Read Time:3 Minute, 37 Second
Hampir setiap hari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menghasilkan limbah MCK dan B3. Transparansi pembuangannya dipertanyakan.
Jumat sore, sekitar pukul 17.00 WIB, Rashumi mengajak Institut untuk menyusuri Situ Kuru. Sembari berjalan, pria yang juga tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Situ Kuru ini bercerita, tempat ini menjadi objek pembuangan limbah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sesaat kemudian, langkahnya terhenti. Tangannya menunjuk dua gorong-gorong yang berisi aliran air di sudut Situ Kuru. Gorong-gorong itu merupakan tempat pembuangan limbah dari UIN Jakarta.
Babeh—sapaan akrabnya—kemudian mengajak Institut menuju lokasi di samping Wisma Kohati, Semanggi. Lagi-lagi, telunjuknya tertuju pada gorong-gorong yang ada di sekitar tempat tersebut. “Itu juga pembuangan UIN Jakarta. Dengan demikian, totalnya ada tiga titik pembuangan,” jelasnya, Jumat (17/3).
Selain UIN Jakarta, Situ Kuru memang menjadi tempat pembuangan akhir Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK) warga sekitar. Babeh sendiri tak heran jika permukaan air di sana berwarna hitam pekat akibat menampung aliran limbah. Karenanya, semua pihak seharusnya bertanggung jawab atas kebersihan Situ Kuru.
Sehari berselang, Sabtu (18/03) Institut mendatangi ketua Rukun Tetangga (RT) 03 Daryadi. Ia membenarkan pernyataan Babeh terkait saluran air yang berasal dari UIN Jakarta. Bahkan, ia mengklarifikasi bahwa jumlah saluran pengaliran limbah UIN Jakarta tak hanya tiga, tetapi lima titik. “Salah satu dari dua titik lainnya berasal dari Kelurahan Pisangan,” jelasnya, Sabtu (18/3).
Terkait pembuangan limbah, hal ini dibenarkan oleh salah satu anggota Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Insani Ibnu Batutta (KMPLHK Ranita) Solehuddin. Nabe—panggilan akrabnya— menganggap bahwa limbah UIN Jakarta tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, limbah UIN tak hanya berasal dari MCK. “Masih ada limbah yang berasal dari praktikum laboratorium. Limbah ini kan termasuk Bahan Berbahaya Beracun (B3),” ujarnya, Kamis (16/03).
Namun, hal ini dibantah oleh Kepala Sub Bagian Rumah Tangga UIN Jakarta Abdul Halim. Menurutnya, UIN Jakarta tak membuang limbah ke Situ Kuru. Lebih lanjut Halim menjelaskan, pihak UIN Jakarta telah menyediakan tempat khusus untuk mengolah sisa hasil praktikum. “Sama sekali tidak ada, kami punya dua tempat. Satu ada di belakang Fakultas Sains dan Teknologi (FST), sedangkan satunya lagi berada di Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK),” jelasnya.
Terkait limbah hasil praktikum, Ketua Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) FST Aini Hidayah turut angkat bicara. Ia mengaku, hampir setiap harinya PLT menghasilkan limbah sisa praktikum. Biasanya limbah yang dihasilkan berbentuk cair. Namun ia menegaskan, sebelum dibuang, limbah yang dihasilkan PLT diolah terlebih dulu di Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang ada di belakang PLT.
Aini sendiri mengaku, pengolahan limbah sendiri dibagi ke tiga tahap. Awalnya, limbah harus melalui proses pemurnian. Kemudian, limbah harus dinetralkan. Selanjutnya, limbah harus dipisahkan dari zat-zat berbahaya. Setelah melewati tiga tahap, limbah baru boleh dialirkan ke saluran pembuangan. “Tetapi, saya sendiri tak tahu menahu ke mana saluran itu mengalir,” ungkapnya, Rabu (22/3).
Selain PLT, UIN Jakarta juga memiliki laboratorium Pendidikan Kimia di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Iwan Setiawan selaku pengelola laboratorium menjelaskan, hampir setiap hari laboratorium ini menghasilkan limbah cair. Bersama asistennya, ia selalu menekankan kepada mahasiswa untuk melakukan pengenceran pada zat kimia berbahaya sebelum dibuang. Ini bertujuan agar kandungan zat berbahaya dalam limbah bisa berkurang. Namun sama halnya dengan Aini, Iwan tak mengetahui ke mana saluran bekas sisa praktikum mengalir.
Untuk saat ini, Iwan mengaku Laboratorium Pendidikan Kimia belum memiliki tempat khusus pengelolaan limbah. Namun, pihaknya tak menampik, Laboratorium Pendidikan Kimia membutuhkan tempat untuk pengelolaan limbah. Sebab, ini bertujuan agar segala aktivitas di laboratorium bersifat ramah lingkungan. “Setidaknya disediakan drum khusus penampung limbah agar bisa menampung zat kimia berbahaya, yang kemudian diolah di IPAL dalam UIN atau luar UIN” ujarnya Kamis, (23/3).
Tak Ada Kontribusi
Meski warganya ikut terlibat dalam pencemaran Situ Kuru, Daryadi mengaku masyarakat sekitar masih peduli dengan kebersihan lingkungan Situ Kuru. Hampir tiap bulan, mereka mengumpulkan uang demi membayar petugas kebersihan. “Jika dikumpulkan, besaran biayanya mencapai Rp1,5 juta per bulan,” katanya.
Namun, Daryadi kecewa karena UIN Jakarta kurang berkontribusi terhadap kebersihan Situ Kuru. Daryadi mengungkapkan, ia dan ketua satgas sempat mengirimkan proposal pengajuan dana untuk kegiatan kebersihan. Namun mereka tak mendapat respons dari UIN Jakarta. “Padahal UIN Jakarta juga menyumbang limbah ke sana,” terangnya.
Senada dengan Daryadi, Nabe juga mengaku bahwa UIN Jakarta masih belum peduli dengan kebersihan Situ Kuru. Seharusnya, pihak kampus harus lebih memperhatikan pengelolaan dan pembuangan limbahnya. “Jangan asal buang,” cetusnya.
Jannah Arijah
Average Rating