Laksanakan Reforma Agraria Sejati

Read Time:6 Minute, 22 Second
(Sumber : Internet)
Oleh : M. Nur Azami*
Semarak Idul Adha masih terasa. Di pekarangan rumah atau di tanah lapang, aktivitas nyate daging kurban merupakan seremoni wajib ketika Idul Adha berlangsung. Tak hanya itu, media massa juga ramai-ramai menyiarkan kegiatan semarak “Hari Daging Nasional” ini. Dimulai dari shalat Ied-nya, sampai liputan mengenai banyaknya perlombaan orang-orang kaya yang menyumbang kurban paling banyak. Namun dibalik itu, ada hal yang luput dari perhatian masyarakat. Yaitu Hari Daging Nasional yang juga bertepatan dengan Hari Tani Nasional. Sayang sekali rasanya, jika semarak hari tani ini dilewatkan.

Pada tanggal 21 September kemarin, ramai-ramai turun ke jalan sebagai wujud dari ibadah sosial mereka. Memang sesuai dengan kesepakatan para petani di Indonesia, perayaan hari tani dimajukan agar tidak mengganggu ke-khusyuan hari daging nasional yang sama-sama jatuh pada tanggal 24 September. Dapat dibayangkan bukan jika para petani merayakannya di hari daging nasional? Pastilah distribusi pangan masyarakat Indonesia akan terganggu. Sungguh alangkah mulianya para petani ini, yang masih perduli terhadap stok pangan nasional pada hari daging agar tidak terganggu. Maka patutlah kita beri apresiasi yang riuh untuk mereka para pahlawan pangan bangsa (petani).

Tak pernah muluk-muluk memang pesan yang disampaikan di hari tani nasional dari tahun ke tahunnya, laksanakan reforma agraria sejati, hanya itu saja. Justru yang muluk-muluk bagi saya adalah pemerintah. Mereka selalu meminta kepada para petani untuk mencapai kedaulatan pangan. Mbok ya otaknya itu ditaruh dimana coba, minta kedaulatan pangan tapi lahan-lahan agraria di konversi jadi pabrik, kebun sawit, apartemen dan pembangkit listrik. Ketika para petani menolak lahan mereka di konversi, bapak-bapak berseragam loreng datang kesana dan mengokang senjatanya memaksa petani untuk memberikan sukarela lahan mereka atas nama “Demi kepentingan negara dan bangsa”.

Berdasarkan data yang terekam oleh Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam 2014 sedikitnya terjadi 472 konflik dengan luas mencapai 2.860.977 hektar. Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sekitar 1.215 (45,55%). Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga. konflik agraria di tahun 2013 jumlah korban jiwa akibat konflik agraria mencapai 21 orang. Kasus ini menyebabkan 30 orang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Gimana mau kedaulatan pangan kalau bapak petaninya aja ditindas dan diusir dari lahannya.

Ironis memang, ibarat ayam mati di lumbung padi, begitulah gambaran nasib petani di Indonesia. Mari kita lihat seberapa banyak petani di Indonesia hingga hari ini. Menurut data yang dilansir oleh Kompas (21/09/2015), telah terjadi penurunan drastis jumlah rumah tangga petani (RTP) di Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun. Pada tahun 2003 tercatat kurang lebih 31 juta RTP, namun saat ini menurun menjadi 26,5 juta. Kalau dilihat dari rasionya 4,5 juta RTP hilang dari Indonesia dalam 12 tahun terakhir, dan dengan melihat program percepatan pembangunan Indonesia hingga 5 tahun ke depannya, potensi hilangnya RTP di Indonesia masih akan terjadi.

Inilah mengapa reforma agraria selalu digaung-gaungkan oleh para petani, hal dasar penguasaan alat produksi agraria masih belum sepenuhnya petani memiliki kedaulatan atas alat produksi itu. Mulai dari lahan yang dipaksakan untuk dikonversi, privatisasi lahan oleh korporasi rakus, hingga produk kebijakan negara yang tidak pro terhadap reforma agraria, malah lebih condong kepada agen-agen kapital. Sebenarnya reforma agraria di Indonesia sudah tertuang dalam UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960 yang meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

Liberalisasi Agraria vis a vis Reforma Agraria

UUD 1945 menyatakan, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sudah sangat jelas tertera hal yang sangat fundamental mengenai penguasaan alat produksi untuk kesejahteraan rakyat dinyatakan dalam UUD 1945.

Akan tetapi pada perkembangannya, lahir produk kebijakan agraria yang bertolak belakang dengan UUD 1945. Seperti, UU Nomor 41 tahun 1999 dan UU nomor 19 tahun 2004 tentang kehutanan, UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), UU Holtikultura, UU Lahan Abadi Pertanian, UU Migas, serta berbagai perundangan lainnya. Produk tersebut mengarah kepada liberalisasi dan membuka praktik-praktik monopoli sumber agraria.

Cikal-bakal penggembosan reforma agrarian di Indonesia memang sudah terlihat semenjak era orde baru hingga periode SBY dan tentunya diteruskan juga oleh pak Joko di masa sekarang. Jadi, memang pasca turun takhtanya Soekarno, dimulailah pengkerdilan-pengkerdilan reforma agrarian di masa Soeharto. Salah satunya, pada tahun 1970 pengadilan reforma agrarian (land reform) dihapuskan yang kemudian dilarikan kepada peradilan umum. Sudah barang tentu, peradilan umum tidak bisa menyelesaikannya. Karena hakim harus berhadapan dengan korporasi besar era Soeharto (yang dibekingi Soeharto dan krooni-kroninya). Sirnalah sudah keadilan bagi konsepsi agrari di Indonesia.

Coba kita tengok ketika periode pemerintahan SBY dalam kebijakan agrarianya, lahir UU Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Ya namanya aja buat kepentingan umum, padahal sejatinya untuk memberikan kemudahaan bagi perusahaan-perusahaan besar untuk dapat melakukan perampasan tanah (land Grabbing) yang bermuara pada monopoli tanah oleh perusahaan-perusahaan besar dengan mengatasnamakan kepentingan umum. 

Oh iya, ada juga nasib tanah Papua yang menjadi korban liberalisasi agraria. Pak Joko akan menjadikan Papua sebagai solusi menggapai kedaulatan pangan, disana sedang berjalan proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di distrik Merauke, Papua. Proyek MIFEE yang dimulai pada 2010 dengan luas lahan yang dialokasikan 2,5 juta hektar dari luas total Kabupaten Merauke sekitar 4 juta hektar merupakan bagian dari upaya ambisi pemerintah menjadikan Merauke sebagai Lumbung Pangan Nasional. Praktik liberalisasi agraria sangat terlihat disini, dengan MEDCO sebagai korporasi yang akan menggarap proyek ini. Gila kan, sekarang sawah digarapnya sama perusahaan, bukan sama petani. Kalaupun petani, ya sistem yang berjalan adalah sistem perusahaan, akan ada petani outsourcing nantinya.

Mega proyek MIFEE di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua telah membuat kelangsungan hidup masyarakat adat terancam, setelah hutan yang menjadi tempat mereka mencari makan dikonversi  dengan cara tidak adil menjadi lahan perkebunan. Belum lagi tanah Papua yang memang tidak cocok untuk ditanami padi disana. Ga usah dipaksakan kerabat-kerabat kita di Papua buat makan nasi, wong tradisi dari nenek moyang disana itu makannya sagu. Ya biarlah local wisdom disana berjalan sebagaimana mestinya, lagipula lahan tersebut kan tanah ulayat adat. Salah sendiri lahan-lahan subur di pulau Jawa dikonversi habis untuk keperluan industry dan property. Sepertinya bumi pertiwi tercinta ini memang sudah diproyeksikan menjadi Negara industri kapitalis, yang pada dasarnya tak percaya lagi pada semboyan gemah ripah loh jinawe.

Maka memang tuntutan para petani dan pejuang agraria di Indonesia itu sederhana dan abadi, laksanakan reforma agrarian sejati di Indonesia. Stop segala jenis perampasan lahan agraria yang menjadikan petani tak memiliki lahan. Stop Militerisme di konflik agraria, Tarik bapak seragam loreng dari wilayah agararia, suruh mereka kembali ke barak lagi. Negara harus hadir untuk menyejahterakan petani dan rakyatnya, jangan main-main sama petani pak Joko, kualat pak ga bias makan rakyat Indonesia baru tau rasa loh. 

Meskipun sudah lewat momentumnya, untuk kembali menyemarakan Hari Tani Nasional saya beserta segenap keluarga mengucapkan “Selamat Hari Tani Nasional, Laksanakan Reforma Agraria Sejati di Indonesia” Allahu Akbar, Allahu Akbar, Rakyat Pasti Menang!!!

*Penulis adalah mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Tragedi Jemaah Haji dari Tahun ke Tahun
Next post ‘Tambal Sulam’ Sistem KKN