Macan Ompong Penegak Hukum

Macan Ompong Penegak Hukum

Read Time:3 Minute, 8 Second
Macan Ompong Penegak Hukum

Diskon hukum bagi Jaksa Pinangki dan Joko Tjandra dinilai sebagai sinyal hilangnya  taring pemberantasan  korupsi di Tanah Air. Duduk perkara penegak hukum disebut menjadi akar dari sinyal tersebut.


10 tahun penjara adalah vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepada Pinangki Sirna Malangsari, bekas Jaksa Agung Republik Indonesia terpidana kasus korupsi. Ia terbukti menerima suap dan melakukan pencucian uang terkait kasus Joko Tjandra, seorang pengusaha sekaligus tersangka kasus korupsi yang buron selama bertahun-tahun. Hakim telah menjatuhkan vonis 10 tahun kurungan kepada Pinangki pada 8 Februari lalu atas keterlibatannya dalam tindak pidana rasuah itu. 

Namun pada pertengahan Juni lalu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetiba memangkas masa kurungan pinangki yang semula 10 tahun menjadi 4 tahun. Demikian keterangan yang tertera di laman putusan Mahkamah Agung RI per 14 Juni 2021.

Adapun Joko Tjandra,  mulanya divonis 4,5 tahun bui oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Tapi majelis hakim kemudian memotong masa tahanannya menjadi 3,5 tahun.  Pengortingan masa kurungan itu didasari pertimbangan majelis hakim yang menilai bahwa Tjandra mampu bersikap kooperatif karena sudah mengembalikan Rp546 miliar uang negara dan menjalani hukuman saat kasus rasuah hak tagih Bank Bali. Dengan pertimbangan itu, ia mendapat diskon kurungan 1 tahun penjara—dengan total masa kurungan 3,5 tahun. Keputusan teranyar itu ditetapkan para hakim pada 5 Juli 2021 lalu.  

Dalam putusan kedua perkara itu, Pinangki beserta Tjandra dijerat dengan pasal Undang-undang Hukum Pidana tentang suap. Namun mereka mereka tidak dijerat dengan pasal Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. 

Koalisi Guru Besar Antikorupsi Sukron Kamil mengatakan, hukum di Indonesia memang condong kepada legal formal–penegak  hukum bebas memilih UU yang bakal dilontarkan kepada terdakwa. Tak ayal jika beruntut pada diskon hukum. “Kadang-kadang memilih yang lebih ringan (hukumannya),” ucapnya pada Rabu (5/8).

Dalam teori hukum pragmatis, imbuh Sukron, seseorang harus dihukum berdasarkan tindakannya. Jika tindakannya memakan korban yang besar, maka hukumannya kian berat. Korupsi, menurutnya, menjadi salah satu pidana–kejahatan–luar biasa. Apesnya, kata Sukron, penegakan hukum dalam kasus korupsi kerap diwarnai dengan aksi sunat-menyunat hukuman korupsi walaupun sudah kebanjiran korban.

Hal selaras disampaikan pula oleh Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Reza Baihaqi. Menurutnya, korupsi di Tanah Air belum dipandang sebagai extraordinary crime—kejahatan besar yang mampu membantai sendi-sendi negara. Kasus yang menimpa Pinangki dan Joko Tjandra menurutnya menjadi bukti, korupsi di tanah air masih dianggap hal yang lumrah. “Bila korupsi dilakukan terang benderang dan mengandung unsur kejahatan, harusnya dihukum perspektif pidana murni,” tuturnya, Kamis (5/8).

Lebih lanjut, Reza menuturkan, sense of crisis penyelenggaraan hukum juga ikut menciut. Contohnya: UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat 2 yang mengatur hukuman mati kepada koruptor bila melakukan korupsi di tengah situasi bencana. Tetapi pasal tersebut, kata Reza, selama ini belum pernah digunakan. “Belum ada koruptor yang dihukum mati,” ujarnya.

Timbangan Seorang Hakim

Dosen Hukum Pidana Islam UIN Jakarta Burhanuddin menjelaskan, memang betul bahwa vonis dari hakim bisa lebih tinggi atau rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum. Hal itu bisa terjadi lantaran dalam mengambil keputusan suatu perkara, hakim memakai minimal dua alat bukti dan satu keyakinan dari alat bukti tersebut. Dari keputusan perkara itu, lahirlah sanksi pidana. Ketika persidangan berlangsung, dan fakta-fakta hukum bermunculan, maka hakim bakal mempertimbangkan hal itu untuk pengambilan keputusan sanksi pidana.

Sementara itu, terkait keadilan dari keputusan yang diambil majelis hakim, lanjut Burhanuddin, mereka terlebih dahulu—sebelum melakukan gelar perkara—melakukan sumpah yang berbunyi: demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya, apabila hakim terintervensi dan tidak sesuai hati nuraninya, maka dosa besar bakal menyeret dirinya. Di lain sisi, Burhan menilai bahwa para hakim juga manusia, sehingga wajar dalam menatap fakta hukum kerap timbul selisih pendapat. “Suara mayoritas yang akan dipilih untuk memvonis,” pungkas Burhanuddin, Minggu (8/8).

Syifa Nur Layla

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Menyusuri Sirkus Pohon yang Damai Previous post Menyusuri Sirkus Pohon yang Damai
Gelombang Vaksinasi Dari Student Center Next post Gelombang Vaksinasi Dari Student Center