Sumber: Internet |
Read Time:4 Minute, 8 Second
Oleh Muawwan Daelami*
Lepasnya Kosovo dari Serbia, bisa dibaca sebagai bagian dari skenario politik Amerika. Konflik horizontal sengaja dibentuk dan diperkeruh guna memuluskan misi negeri Paman Sam itu. Atas nama kemanusiaan, Amerika kemudian melakukan invasi terhadap Serbia. Layaknya film-film superhero Hollywood, sosok jagoa representasi Amerika lalu muncul dan digambarkan bak juru penyelamat atas kekacauan di bumi.
Di balik lepasnya Kosovo itu, Amerika diduga kuat menjadi dalang utama. Tapi hebatnya, ia justru di- citrakan sebagai negara penyelamat atas nama kemanusiaan. Kemanusiaan memang menjadi legitimasi (responsibility to protect) Amerika untuk mengintervensi kedaulatan sebuah negara.
Skenario yang sama, rupanya juga tengah diterapkan Amerika di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana Amerika, Inggris, Australia, Belanda dan negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang lain memainkan politik adu domba untuk memperuncing konflik Papua.
Gerakan-gerakan separatis yang terjadi di Bumi Cenderawasih itu dipolarisasi sebagai konflik antara sipil bersenjata dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penembakan dan penangkapan terhadap elit-elit Organisasi Papua Merdeka (OPM) dinilai sebagai bagian dari tindakan represif pemerintah.
Tak pelak, isu-isu kemanusiaan yang terjadi di Papua hari ini pun kemudian dimanfaatkan Amerika untuk memecah belah bangsa Indonesia. Seperti yang dulu pernah me- reka lakukan terhadap Serbia.
Upaya-upaya menginternasio- nalisasikan isu kemerdekaan Papua memang terus-menerus mengemuka. Benny Wenda, sayap politik dari gerakan West Papua Revolutionary Army atau Koteka Revolution 2012 silam mendekat ke Amerika untuk meminta dukungan.
Tentu maksud utama Wenda tak lain untuk mengampanyekan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Papua. Sehingga isu self determination bagi Papua pun kembali menjadi isu menarik di mata internasional.
Sebanyak 1500 Non Government Organization (NGO) asal Amerika Latin sudah memberi dukungan perihal kemerdekaan Papua ini. Termasuk dukungan yang muncul dari negara anggota Melanesian Spearheard Group (MSG). Ras Papua yang dianggap sebagai bagian dari ras melanosoid menjadi dagangan politik negara-negara MSG dalam suksesi pemisahan Papua dari Indonesia ini.
Tak hanya Papua, wilayah lain seperti Maluku, Aceh, dan Bali, juga mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia apabila Papua benar-benar lepas dari pelukan nusantara. Karena itu, Papua adalah harga mati bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tentu, kita tak ingin nasib Papua, Aceh, Maluku, dan lainnya bera- khir seperti nasib Timor Timur pada 4 September 1999 silam. Bagaimana Amerika dan Australia memainkan peran penting dalam proses jajak pendapat; pro-kemerdekaan atau pro-integrasi kala itu.
Jajak pendapat yang menurut Kafil Yamin wartawan yang meliput langsung kejadian itu dipenuhi dengan tindak manipulatif dan dekstruktif yang dilakukan oleh UNAMET (United Nations Mission in East Timor) sebagai pihak penyelenggara. Karena masyarakat Timor-Timur saat itu, cenderung dipaksa untuk memilih opsi pro-kemerdekaan dibanding memilih pro-integrasi bersama Indonesia.
Pendekatan-pendekatan persuasif memang perlu dan harus terus dilakukan pemerintah Indonesia jika ingin Papua tak berakhir seperti Timor-Timur dan Kosovo. Opini-opini yang berkembang di dunia internasional perihal Papua saat ini, juga perlu direspons pemerintah Indonesia dengan membuat kontra opini yang positif.
Tentu bukan dalam artian pen- citraan belaka, tapi bagaimana pemerintah Indonesia bisa sepenuhnya merealisasikan amanat undang-undang untuk bersama-sama memba- ngun Papua. Dan bukan sebaliknya, Indonesia malah menjadi neo-kolonial di tanah Papua.
Permasalahan Papua sebenarnya bukan semata didasari atas ketimpangan ekonomi, pendidikan, krisis sosial dan politik yang terjadi di sana. Lebih dari itu, permasalahan ini di- baca sebagai narasi dari grand design Amerika, Australia dan sekutunya untuk menguasai tanah Papua.
Saya kira, bila pemerintah me nganggap Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia, sudah saatnya Jakarta tak berjarak dengan Papua. Meski tekanan dan upaya provokatif datang silih berganti, Indonesia dan Papua harus kembali memegang teguh nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Bukan sebaliknya, pemeritah malah membiarkan Papua masuk ke dalam lingkaran neo kolonialisme dan liberalisme Amerika beserta sekutunya.
Di Indonesia, Amerika memang belum melancarkan misinya melalui invasi militer, seperti yang mereka lakukan di Iraq dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Hingga saat ini, Amerika masih menjalankan skenarionya di Indonesia dengan lebih taktis, diplomatis, dan bersifat tertutup melalui operasi-operasi intelijen.
Jauh sebelum itu, sejak 2000-an, US House of Representatives, Ameika nyatanya sudah mengagendakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Foreign Relation Authorization Act (FRAA). Undang-undang ini secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.
Bila undang-undang ini lolos dan disahkan, Amerika akan menggunakannya sebagai landasan pembenaran sekaligus jalan masuk ke Indonesia untuk turut mengintervensi kedaulatan Papua. Indonesia sangat perlu mencermati kerangka-kerangka disintegrasi seperti ini.
Selain itu, Indonesia juga perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap segala bentuk langkah politik Amerika. Termasuk memerhatikan betul hal ihwal kerjasama yang menjadi kepanjangan tangan Amerika di Indonesia. freeport, utamanya.
Dipandang saya perlu, bagaimana pemerintah sekarang bisa merefleksi langkah-langkah politik Soekarno saat merebut kembali Irian Barat dari imperialis Belanda. Mengembalikan Irian Barat ke pelukan Indonesia tentu bukanlah perjuangan mudah. Soekarno, bahkan saat itu berani memilih jalur konfrontasi dibanding harus tunduk pada Belanda—sekutu Amerika. Lalu, bagaimana dengan pemerintah sekarang?
*Penulis adalah Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta
Average Rating