Notifikasi di layar ponselku mengabarkan “SELAMAT ANDA DINYATAKAN LULUS”. Ini yang aku tunggu-tunggu!
Ya, aku akan melanjutkan pendidikan tinggi. Katanya, dunia perkuliahan akan menciptakan orang-orang hebat yang menjunjung tinggi nilai-nilai pengetahuan, dan mempunyai banyak uang. Salah satu cita-citaku tersirat dalam poin yang kedua di atas.
Tempat pendidikan yang menerima orang keren sepertiku, terletak begitu jauh di kota yang terkenal keras dan tak berperasaan. Hanya satu niat yang membuatku bertahan: ingin sembuh dari penyakit kebodohan akut ini. Nah, ini salah dua cita-cita ku.
Semuanya kukorbankan. Kampung halaman yang membosankan, namun patut juga untuk ditangisi. Nyak dan Babe, yang mempunyai hobi marah-marah, tapi menyembunyikan kasih sayang tak terbatas. Sepasang kekasih yang imutnya minta ampun, ya kadang-kadang nyebelin. Belum lagi dengan mereka, konco-konco yang asyik, kalau sudah melewati jam dua belas malam semuanya bertransformasi jadi manusia gila, jangan meremehkan kemampuan berkhayal mereka.
Kupertaruhkan semua ini, demi sembuh dari penyakit ini, dan ingin jadi kaya raya. Aku rela menelan kerinduan yang pahitnya bukan lagi seperti empedu kambing tua, tapi seperti racun yang perlahan menggerogoti hati.
Saat bus mulai bergerak, kulihat wajah Nyak dan Babe yang berusaha tegar. Mata Nyak berkaca-kaca. Wajahnya seolah berbisik lirih, “Terbanglah yang tinggi, Nak. Tunjukan pada dunia kalau Kau adalah anakku.”
Tak kuasa mata ini memandang wajah keriput itu, yang masih berusaha tersenyum hangat. Senyuman itu, senyuman terakhir yang kulihat sebelum bus membawaku pergi, akan terpatri selamanya dalam ingatanku.
Biarlah, akan kutahan.
“LEBAK BULUS! LEBAK BULUS!”
Ucap kernet mengabarkan bus sudah sampai di tujuan. Tunai juga setengah perjalananku. Langkah pertama di kota yang panasnya bak Padang Mahsyar diberi kesan sangat puas. Gedung-gedung tinggi yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, kini jadi kepuasaan tersendiri bagiku, lebih tepatnya terkesan seperti orang gua.
Tidak berlama-lama dan bertele-tele aku langsung menuju gedung kuliah yang telah aku bayar mahal. Sering terjadi, realita tak semanis ekspektasi, pintu masuk gerbang aku disambut hangat oleh tumpukan sampah bahkan ada bekas popok bayi.
“Yah, tidak apa-apa kali ya, mungkin yang mahal ilmunya bukan tempatnya.”
Keesokan harinya adalah awal perjuanganku. Melangkah dengan semangat, tapi enggak semangat-semangat amat. Memasuki gerbang kampus untuk kedua kalinya guna menghadiri orientasi bernama PBAK alias Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan. Bagi kalian yang enggak tau PBAK, ia adalah sebuah tradisi unik dalam dunia perkuliahan, kegiatan tersebut acap kali menimbulkan pertumpahan darah bahkan hingga tewas, moralnya.
Sepanjang jalan menuju tempat acara, kulihat senior-senior dengan senyum ramah, lebih tepatnya seperti senyum licik, kayak seorang psikopat yang menemukan mangsa baru.
“Ayo, Dek, gabung sama kita! Dijamin seru.”
Tanpa pikir panjang karena kepolosan diriku bak kain putih suci aku mendaftar diri, hanya dengan alasan karena mereka sangat asyik dan ramah. Awalnya semua terasa menyenangkan, sering diajak ngopi, dikasih rokok, dan janji-janji yang sangat enak dibayangkan kepala, yang paling penting dari semuanya itu adalah ditraktir.
Waktu berlalu dan aku merasa semakin terjebak. Janji-janji manis yang ditawarkan tidak ada sama sekali, paling menyebalkan tidak ada traktiran lagi. Memang sialan, semua itu hanya untuk menarik hati mahasiswa polos sepertiku.
“Cong, kok jarang nongkrong bareng kita lagi?” tanya Aripin, teman sekelas.
Aku hanya bisa tersenyum pahit. Ingin rasanya menjelaskan, tapi aku takut tidak dipahami. Lambat laun, teman-temanku mulai menjauh. Aku merasa terkucilkan, terjebak antara loyalitas pada organisasi dan kehidupan normalku sebagai mahasiswa.
Semakin hari, aku semakin menyadari bahwa aku dan teman-teman seperjuanganku hanyalah alat. Alat untuk melancarkan kepentingan-kepentingan tertentu yang bahkan tidak kami pahami sepenuhnya.
“Kita ini cuma boneka, Cong,” bisik Aripin suatu hari, dengan mata kosong penuh keputusasaan.
Namun di tengah kekelaman itu, kulihat ada segelintir mahasiswa yang mendapat ‘keistimewaan’. Mereka yang rela menjadi ‘kacung’, selalu siap sedia melayani senior-senior kesayangan. Aku melihat bagaimana mereka diperlakukan berbeda, mendapat akses ke berbagai fasilitas dan kesempatan.
“Lu mau kayak gitu, Cong?” tanya Aripin dengan nada sinis.
Aku menggeleng kencang. Aku memilih untuk tetap pada prinsipku, meski itu berarti harus meratapi nasib bersama yang lain. Hari-hariku diisi dengan penyesalan dan keinginan untuk bebas yang tak kunjung terwujud.
Suatu malam, saat aku hampir menyerah pada keputusasaan, aku menerima pesan dari Nyak di kampung.
“Cong, kuliah yang rajin ya, Nyak enggak sabar nunggu lo jadi orang besar.”
Pesan itu langsung menuju ke jantung pertahananku, seakan rotan yang sering dipakai Nyak untuk menghukum anaknya ini ketika ketahuan mandi di sungai. Pukulan keras malam itu membuatku bangkit dari belenggu organisasi keparat ini. Aku mulai memikirkan cara untuk membebaskan diri, perlahan tapi pasti.
Malam itu, aku tertidur dengan senyum kemenangan dalam diri ku. Besok adalah hari baru, dan aku bertekad untuk mulai melangkah ke luar dari bayangan organisasi yang selama ini membelenggu. Mungkin tidak akan mudah, tapi setidaknya ada harapan. Dan bagiku, itu sudah cukup untuk memulai.
Penulis: Fajri Hasan
Editor: Nabillah Saffanah