali data dalam hal memproses data, juga kepentingan dari subjek data selaku pemilik data tersebut.

“Saya berharap RUU PDP segera ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU), supaya dapat menjadi regulasi mengenai perlindungan data,” ujar Tuaman, Kamis (10/6).

Tuaman melanjutkan, ada 32 perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan data pribadi. Termasuk di dalamnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 20 Tahun 2016.

Peraturan tersebut menyoal tentang perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik yang masih bicara secara parsial dan tidak holistik. Ia berharap RUU PDP segera ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU), supaya dapat menjadi regulasi mengenai perlindungan data.

Menurut Pakar Informatika UIN Jakarta Rulli Nasrullah, kebocoran data pribadi merupakan persoalan yang serius. Pemerintah sudah seharusnya memikirkan permasalahan yang akan terjadi, karena anggaran yang diberikan untuk kasus digital tidak sedikit.

Rulli menambahkan, ada dua cara agar data pribadi tidak tersebar. Pertama, perusahaan atau institusi yang meminta data pribadi harus memperketat keamanan agar pusat data tidak bocor. Kedua, sikap bertanggung jawab dalam mengunggah konten dan apa yang ada di dalamnya.”Kebocoran data sudah lama terjadi baik offline maupun online, kita harus lebih waspada dan lebih jeli dalam memasukan data” ungkapnya, Jum’at (11/6). (Sekar Rahmadiana: INS.019/Siti Hayati Nufus: INS.020)

 

Tulisan ini telah dimuat di Majalah Institut Edisi Ke-45

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Di Balik Asa Maba Previous post Di Balik Asa Maba
Tidak Perlu Ada Pasal Penghinaan Terhadap Presiden Next post Tidak Perlu Ada Pasal Penghinaan Terhadap Presiden