Oleh: Muhammad Arifin Ilham*
Dua tahun yang lalu, lima pria di Solo menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang petugas kebersihan yang juga seorang pria. Berita yang dirilis detik.com itu menyebut korban masih di bawah umur. Peristiwa bermula saat salah satu korban berkenalan dengan pelaku lewat Facebook, lalu keduanya berkomunikasi dan bertemu. Awalnya, pelaku cuma menuruti kesenangan korban. Setelah itu ia mulai mengelus korban dan melakukan bujuk rayu hingga terjadilah pelecehan seksual.
Setahun sebelumnya, terdapat peristiwa serupa di Probolinggo, bedanya kali ini pelaku merupakan seorang perempuan. Melansir dari kompas.tv, keduanya adalah partner kerja. Pelaku menyuruh korban datang ke kontrakannya untuk membincangkan perihal pekerjaan. Namun, sesampainya di sana, korban malah dicekoki minuman keras hingga tak sadarkan diri. Dalam keadaan itu, pelaku meminta korban untuk memenuhi hasrat seksualnya.
Peristiwa itu menunjukkan dengan jelas, pelecehan seksual juga dapat menimpa seorang laki-laki, tak hanya perempuan. Sejatinya, pelecehan seksual memang bukan peristiwa yang cuma menimpa perempuan. Hal itu jelas terlihat dari pengertiannya. Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan seksual merupakan segala bentuk perbuatan yang menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuannya.
Sementara bila merujuk dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud-Ristek), kekerasan seksual memiliki pengertian yang luas. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/ atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang.
Perbuatan itu bersebab dari ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik. Perbuatan itu juga menghilangkan kesempatan seseorang untuk melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pelecehan seksual yang merupakan salah satu bentuk dari kekerasan seksual, dapat menimpa semua orang tanpa terkecuali. Maka dari itu, tentu perlu untuk memperhatikan segala bentuk kekerasan seksual terhadap laki-laki dan tidak menormalisasikannya. Begitu pun pelakunya harus menerima pidana sebagaimana Undang-Undang (UU) No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Pada umumnya, korban kekerasan seksual memang lebih banyak datang dari kalangan perempuan. Namun, itu tidak menafikan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban. Bahkan, terkadang angka kekerasan seksual terhadap laki-laki bisa lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Februari 2024, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) merilis hasil survei pelecehan seksual di ruang publik selama pandemi Covid-19. Survei yang melibatkan 4.236 responden itu menunjukkan 3 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.
Bahkan, dikutip dari tempo.co, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2018, Retno Listyarti menyebutkan anak laki-laki lebih rentan menjadi korban. Dari 177 anak sekolah yang menjadi korban kekerasan seksual, 135 orang terdiri dari anak laki-laki.
Pelecehan seksual terhadap laki-laki masih menjadi hal yang aneh di tengah masyarakat Indonesia. Mencolek, meraba, ataupun mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas terhadap laki-laki cuma dianggap ketidaksopanan biasa. Hal itu biasanya terjadi di kalangan remaja. Saat seorang laki-laki meraba atau menyentuh tubuh perempuan akan disebut melecehkan, karena memang sebuah pelecehan. Berbanding terbalik bila rabaan itu tertuju pada laki-laki, kerap kali tidak disebut pelecehan. Padahal, juga tergolong dalam pelecehan.
Menormalisasi pelecehan seksual pada laki-laki tentu bermasalah. Hal itu mengakibatkan banyak kasus pelecehan terhadap laki-laki tak terungkap ke permukaan. Selain itu, para korban juga akan cenderung tidak melaporkannya karena teracuhkan dan kurang tertangani.
Berdasarkan jurnal “Conflict-Related Sexual Violence Against Men and Boys” yang ditulis Wynne Russell pada 2007, laki-laki dewasa maupun anak laki-laki enggan melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya. Oleh karena itu, banyak dari kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki tak terdokumentasikan, sehingga data yang tersedia sangat terbatas dan belum bisa merepresentasikan jumlah kasus yang terjadi.
Kecenderungan untuk tidak mengungkapkan kekerasan seksual yang menimpa laki-laki merupakan akibat dari toxic masculinity, budaya yang menganggap bahwa laki-laki harus kuat sehingga seharusnya dapat melawan bila memang diperkosa. Budaya itu juga menganggap bahwa hanya laki-laki yang selalu punya keinginan untuk berhubungan seksual, sehingga mereka tak mungkin mendapat pemerkosaan.
Penelitian Michelle Davies dan Paul Rogers pada 2006 dengan judul “Perception of Male Victims in Depicted Sexual Assaults; A Review of the Literatur” membuktikannya. Mereka menjelaskan, selama ini terdapat anggapan bahwa seorang perempuan tidak bisa memaksa laki-laki untuk berhubungan seks. Laki-laki dipandang sebagai makhluk yang lebih agresif serta menjadi inisiator dalam hubungan seksual, sedangkan perempuan lemah dan pasif.
Di sisi lain, kekerasan seksual terhadap laki-laki masih lemah secara hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih memberikan penafsiran yang sempit terhadap laki-laki korban pemerkosaan. KUHP Pasal 285, 286,287, dan 288 cuma menyebut wanita sebagai korban pemerkosaan.
Maka dari itu, seyogyanya perlu solusi agar laki-laki korban kekerasan seksual mendapat hak yang sama dengan korban lainnya. Sebisa mungkin, kekerasan seksual itu tak terjadi padanya. Pertama, perlu edukasi terhadap masyarakat tentang bentuk kekerasan seksual, terutama pemahaman bahwa kekerasan seksual juga dapat menimpa seorang laki-laki.
Kedua, perlu tersedia ruang aduan khusus bagi laki-laki korban kekerasan seksual, karena mereka tentunya memiliki kebutuhan khusus. Ditambah lagi stigma kekerasan seksual pada laki-laki di tengah masyarakat yang akan menyulitkan mereka dari segi pelaporan, penanganan, ataupun pemulihan.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta