Non Akademik dalam Balutan Nilai

Read Time:3 Minute, 26 Second

Mengacu pada pola pendidikan formal yang terdapat di Indonesia, setelah seorang siswa Sekolah Dasar (SD) mampu memenuhi target kelulusan yang telah ditetapkan sekolah maupun Dinas Pendidikan, maka anak tersebut berhak melanjutkan ke jenjang selanjutnya yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Begitu pula setelah lulus di bangku SMP, siswa bisa melanjutkan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Lantas setelah lulus SMA, pendidikan formal selanjutnya adalah di tingkat Perguruan Tinggi.

Di Perguruan Tinggi, pola pendidikan berbeda dengan masa-masa sekolah seperti di SD, SMP, dan SMA. Pergurua Tinggi mengharapkan mahasiswa lebih mandiri dalam mencari ilmu, hal ini tidak sama dengan masa sekolah dimana guru selalu menuntun siswanya dalam mengupas suatu mata pelajaran.

Sedangkan, peran dosen hanya mengarahkan mahasiswanya saja. Misalnya mahasiswa boleh memilih mata kuliah yang ingin ia pelajari di semester ini dan dosen memfasilitasi mahasiswanya dengan membuatkan kurikulum. Kemudian pemberian tugas kuliah bagi mahasiswa yang dibebaskan mencari referensi dari berbagai sumber. Sehingga mahasiswa memiliki tanggungjawab yang lebih ketika ia ingin memperoleh ilmu.

Ilmu tidak semata-mata didektekan di dalam kelas seperti halnya saat bersekolah. Ilmu yang diperoleh mahasiswa adalah ketika ia berada di luar kelas, bisa dengan bergabung dalam himpunan mahasiswa, badan eksekutif mahasiswa, unit kegiatan mahasiswa atau berbagai organisasi lainnya.

Dimana kegiatan-kegiatan itu lantas dapat memberikan dampak positif. Pertama, mahasiswa yang aktif dalam kegiatan non akademik memiliki pergaulan yang luas, efeknya dapat membuat mereka lebih matang di ranah sosial.

Kematangan dapat terlihat dari kemampuannya bergaul dengan berbagai macam orang dari berbagai karakter. Ketika banyak orang yang mau menerima, maka pada akhirnya ia mudah mengarahkan orang-orang tersebut, sehingga dapat dijadikan sebagai leader atau pemimpin.

Kedua, mahasiswa akan memperoleh pengalaman yang lebih banyak. Pengalaman organisasi yang di dalamnya mencakup berbagai persoalan, manajemen konflik merupakan salah satunya selain dari leadership. Kematangan mental akan lebih mudah terbangun, ketika dihadapkan pada suatu masalah ia tidak hanya mampu menyelesaikannya sendiri, namun juga dalam bentuk team work.

Ketiga, mendapatkan ilmu di ruang kelas tidak hanya berakhir dalam klipingan tugas, makalah yang dipresentasikan dalam kelas, atau berakhir tragis dalam sebuah skripsi yang akhirnya menjadi usang dimakan rayap-rayap lemari. Mahasiswa yang memiliki kegiatan non akademik mampu mengaplikasikan ilmunya, sehingga ilmu tersebut bisa bermanfaat bagi orang banyak.

Ketika masih bersekolah, kegiatan non akademik masih mendapatkan nilai di rapor sekolah. Namun ketika melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi, nilai tersebut tidak diterapkan lagi.
Entah apa tujuan dari lembaga pendidikan setingkat Perguruan Tinggi, mungkin kembali memberikan kebebasan kepada mahasiswanya untuk memilih kembali. Mahasiswa bertanggungjawab atas apa yang ia pilih.

Tapi Universitas Pramadina berani memberlakukan hal lain di banding universitas lain, selain memberikan nilai akademik, Universitas Paramadina juga memberikan transkrip nilai non akademik kepada mahasiswanya. Transkip tersebut mencatat kiprah mahasiswa dalam berorganisasi.

Menurut Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan, yang dilakukan Universitas Paramadina dengan memberikan nilai non akademik bertujuan mengasah skill, karakter, serta etos yang mana tidak bisa didapatkan mahasiswa di ruang kelas.  Kendati demikian, mahasiswa tetap dituntut memperoleh nilai Indeks Prestasi (IP) yang baik.

Penulis setuju dengan apa yang diterapkan Anis, Karena yang nantinya dibutuhkan di dunia kerja bukan hanya kemampuan akademik. Namun ketanahan mental juga dibutuhkan yang mana terasah saat bergabung dalam organisasi atau kegiatan non akademik.

Sama seperti pencantuman nilai ekstrakulikuler yang dicantumkan dalam rapor, adanya transkrip nilai non akademik akan memudahkan orang lain menilai skill mahasiswa tersebut dengan tempo yang singkat. Dibandingkan dengan menunggu mahasiswa tersebut melakukan sesuatu pekerjaan.

Untuk mahasiswa yang ingin melamar pekerjaan, berbekal transkrip nilai akademik bisa dengan mudah terseleksi. Begitu juga bila nilai non akademik bila sudah menjadi hal yang biasa-biasa saja, ujung-ujungnya bisa distandardisasikan seperti nilai akademik dan terseleksi secara administrasi.

Seperti yang terjadi di masa sekarang, untuk mencapai standadisasi administrasi berbagai macam cara bisa dilakukan, dengan cara benar atau pun salah. Contohnya, pemalsuan ijazah perguruan tinggi yang dilakukan untuk mencapai standar pemilihan umum.

Tentunya penerapan transkrip nilai non akademik tidak ingin berakhir demikian. Dan mahasiswa yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, tidak begitu menuntut nilai non akademiknya ditranskrip oleh kampus.  

Karena sebagai insan yang berakal, mahasiswa akan memanfaatkan apa yang diperolehnya saat bergabung dalam organisasi non akademik.  Kemudian akan mendorongnya lebih unggul, tanpa perlu pembuktian secarik kertas sebagai syarat administrasi.

Dewi Maryam, Mahasiswa UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Potret Budaya Indonesia dalam Lukisan
Next post Kabar Sunyi