Akamsi melakukan aksi atas keresahannya terhadap kebocoran PDNS2. Mereka menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas ancaman tersebarnya data pribadi.
Aliansi Keamanan Siber untuk Rakyat (Akamsi) menyelenggarakan aksi “Geruduk Kominfo” di depan Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Jakarta Pusat pada Rabu (10/7). Berbagai organisasi turut hadir untuk mendesak penurunan Budi Arie Setiadi sebagai Menteri Kominfo (Menkominfo) karena bobolnya Pusat Data Nasional Sementara 2 (PDNS2).
Dalam pernyataan sikap Akamsi, bobolnya PDNS2 mengakibatkan pelanggaran hak-hak digital. Hal ini menimbulkan berbagai kerugian yang signifikan, yakni sulitnya akses terhadap layanan publik dan membuat data pribadi warga terancam keamanannya.
Sejak 2022, Akamsi menilai Kominfo telah gagal dalam mengurus urusan siber, keamanan data, dan tata kelola internet. Selain itu, kejanggalan dalam pengadaan proyek PDNS2 yang menghabiskan anggaran hampir Rp2 triliun juga menjadi sorotan. Tanggapan pemerintah terhadap bobolnya PDNS2 pun mengecewakan dan terkesan main-main. Tanggapan ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya menganggap data pribadi sebagai aset, bukan hak dan martabat yang melekat pada setiap individu.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum mengatakan kasus ini tidak ada respon dan perbaikan dari pemerintah. SAFEnet membuat petisi untuk menuntut tanggung jawab pemerintah yang sudah ditandatangani lebih dari 25.000 orang. “Hingga saat ini belum ada kejelasan akan hal tersebut, makanya kami pikir perlu untuk mengadakan aksi ini untuk menunjukkan bahwa kami benar-benar serius untuk menuntut tanggung jawab dari pemerintah,” tegas Nenden, Rabu (10/7).
Lanjut Nenden, SAFEnet sedang mengumpulkan informasi korban yang terdampak dari bobolnya PDNS2. Hasil dari pengumpulan informasi tersebut dapat menjadi dasar untuk Tim Advokasi SAFEnet menyusun tuntutan pertanggungjawaban negara. “Pekan lalu kami sudah mengajukan permohonan informasi publik kepada Menkominfo terkait kasus ini yang kemudian akan menjadi bahan gugatan kami kepada Menkominfo dan Presiden,” ungkap Nenden.
Staf Komunikasi Publik SAFEnet, Rama Sejati dalam orasinya berpendapat bahwa data pribadi merupakan bentuk kedaulatan dan pertahanan negara. Kelalaian pemerintah yang tidak melakukan pencadangan data pribadi warga tidak mencerminkan transformasi digital yang berkepanjangan. “Kita tidak bisa berharap lebih kepada negara, namun kita dapat saling bahu-membahu terutama pada data-data kita,” ucapnya, Rabu (10/7).
Kepala Divisi Pengelolaan dan Pengetahuan Indonesian Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah dalam orasinya meminta Menkominfo mundur dari jabatannya. Wana menilai Budi Arie selaku Menkominfo kurang bisa bertanggung jawab atas bobolnya PDNS2. “Kami menuntut Menkominfo dipecat dari jabatannya karena tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang harus ia pertanggungjawabkan,” tuntutnya, Rabu (10/7).
Wana menyebutkan akibat bobolnya PDNS2 seperti tidak selaras dengan yang disebutkan pemerintah bahwa akan terjadi digitalisasi. “Sejumlah pejabat publik mengatakan perlu adanya digitalisasi, namun hal itu tidak mencerminkan apa yang terjadi saat ini,” kata Wana
Jeenno Alfred Dogomo yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menjelaskan, saat isu rasisme yang menimpa Papua pada 2019 silam terjadi pemblokiran besar. Pemblokiran ini disinyalir karena kritik yang dilontarkan melalui media massa asal Papua. “Bukan hanya konten saja yang diblokir, namun website pun kena blokir,” ungkapnya, Rabu (10/7).
Jeenno mengaku AMP sendiri telah terkena pemblokiran situs web sebanyak dua kali. Pemblokiran pertama tahun 2017 dan pemblokiran kedua tahun 2020. Pihaknya sudah melakukan upaya pengaduan kepada Kominfo, tetapi tidak ada hasil. “Padahal website itu menjadi media propaganda, menyuarakan apa yang kita suarakan,” pungkasnya.
Reporter: HUC, RIN
Editor: Nabilah Saffanah