Kokok ayam bersahutan menyambut fajar di sebuah desa ujung barat pulau Jawa. Keramahan dan kesetiaan penduduk desa menjadi daya tarik untuk wisatawan lokal bahkan mancanegara. Seolah-olah mata dunia tertuju ke desa itu. Hanya satu yang ingin mereka nikmati, “Kesetiaan penduduk tidak kenal khianat”.
Desa yang dihuni oleh para penjaga adat, baik tetua hingga kaum muda. Suku yang dikenal dengan kuatnya mereka berjalan kaki. Siapa yang kenal dengan suku Baduy? Bagi kaum ini, kesetiaan terhadap adat lebih penting dari gerakan komunis.
“Untuk mengikuti zaman sangatlah mudah, yang lebih sulit itu cara untuk bertahan,” ucap seorang mantan Kepala Suku yang mulutnya dijejal nikotin surya.
Aku melihat surga di sini, damai, indah, dan paling penting jauh dari klakson motor, mobil, dan barang-barang berisik. Udara segar melintas bebas terjauh dari keganasan metropolitan. Aktivitas yang selalu mereka lakukan sangat jauh dan barang-barang yang mewujudkan kapitalisasi.
Ia merdeka dan mencintai alam. la terselamatkan dari gaya hidup anjing-anjing yang mengutamakan barang. Kalau tidak salah, istilahnya Anjing Hedonisme.
Bayangkan saja, baju yang selalu mereka pakai sangatlah sederhana. Biru pekat warna khas rok perempuan dan hitam untuk baju laki-laki. Lalu, para pejantan menghiasi kepala dengan selembar kain bercorak serupa dengan rok para puan.
Baju adat bagi mereka bukan sekadar formalitas, melainkan identitas. Setiap dengan baju adat ke mana pun kaki melangkah dan apapun kegiatan dilakukan.
Apalagi yang mau kita bicarakan tentang Baduy? Sudah jelas kalau Baduy berisikan manusia yang hampir sempurna dibanding manusia kota.
Buktinya, tidak ada aktivitas masyarakat Baduy yang merusak alam. Jalan yang melintasi rumah-rumah terbuat dari susunan batu alam. Entah bagaimana batu-batu itu tersusun dengan rapi dan memperlihatkan ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika.
Bambu menjadi bahan utama dinding dan lantai rumah, sementara atapnya ditutupi daun kelapa dan ijuk.
“Memanfaatkan alam sebaik-baiknya tanpa harus merusaknya.”
Seolah, itu motto hidup mereka. Agaknya itu kesan pertamaku ketika memasuki wilayah Baduy. Setelah berinteraksi dengan mereka, ada kesadaran yang menusuk kantung pertahananku.
Ketika mengetahui, suku Baduy tidak bersekolah. Suku yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan tersebut ternyata tidak bersekolah. Mereka lebih manusia, daripada manusia yang katanya berpendidikan. Lagi-lagi, masyarakat Baduy lebih unggul dari masyarakat modern.
Penulis: Fajri Hasan