
Terserah siapa aja yang mau jadi presiden, hidup juga bakal gitu-gitu aja, yang penting bagi gue dia baik, peduli sama rakyatnya, kasih bantuan ke kita kalo lagi susah. Tapi kalau gunakan jabatan untuk kepentingn pribadi, itu ngelunjak!
Jemari Ayat silih berganti menekan kalkulator di depannya. Hari demi hari hitungan itu mulai berkurang. Hari itu tidak seperti biasanya. Cuma satu-dua yang mampir ke warungnya untuk membeli minuman dingin, atau sekadar cemilan pengganjal perut. Terkadang, datang hanya untuk menambah hutang. Ayat termenung, tangan kanan menopang dagu dengan wajah lesunya.
Dulu, warung itu tak pernah sepi. Celotehan ibu-ibu yang tengah berbelanja menggema di dalam lapak berukuran lima kali sepuluh meter itu. Meja yang tersedia di bagian depan warung, lengkap dengan bangku panjangnya selalu riuh dengan gelak tawa lelaki yang sedang menikmati kopi. Sesekali, terdengar omelan kesal ibu-ibu menjemput suaminya yang selalu menghabiskan waktu di meja itu.
Bagai terkena kutukan, drama seperti sinetron yang hidup di warung Ayat hilang seketika. Meja yang riuh itu kini hanya tersisa nyanyian jangkrik belaka. Celotehan di sudut bagian bahan masakan hanya meninggalkan kesunyian tak berkesudahan. Kehidupan Ayat tersiksa karena itu.
“Yat!”
Suara seorang pemuda diiringi gebrakan meja mengagetkan Ayat. Sontak Ayat langsung memandangnya dengan wajah kesal.
“Hahaha, melamun aja Lu, Yat, kenapa? Ditolak cewek lagi?” tanyanya meledek tanpa ada raut muka bersalah sedikitpun.
“Eh, bicara lagi gue sumpel mulut Lu, ya!”
“Hahahaha.”
Pemuda itu mencomot gorengan kering di depannya. Ia langsung duduk di depan Ayat saat datang tadi, tanpa basa-basi menuangkan secangkir air putih lalu meneguknya. Pemuda itu bernama Ori, sahabat Ayat semenjak kecil. Ori tak pernah absen hadir di warung Ayat. Setiap sore ia datang untuk melepas penat setelah seharian bekerja.
Berbeda dengan Ayat, Ori bekerja di ladang warisan kakeknya. Ia menanam berbagai jenis sayuran. Saat waktunya tiba ia akan memanennya, lalu menjualnya ke pasar pemerintah. Di Ilunesia, pemerintah memang punya kendali penuh. Semua sektor, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga keagamaan diatur pemerintah. Bentuk negaranya memang demokrasi, namun jalannya secara monarki.
“Pemilu tahun ini Lu pilih siapa, Yat?”
“Ah, gue gak kepikiran itu. Terserah siapa aja yang mau jadi presiden, hidup juga bakal gitu-gitu aja,” jawab Ayat judes.
“Yaelah, presiden buat Lu, Yat, masa gak ikut milih,” Ori masih berusaha untuk mengajak Ayat mengobrol.
“Yang penting bagi gue dia baik, peduli sama rakyatnya, kasih bantuan ke kita kalo lagi susah.”
Beberapa bulan lagi pesta demokrasi itu akan berlangsung di Ilunesia. Para kandidat calon pemimpin sudah siap berkontestasi. Wacana blusukan ke kampung-kampung sudah tersebar. Bantuan-bantuan sosial berisi sembako mulai turun ke warga-warga. Puluhan spanduk sudah membentang di papan iklan sepanjang jalan. Pohon-pohon sudah dihiasi oleh wajah dan senyum merekah yang tertancap dengan berbagai janji manis.
Ayat tak ambil pusing dengan semua itu. Dalam pikirannya cuma satu, bagaimana cara agar warungnya kembali ramai seperti dulu.
Beberapa hari lalu, Ayat menata ulang warungnya. Meja luar yang semulanya kosong, kini ia isi dengan jajanan ringan. Menggantung cemilan dengan berbagai merek di atasnya. Ayat juga menambahkan meja dan bangku agar dapat menampung lebih banyak orang.
Tak tanggung-tanggung, Ayat memajang poster dengan tulisan “Diskon 50% bagi yang belanja lebih dari 100 ribu”. Dalam benaknya, Ayat berpikir, hal itu tentu akan menarik banyak orang untuk belanja. Namun, nahas.
Tangan Ori kembali menjulur mencomot gorengan di depannya. Selesai melahap, ia mengeruk kantong kanan celananya, dan mengeluarkan sebungkus rokok. Sebatang rokok dinyalakan, dihirupnya asap tembakau itu dalam-dalam, kemudian dihembuskan. Kepulan asap bernikotin mengambang sebentar di udara sebelum hilang dari pandangan.
“Lu mikirin apa, Yat?” tanya Ori melihat sahabat karibnya masih termenung.
“Warung gue, Ri. Kalo kayak gini caranya, lama-lama gue bisa bangkrut.”
Ori kembali menghisap rokok di tangannya. Menghembuskan ke udara, kepulan asap kembali terbentuk.
Ori mengeluarkan ponselnya. Ia mulai mengetik, lalu menggeser layar ponsel itu seperti mencari-cari sesuatu. Tak lama, dihentikannya geseran jari itu dari ponsel. Ia mengamati layar ponselnya sambil komat kamit membaca.
“Ini apaan, Ri?” tanya Ayat saat Ori memberikan ponselnya.
“Udah, Lu baca aja.”
Di ponsel itu tertulis artikel berita dengan judul “Pemimpin yang Merakyat: Presiden Kiwi Kembali Turun Membagikan Sembako ke Masyarakat”.
Ayat lanjut membaca.
“Presiden Kiwi membagikan sembako kepada masyarakat desa Makmur pada Senin (23/6). Pembagian sembako tersebut bertujuan untuk meringankan kesusahan masyarakat akibat krisis iklim yang berkepanjangan. Selain itu, pembagian sembako turut memudahkan masyarakat yang tak mampu membeli kebutuhan bahan pokok sehari-hari.”
“Presiden Ilunesia, Kiwi menjelaskan, ia sungguh prihatin dengan keadaan masyarakat saat ini. Untuk itu, ia berinisiatif membagikan sembako demi memenuhi kebutuhan masyarakat. ‘Kami berharap hal-hal kecil ini dapat membantu. Kedepannya, kami akan terus mengusahakan agar kesejahteraan masyarakat tetap terjaga,’ ujar Kiwi, Senin (23/6) saat diwawancarai sembari membagikan sembako kepada masyarakat.”
“Salah seorang masyarakat, Jujun menyebut sangat terbantu dengan sembako yang dibagikan presiden. Di tengah kepasrahan mereka, bantuan dari presiden bagai pertolongan yang sangat luar biasa. ‘Kita berharap bisa mendapat presiden yang peduli seperti ini selamanya. Terimakasih Pak Presiden,’ pungkasnya, Senin (23/6).”
Kepala Ayat sedikit terangguk seusai membaca artikel yang disodorkan sampai tuntas. “Kalo ini gue udah tahu, Ri. Presiden Kiwi emang baik ke kita.”
“Itu dari media pemerintah. Coba Lu baca yang ini.” timpal Ori kemudian menggeser layar ponselnya yang berada di tangan Ayat.
Sejurus kemudian, artikel baru muncul. Ori mengangkat alis menghadap ke Ayat, menginstruksikan agar Ayat membaca laman itu.
Ayat agak kaget. Tertampang besar di layar ponsel artikel dengan judul “Tipu Daya Pemerintah Mencekik Rakyat”.
“Baru baru ini, pemerintahan Presiden Kiwi kembali mengeluarkan kebijakan baru. Setelah sebelumnya mengambil alih pasar pendistribusian nasional, ia kembali menaikkan harga kebutuhan pokok yang akan dijual ke masyarakat. Hal itu tentu menghambat masyarakat mendapat bahan pokok yang terjangkau. Ditambah lagi krisis iklim yang tengah melanda, mengakibatkan usaha pertanian masyarakat berkurang. Imbasnya, semua kebutuhan pokok masyarakat bergantung pada pasar pemerintah.”
“Ini emang orang yang gak suka sama Presiden Kiwi dari dulu, Ri. Mangkanya bikin kayak gini,” Ayat masih meragukan isi berita tersebut dan berusaha meyakinkan Ori bahwa itu semua hanya tuduhan.
“Lu baca dulu semuanya,” ujar Ori.
“Sekretaris Presiden sekaligus Direktur Utama pasar pemerintah, Bubud mengatakan, memang ada kenaikan untuk harga jual bahan pokok. Semua itu untuk menjaga kestabilan mata uang Rupiah di dunia. Saat ini, Ilunesia sedang coba bersaing dalam sektor ekspor-impor. Terkadang, hal itu membutuhkan biaya yang cukup banyak. Maka dari itu, kami harus sedikit menaikkan harga bahan pokok agar mendapat biaya lebih untuk sektor ekspor-impor. ‘Dan nantinya, keberhasilan ekspor-impor ini akan sangat menguntungkan bagi kesejahteraan masyarakat,’ ucapnya, Senin (23/6).”
Wajah Ayat mulai serius, ia melanjutkan bacaannya.
“Media M juga menanyakan tentang blusukan Presiden Kiwi sembari membagikan sembako kepada masyarakat. Direktur Utama pasar pemerintah itu menerangkan, hal itu adalah bentuk kepedulian presiden terhadap rakyatnya. Ia akan terjun langsung membantu masyarakat saat ada kesusahan. ‘Maaf ya, saya harus pergi, ada urusan lain’ kata Bubud sambil buru-buru pergi saat Media M menanyakan pengaruh bagi-bagi sembako presiden terhadap naiknya harga bahan pokok. Sebelumnya, Media M mengetahui bahwa sembako yang dibagikan presiden berasal dari stok pasar pemerintah yang seharusnya berguna memenuhi kebutuhan masyarakat.”
“Di sisi lain, Media M menemukan, kemasan sembako tersebut menampilkan foto salah satu calon presiden yang dekat dengan Presiden Kiwi. Kemudian, yang tak kalah mencengangkannya, pembagian sembako terpusat di daerah yang selama ini mendukung Presiden Kiwi. Di daerah yang tidak mendukung Presiden Kiwi, sembako diberikan selama masyarakat bersedia memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya sebagai bukti mendukung Presiden Kiwi. ‘Kami diminta jaminan KTP sebagai bukti mendukung Presiden Kiwi kalau ingin dapat sembako,’ ucap salah seorang warga, Senin (23/6).”
“Media M juga menemukan bahwa kegiatan ekspor-impor tidak terlalu pesat. Dapat disimpulkan, kenaikan harga bahan pokok bukanlah imbas dari kegiatan tersebut. Media M coba mencari penyebab lain kenaikan bahan pokok. Alih-alih mendapat petunjuk, Media M malah menemukan keganjilan lain. Pada Sabtu (21/6), beredar video keluarga Presiden Kiwi berlibur menggunakan kapal pesiar dengan harga sewa miliaran rupiah. Anehnya, data transaksi kapal pesiar itu tidak ditemukan. Keluarga Presiden Kiwi memberikan klarifikasi bahwa kapal pesiar itu merupakan pinjaman dari temannya.”
BRAK!
“Kiwi bangsat!” geram Ayat teriring gebrakan tangannya yang membuat Ori terlonjak.