Bayangkan jika kalian menimba ilmu di tempat yang tidak siaga terhadap bencana. Ini sebuah kesialan atau ketidakpatuhan pihak kampus terhadap peraturan?
Sebuah perguruan tinggi Islam negeri yang di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) bernama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Lembaga pendidikan tersebut memiliki tanggung jawab penuh terhadap pemburu ilmu, yang sering kali disebut sebagai Mahasiswa.
Salah satu tanggung jawab lembaga itu adalah menjamin para pemburu selalu berada dalam situasi aman. Sebut saja aman dari bencana alam, seperti gempa bumi, kebakaran, tsunami, dan sejenisnya. Kecuali kiamat, secanggih apapun sebuah instansi tidak bisa melawan kiamat. Gambaran tentang kiamat dari para ahli teolog merupakan akhir dari alam semesta. Namun, lembaga pendidikan tetap memiliki kewajiban untuk memberikan antisipasi dalam bentuk memberikan fasilitas yang cukup untuk persiapan segala bencana.
Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanggulangan bencana, perguruan tinggi harus memiliki, Alat Pemadam Api Ringan (APAR) di tiap lantainya. Tak hanya itu, hidran juga perlu tersedia di tiap lantai. Belum lagi ketersediaan tangga darurat, Fire Sprinkler alias alat penyiram api, alarm kebakaran, dan yang tak kalah penting keberadaan titik kumpul.
Berangkat dari standar tersebut membawaku menjelajah ke setiap gedung tinggi yang berada di UIN Jakarta. Sambil bertanya-tanya, “Apakah UIN sudah menjadi lahan yang aman untuk berburu ilmu?” teriring langkah kaki menembus kesibukan para pemburu ilmu.
Langkah pertamaku tertuju ke gedung yang di depannya tertulis Perpustakaan Universitas. Lantai pertama gedung itu sangat mengkilap dipenuhi lampu-lampu kecil, sofa empuk, dan ruang kecil untuk registrasi. Seketika pandangan ku teralihkan karena melihat fasilitas yang tidak dirawat oleh pihak yang berwajib.
Sebuah tabung yang berguna untuk memadamkan api dalam skala kecil yang disebut APAR, bayangkan saja sudah enam tahun APAR tersebut tidak diperbarui. Dalam bahasa sehari-hari APAR itu sudah basi, tidak bisa berfungsi sesuai fitrahnya. Ku jelajahi gedung itu sampai ke lantai tujuh, jantung ku merasa gundah, perasaan jengkel tidak bisa terelakan karena semua APAR di gedung hanya sebagai penghias pojok ruangan, tidak memiliki esensi sama sekali.
“Ah, sialan! Apa bagi mereka ini tidak penting? Seolah-olah nyawa mahasiswa tidak berarti,” gerutuku saat keluar gedung.
Setelah menelusuri gedung yang berisi banyak buku dan arsip itu, langkahku berlanjut menuju gedung yang tak jauh dari sana, Perpustakaan Lama. Gedung yang sempat menjadi pusat jendela dunia di kampus agama ini, kini sudah beralih fungsi, ruangan-ruangannya disulap menjadi ruang kelas.
Mataku hanya melihat tumpukan benda-benda yang beragam, mulai dari lemari, tumpukan kayu yang entah untuk apa, ditambah banyak sekali barang usang. Sekilas mirip seperti gudang di rumahku, tidak satupun terlihat APAR. Hanya ada satu besi bulat seperti donat berwarna merah yang di atasnya tertulis “Alarm” serta tertempel lampu berwarna merah. Sampai di lantai tiga aku hanya menemukan besi berbentuk donat itu.
Karena langkahku kecil, napasku yang pendek, maka dua rekanku melanjutkan penyelidikan terhadap fasilitas untuk bencana. Mereka menyalakan kuda besinya menuju gedung yang terletak jauh dari Ciputat. Bisa dibilang gedung itu adalah anak yang tersisihkan dari ibunya.
Gedung yang berbentuk kotak korek api itu bernama PPG (Pendidikan Profesi Guru), setelah mereka selidiki, ada beberapa informasi yang kuterima.
“Aman. Semuanya lengkap.” laporan yang kudapat melalui pesan WhatsApp.
Hanya saja saat mereka memperhatikan lebih lekat, tidak ada palang tanda orang berkumpul. Menelusuri lebih lanjut, ternyata palang tersebut tercabut dari kedudukannya karena dahsyatnya angin yang menerpa bersamaan hujan deras beberapa hari lalu.
“Belum sempat dipasang lagi,” berikut keterangan dari petugas keamanan di sana.
Setelah menjelajahi beberapa Gedung UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dapat disimpulkan bahwa Standar Operasional Prosedur kebencanaan tidak terpenuhi. Pihak kampus yang bertanggung jawab atas keselamatan raga para mahasiswa masih belum merealisasikan dalam bentuk pengadaan fasilitas yang baik. Pemburu ilmu berhak mendapatkan sarana dan prasarana untuk keselamatan mereka, supaya tidak terjadi mimpi buruk seperti, kematian, tangisan karib kerabat, dan paling mengerikan ditutupnya UIN Jakarta akibat kelalaian pihak kampusnya.
Penulis: Fajri Hasan
Editor: Nabilah Saffanah