Jilbab: Antara Syariat atau Tradisi

Jilbab: Antara Syariat atau Tradisi

Read Time:5 Minute, 40 Second

Jilbab: Antara Syariat atau Tradisi

Melansir laporan Human Rights Watch (HRW) pada tanggal 21 Juli 2022, banyak peraturan wajib jilbab mulai diterapkan sebagai sebuah peraturan daerah (Perda) di Indonesia. Pada 2001, peraturan tersebut mulai diterapkan di tiga kabupaten; yaitu Indramayu dan Tasikmalaya, Jawa Barat dan Tanah Datar, Sumatera Utara. Perda tersebut diikuti oleh beberapa instansi publik di Indonesia; sekolah atau madrasah negeri, kantor pemerintah, universitas negeri, dan universitas Islam negeri.

Saat ini HRW menemukan hampir 150.000 sekolah yang tersebar di 24 provinsi di Indonesia memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional. Tidak sedikit anak perempuan yang meninggalkan sekolah karena mendapatkan tekanan. Beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan pun kehilangan pekerjaan atau terpaksa mengundurkan diri karena peraturan tersebut. 

Pada Jumat (5/7), Institut melakukan wawancara khusus dengan Husein Muhammad terkait fenomena kewajiban jilbab dalam Peraturan Daerah (Perda). Ia merupakan penulis buku “Jilbab dan Aurat” dan aktif berkiprah di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Husein juga pernah menjadi Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan periode 2007–2009 dan 2009–2012. 

Bagaimana sejarah jilbab dan hijab secara kontekstual dan tekstual dalam Islam?

Masyarakat salah tangkap dalam memahami teks-teks keagamaan. Jilbab dan hijab dimaknai sama oleh masyarakat, yaitu sebagai kain yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. 

Jika merujuk pada Al-Qur’an, jilbab dan hijab memiliki arti yang berbeda. Sebelum ayat mengenai jilbab turun, semua penduduk Jazirah Arab, agama apapun, sudah menggunakan penutup kepala. Kondisi geografis, debu dan terik panas yang membuat mereka memakai itu. 

Secara kontekstual, di Arab pada abad ke-7 tidak ada toilet di dalam rumah. Jika ingin  buang air perlu keluar rumah, bersembunyi dibalik batu-batu. Saat para perempuan termasuk istri Nabi Muhammad saw. buang air, para pemuda mengganggu dan mengintip mereka. Mereka pun melapor kepada Nabi. Kemudian Nabi memanggil para pemuda dan mereka mengaku telah berbuat demikian. Para pemuda mengira kumpulan perempuan tersebut merupakan budak yang kala itu sering direndahkan. Sehingga terdapat perintah memakai jilbab pada Al-Qur’an dalam Surat Al-Ahzab ayat 59. 

Dalam hal ini, jilbab sebagai kain di atas  kepala berfungsi menjadi  identitas perempuan merdeka. Pada zaman Jahiliyah, perempuan budak adalah pekerja  yang kerap dijual. Berbeda dengan perempuan merdeka yang memiliki status sosial lebih tinggi. Mereka  memakai penanda  kain di atas penutup kepalasehingga mereka tidak diganggu dan direndahkan. 

Lantas, apakah hari ini masih ada perbudakan? Sudah tidak ada. Sehingga pemakaian jilbab bukan lagi  hal yang  urgensi. Saya dapat bertanggungjawab atas penafsiran tersebut. 

Sama seperti jilbab, hijab juga sering dihubungkan dengan tingkat ketakwaan seorang perempuan muslim. Padahal dalam Al-Qur’an, kata hijab berarti tirai atau pembatas antara dua ruangan. 

Secara kontekstual, pada saat itu, rumah Nabi kedatangan beberapa tamu laki-laki. Mereka  keluar-masuk ke dapur Nabi yang mana terdapat istri Nabi. Sahabat Nabi, Umar bin Khattab merasa hal tersebut tidak etis. Umar meminta Nabi untuk memasang tirai pembatas ruangan. Setelah kejadian tersebut, maka turun surat  Al-Ahzab ayat 53  yang memuat kata hijab. 

Bagaimana pengertian aurat secara kontekstual dan tekstual dalam Islam?

Saya tidak menemukan satu ayat pun dalam Al-Qur’an soal aurat. Menurut saya, aurat itu bagian yang memicu masalah seperti kekerasan, kejahatan seksual, bahkan pencurian. Jadi tidak dapat diartikan aurat itu mengacu pada tubuh manusia. 

Perlu dipahami, dalam Al-Qur’an hanya terdapat kata zina atau perhiasan. Dalam hal ini, zina diartikan perhiasan seperti kalung dan gelang emas. Namun dalam perjalanan sejarah, pemaknaan tersebut berubah menjadi  tubuh perempuan. 

Batasan aurat pun memunculkan perdebatan. Sebagian ulama mengatakan aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sebagian ulama lainnya mengatakan  rambut yang terurai bukanlah aurat perempuan. Perlu dipahami bahwa perbedaan penafsiran ulama tersebut karena perbedaan ruang dan waktu, serta menyesuaikan  dengan konteks masyarakat di mana para ulama tersebut menetap. Intinya: apakah yang dianggap aurat itu menimbulkan masalah atau tidak?

Di negara kita sejak dahulu kala tidak ada masalah dengan batasan aurat. Banyak para tokoh perempuan muslim yang tidak memakai jilbab. Hal itu tidak menimbulkan masalah, karena memang tradisi terdahulu negara kita menggunakan pakaian tradisional seperti kebaya. Berbeda dengan konteks masyarakat Jahiliyah Arab yang menganut budaya patriarki dan mengobjektifikasi tubuh perempuan. 

Menurut konsensus ulama, aurat memang sepakat menjadi bagian yang harus ditutup. Tetapi jangan generalisasi aurat sebagai posisi-posisi tubuh tertentu.

Apakah jilbab merupakan pakaian syariat atau tradisi masyarakat muslim? 

Jilbab adalah pakaian tradisi masyarakat Arab, bukan pakaian syariat. Namun sekarang  jilbab berubah makna menjadi penutup tubuh. Sudah terlanjur populer seperti itu. Saya tidak mempermasalahkan orang yang memakai jilbab atau tidak. Semuanya sama-sama baik. 

Permasalahannya adalah ketika pakai jilbab atau tidaknya menjadi tolak ukur moralitas seorang perempuan muslim. Yang tidak pakai jilbab dituduh kafir. Sekarang ini masyarakat sering mendapat pelajaran agama dengan cara indoktrinasi, tanpa berpikir secara logika intelektual. 

Bagaimana Anda melihat Peraturan Daerah yang mengatur kewajiban memakai jilbab di lingkungan instansi publik? 

Saat masih menjabat sebagai Ketua Gugus Kerja Perempuan Dalam Konstitusi dan Hukum Nasional (GK PKHN) sekitar tahun 2010, saya memantau perkembangan berbagai Perda diskriminatif. Terdapat 63 Perda diskriminatif  soal kewajiban berjilbab. Hal ini sudah saya laporkan ke Mahkamah Konstitusi.

Di tahun terakhir saya  menjabat sebagai  Komisioner Komnas Perempuan, Perda diskriminatif berkembang menjadi 342. Saya juga sudah melaporkan hal tersebut ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). 

Kebijakan tersebut hadir karena cara berpikir masyarakat yang tekstualis. Saya juga melihat terdapat gerakan radikalisme dalam perumusan Perda tersebut. Mereka berupaya melakukan suatu perubahan sistem kehidupan masyarakat, salah satunya sistem negara. Saya melihat terdapat kehendak untuk mendirikan negara Islam dan ingin mengembalikan Piagam Jakarta. Strateginya begitu, melakukan perubahan-perubahan di tingkat daerah, kemudian akan menyasar sistem negara.  

Bagaimana seharusnya negara dalam menyikapi hal ini?

Sebenarnya sudah ada upaya Kemendagri dalam mengatasi hal ini. Yaitu  mengirim surat kepada pemerintah daerah yang mengeluarkan Perda diskriminatif. Namun tanggapan mereka bertolak belakang dengan harapan. Mereka mempertahankan pendapat bahwa pembentukan Perda tersebut sudah sesuai kesepakatan masyarakat setempat. Bagaimanapun, pemerintah berkewajiban untuk menyelesaikan masalah ini. 

Bagaimana seharusnya masyarakat muslim Indonesia menanggapi penafsiran wajib jilbab tersebut?

Kita harus menyampaikan pandangan keagamaan yang beragam. Tidak boleh memaksakan kehendak individu satu dengan lainnya. Itu dilarang oleh agama. Pemaksaan itu tidak menghasilkan keimanan, tetapi menghasilkan kemunafikan. Apalagi pemaksaan tersebut mulai dilakukan oleh lembaga kenegaraan. Yang menjadi perhatian adalah bukan  membentuk Perda seperti itu, melainkan menumbuhkan kesadaran etika kesantunan. 

Kesantunan berdasarkan lokalitas, contohnya kaum adat Bali memakai kebaya. Batasan pakaian sesuai dengan etika sosial masing-masing.

Pesan saya, yang terpenting adalah pakaian taqwa: pengendalian diri, menghormati diri sendiri dan orang lain dalam konteks etika sosial setempat. Negara ini negara hukum, orang tidak bisa bertindak sendiri-sendiri. Kita harus kembali kepada konstitusi. Negara tidak boleh ikut campur dengan urusan-urusan personal. Saya berharap berbagai Perda diskriminatif seperti itu segera dicabut. 

Reporter: Hany Fatihah Ahmad

Editor: Syifa Nur Layla

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
22 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
44 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
33 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Perundungan atas Nama Jilbab Previous post Perundungan atas Nama Jilbab
Omnibus Law Meresahkan, Ribuan Buruh Turun ke Jalan Next post Omnibus Law Meresahkan, Ribuan Buruh Turun ke Jalan