Ilustrasi. (Sumber: beritariau.com) |
Read Time:3 Minute, 17 Second
Oleh: Tommy Soetrisno*
Radikalisme yang mengatasnamakan agama hingga saat ini terus mengalami peningkatan, dengan cara yang semakin maju dan pola yang sangat sistematis. Hingga masuk ke dalam sistem kepemerintahan yang secara tidak langsung dapat menciptakan peluang-peluang untuk memperluas paham tersebut dengan cepat.
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme. Radikalisme dalam studi ilmu sosial diartikan sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya. Radikal dan radikalisme adalah sebenarnya konsep yang netral dan tidak bersifat melecehkan.
Pakar tafsir dari IAIN Walisongo, Semarang, Dr. Arja’ Imrani mengungkapkan, secara teori munculnya kekerasan yang berkedok agama lebih disebabkan oleh adanya otoritarianisme terhadap teks, ada beberapa teks atau nash Al-Qur’an misalnya, yang seolah memerintahkan kekerasan. Teks semacam itu sangat tergantung dengan pembacanya. Apabila dibaca dengan semangat kekerasan, maka teks itu pun bisa menjadi legitimasi aksi kekerasan. Begitu pula sebaliknya. Oleh karenanya kita harus berhati-hati dalam membaca teks-teks hukum, terutama yang terkait dengan kekerasan. Dibutuhkan pengetahuan tentang sejarah, asbab nuzul, serta kaedah-kaedah pembacaan teks yang baik. Sehingga bunyi teks itu tidak keluar dari konteksnya.
Sedangkan dalam sejarah timbulnya paham radikalisme di antaranya; Pertama, warisan sejarah umat Islam yang konfliktual dengan rezim, karena ada modus-modus penindasan politik Islam yang terjadi pada beberapa fragmen sejarah. Kedua, fenomena ekonomi dan politik. Selain adanya penindasan politik, argumen dengan argumen ini, radikalisme muncul karena ekses kapitalisme yang menciptakan mereka yang tak memiliki akses pada sumber-sumber modal. Dalam bahasa ekonomi-politik, pendekatan ini dikenal dengan “pendekatan kelas”. Artinya, respons radikalisme pada dasarnya adalah respon kelas untuk melawan hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara.
Lalu bagaimana radikalisme keagamaan berkembang di Indonesia hingga menimbulkan teror-teror yang mengerikan bagi kehidupan warganya. Beberapa kasus besar yang sudah terjadi dari Bom Bali 1 dan 2, JW Marriot, aksi bunuh diri dan sampai pengiriman kader-kader Mujahid ke Timur Tengah guna berperang dan belajar tentang bagaimana pola perekrutan sampai membuat bom. Hal-hal tersebut merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh beberapa kelompok radikalisme.
Menurut van Bruinesen (2002), kelahiran paham radikalisme dapat dilacak pada munculnya Darul Islam di beberapa kota dan partai politik Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kerap membangun jaringan transnasional dengan beberapa gerakan di Timur Tengah. Gerakan yang dimaksud beragam, misalnya Wahabi di Arab Saudi, Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Hizbut-Tahrir dari Yordania. Darul Islam membangun fragmen kelompoknya dengan kekuatan militer. Beberapa pemberontakan lahir di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), Jawa Barat (Kartosuwiryo), dan Aceh (Daud Beureueh). Dengan kekuatan ini, Darul Islam melancarkan pemberontakan kepada Pemerintah Republik Indonesia secara terbuka, kendati kemudian dapat diberangus oleh rezim politik ketika itu. Adapun Masyumi membawa gagasan Islam dalam kerangka kenegaraan di parlemen dan berhasil menempati posisi kedua di Pemilu 1955.
Dari sejarah singkat tersebut, Indonesia mengalami sejarah yang sangat pelik hingga saat ini masih terus berjalan dengan banyak kedok, modus, pola, dan lain-lain. Sampai terjadinya kasus-kasus besar seperti di atas sudah diungkapkan. Indonesia bukan lagi negara yang sedang mencari jati dirinya, namun Indonesia merupakan negara berideologikan pancasila, bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika, dan berlandaskan UUD 1945, serta bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk membendung paham-paham radikal agar tidak berkembang dengan pesat di Indonesia. Beberapa solusi yang saya coba kemukakan agar paham tersebut tidak berkembang luas di Indonesia; Pertama, perlu ada upaya penggalangan aksi untuk menolak sikap kekerasan dan terorisme. Aksi ini melibatkan seluruh kelompok-kelompok dalam agama-agama yang tidak menghendaki hal demikian. Terorisme dan kekerasan adalah bentuk pelecehan atas nama agama dan kemanusiaan. Kedua,menumbuhkan karakter keberagamaan yang moderat. Memahami dinamika kehidupan ini secara terbuka dengan menerima pluralitas pemikiran “yang lain”, yang ada di luar kelompoknya. Ketiga, memperkuat gagasan ideologi bangsa Indonesia yang lebih kuat.
*Penulis adalah Pegiat Lembaga Kajian Informasi Terpadu Nusantara (KITA) Institute
Average Rating