Telah Jaya Pembodohan

Telah Jaya Pembodohan

Read Time:5 Minute, 32 Second

Ritual digelar guna memilih pemimpin Desa Cepot yang akrab disapa Hokage. Tentu ada ketentuan untuk menjadi pasangan calon Hokage. Hal tersebut sudah diputuskan oleh pihak penyelenggara, suatu badan pemerintahan di Desa Cepot. Secara umum, inti dari ketentuannya adalah manusia yang sempurna, siap menyejahterakan rakyat, menegakkan keadilan, dan mengembangkan kemampuan penduduk desa yang berbasis intelektual. 

Terdengar klise, semua desa bahkan semua negeri di belahan bumi ini wajib memenuhi kriteria tersebut. Akan tetapi, apa yang terjadi? Di Desa Cepot, semua berjalan tidak sesuai dengan ketentuan. Keadilan, kemaslahatan umat, kesejahteraan, dan hal-hal yang manusiawi itu hanyalah pembalut untuk membodohkan penduduk desa.

“Dalam ritual kali ini, kita akan mengutus Edi Cudit untuk maju dalam perebutan kursi Hokage!” suara lantang Kepala Suku terdengar keras dan sangat menggebu.

Edi Cudit namanya, seorang ‘bocah kemarin sore’ yang tidak tahu apa-apa terkait hal pengurusan desa. Meski begitu tidak menjadi persoalan serius bagi pihak penyelenggara. Semua warga berasumsi, Edi hanyalah boneka yang digerakkan Kepala Suku.

Benar sekali, ritual itu bukan bertujuan untuk memilih kader yang mengabdikan diri kepada desa, melainkan ajang perebutan kekuasaan. Semua jalan dihalalkan untuk memenangkan ritual tahunan. Seperti sudah menjadi kebiasaan yang berlanjut pula, ritual yang selalu diadakan setahun sekali itu, atau bahkan lebih, selalu mengalami pertikaian. Pertikaian ini selalu didominasi oleh dua suku, Garejoh Barat dan Garejoh Timur.

Bermacam cara sudah dilakukan, perbuatan keji tidak terelakkan, dan Suku Garejoh Barat keluar sebagai pemenang dalam ritual tahun ini. Siapa sangka, Edi Cudit, bocah yang tidak tahu apa-apa itu terpilih menjadi Hokage Desa Cepot.

Pelantikan resmi diadakan, ‘bocah kemarin sore’ itu resmi menyandang gelar Hokage. Duduk di kursi kebesaran, berada di kantor yang sejuk nan nyaman, dengan setumpuk tugas yang seharusnya diemban. Namun, nyatanya penduduk desa tidak merasakan kehadiran Hokage sebagai pemimpinnya.

Sesuai peraturan Desa Cepot, kabinet Edi seharusnya sudah tersusun sesegera mungkin setelah pelantikan. Memang dasar otak dungu dan kurangnya wawasan Edi, lima bulan setelah pelantikan ia hanya bengong dan tidak melakukan apa-apa. Semua yang menjadi tanggung jawab Edi justru diambil alih oleh Kepala Suku. Edi yang semestinya punya kuasa penuh terhadap desa, hanya manut dan bergantung di bawah ketiak Kepala Suku.

“Apakah kamu melihat Hokage?” tanya seorang warga.

“Tidak ada,” sahut sekumpul orang di depan Kantor Hokage.

Hari itu warga beramai-ramai memadati jalan desa hingga ke pusat pemerintahan. Kantor Hokage telah dikepung ratusan manusia yang sudah naik pitam. Sorot mata mereka seakan ingin menelan pemimpinnya bulat-bulat. Otot leher yang menegang serta kepalan tangan yang terangkat tinggi membuktikan, kali ini mereka sudah jengah, mereka muak dengan pemerintahan yang baru berjalan seumur jagung itu.

Tidak ada kesan dari kepemimpinan Edi, bahkan di seratus hari pertamanya. Benar-benar tidak ada.

“Katakan lebih keras!” semakin lantang suara warga, seakan berusaha memecah kaca jendela Ruang Hokage dengan gelombang suaranya.

“Dasar Hokage gak guna! Sialan!” respons lainnya tak kalah ganas.

Sialnya, aksi demi aksi yang dilayangkan tak diindahkan sama sekali. Pemerintah seakan tidur di singgasana mewahnya. Tentram di tengah jeritan para warga. Telinga mereka tertutup. Mata mereka tertutup. Bahkan tangan mereka sekalipun ikut tertutup.

Kini hampir satu tahun Edi memimpin, Desa Cepot terus berjalan mundur. Kerusakan banyak terjadi, penduduk desa mengalami krisis keadilan, bahkan sebagian besar sudah di tahap mati rasa. Mirisnya, mereka tidak sadar jika sedang berada di ambang kepunahan. Pembodohan massal sangat masif terjadi karena kepala suku yang mengutus Edi punya pengaruh besar di Desa Cepot. 

Pembodohan yang dilakukan oleh kepala suku itu hanya menguntungkan perutnya saja—beginilah, jika paham materialistik sudah memenuhi kepala penguasa. Bahkan, ia sampai hati memeras saku penduduk desa.

Melihat kekacauan yang terjadi, penduduk desa menginginkan hokage melakukan aksi pembelaan. “Kami mau Hokage temui kita di sini! Dengarkan suara kami!”

Edi yang seakan buta dengan nasib rakyatnya memilih bermain petak umpet di tengah masa krisis ini.

“Mau tidak mau, terima atau tidak, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” kata yang dilontarkan salah seorang warga Desa Cepot dari mulut kering dengan raut wajah lesu dan kehilangan harapan. 

Lamun, saat penduduk desa hendak menyerah, muncul segerombol orang yang mempunyai semangat juang tinggi. Bisa dibilang, mereka adalah penduduk yang keras kepala dan tidak mengenal kata menyerah. Mereka mengumpulkan segelintir orang untuk membangun aliansi. 

Sebagian besar anggota aliansi itu berasal dari desa seberang, boleh dibilang mereka orang perantau yang menetap di Desa Cepot. Jika mereka bicara, penduduk sekitar menganggapnya lagi kumur-kumur.

 “Sabana pantek paja ko mah, urang ndak becus dipasoan jadi hokage, rusak kampuang ko, (Benar-benar sialan bocah itu, orang yang tidak becus jadi hokage, akan merusak kampung ini),” berang orang perantau melihat tidak becusnya Edi memimpin.

Aliansi yang dibentuk oleh seorang cendekiawan bernama Parjo’s itu, yang konon katanya berdarah bangsawan, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai ketua aliansi, Parjo’s mengadakan rapat internal terkait krisis yang terjadi supaya memperoleh solusi dari problematika yang ada. 

Parjo’s membuka rapat tersebut dengan pertanyaan, “Mana matamu? Mana matamu? Mana matamu? Apakah kalian melihat keadilan di sini? Sampai kapan kita selalu dibutakan oleh kelicikan bajingan-bajingan itu?” ucap Parjo’s bak marahnya orang yang sedang lapar tingkat akut. 

Nada yang sangat frontal itu membangunkan singa-singa yang ada di setiap anggota aliansi. Mereka marah, jiwa pemburu mereka membara. Jika mereka melihat Edi di situ, tak terbayang apa yang akan terjadi pada tubuh kerempengnya.

Penjabaran panjang lebar mengenai keadilan sudah diterangkan oleh Parjo’s. Aliansi itu siap melawan kebijakan karena sudah mempunyai ideologi yang sangat tajam. Para penegak keadilan itu sudah terlahir kembali, meskipun hanya beberapa orang.

“Kekuatan sosial ada di setiap individu!” sorakan mereka mengakhiri rapat.

Begitu hari berganti, mereka melakukan perlawanan, menyadarkan sang Tuan Hokage, dan orang yang berpengaruh di Desa Cepot lewat unjuk rasa. Tetapi, realita tidak semanis ekspektasi. Gerakan yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil secuil pun.

“Jika matahari masih terbit dari timur, jika nyawa masih menetap dalam tubuh, mulut tidak terkunci, kaki masih bebas, kita akan melakukannya lagi, lagi, lagi, lagi dan lagi!” motivasi yang dilontarkan Parjo’s untuk menguatkan rekan-rekannya mengalir begitu deras.

Sudah ribuan aksi dilakukan, upaya penyadaran terhadap fenomena tetap tidak menghasilkan  kesadaran. Penduduk asli desa tersebut sudah tidak peduli lagi dengan kebijakan yang dilahirkan oleh rezim Edi. Kebenaran sudah mati, hakikat keadilan sudah hilang. Semuanya hancur, yang tersisa hanya pembodohan.

Kaki mereka patah, tidak bisa menggerakkan keadilan lagi. Lidahnya sudah dipotong, tidak bisa menyoraki kesejahteraan. Hatinya sudah menyerah, tidak ada lagi harapan. Mati sudah semuanya, bendera putih berdiri tegak.

“Kebebalan takkan mati, aku akan tetap ada dan berlipat ganda, serta aku akan terus membodohimu seperti kutukan,” ucap Kepala Suku itu dengan irama jahatnya.

Kaum mereka abadi, Desa Cepot sudah menjadi surga orang-orang bebal. Tidak ada lagi kebenaran. Kebenaran sudah punah, sudahlah, berakhir sudah.

Penulis: Fajri Hasan
Editor: Wan Muhammad Arraffi 

Happy
Happy
100 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Akrobat Bola Panas PBAK Ushuluddin Previous post Akrobat Bola Panas PBAK Ushuluddin
Memandang Luas Kota Melalui Pameran Spektrum Next post Memandang Luas Kota Melalui Pameran Spektrum