Read Time:3 Minute, 39 Second
Oleh Erika Hidayanti*
Puluhan perempuan bertopi caping tampak letih di tengah siang Jakarta yang panas. Kebaya-kebaya dan kain yang mereka kenakan pun sudah penuh peluh. Namun, mereka tetap di situ, duduk dengan kaki dipasung semen. Semangat mempertahakan kelestarian alam pun dituliskan pada kotak kayu pasung semen mereka, “Kendeng Lestari”.
Media massa menjuluki mereka ‘Kartini Kendeng’ karena rela menyemen kaki demi melawan hadirnya bermacam pabrik semen. Konflik agraria berkepanjangan masih terjadi di Pegunungan Kendeng. Setelah satu tahun lalu, aksi yang sama digelar dan membuahkan keputusan ditutupnya sementara aktivitas PT. Semen Indonesia, hingga kini perubahan belum terjadi.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo nyatanya malah memberikan izin baru untuk aktivitas penambangan di Pegunungan Kendeng. Pabrik semen pun terus beroperasi mengancam kelestarian alam. Kini, di depan Istana Negara 50 Kartini Kendeng kembali memasung kakinya. Namun sayangnya, harapan mereka untuk mendapatkan solusi dari presiden belum juga terlihat. Presiden tampak belum tegas mengatasi masalah ini dan mengembalikannya pada gubernur.
Pegunungan Kendeng memiliki ratusan mata air yang menghidupi ribuan warga. Mayoritas warga di sana adalah petani yang menggantungkan hidupnya pada alam. Wilayah subur itu bahkan bisa terus hidup mandiri sampai ratusan tahun lagi bahkan ribuan jika tak ada campur tangan manusia yang merusaknya.
Dikutip dari Mongabay.com perusakan ekosistem di Kendeng memicu risiko bencana ekologis banjir dan kekeringan bagi kawasan tersebut. Terdapat 33 mata air di wilayah Grobogan, 79 mata air di wilayah Sukolilo Pati dengan debit relatif konstan. Dan menjadi sumber air bagi 8000 kepala keluarga dan lebih dari 4000 hektar sawah di Sukolilo. Itu baru sebagian saja, bagaimana jadinya jika seluruh pegunungan karst itu dieksploitasi?
Selain itu penelitian ASC Yoyakarta menyebutkan, kawasan karst juga berfungsi terhadap penyerapan karbon di udara sebagai penyebab pemanasan global. Berdasarkan penelitian dari Yuan Duaxian (2006) kawasan karst di dunia mampu menyerap karbon 6,08×108 ton/annual. Sehingga penambangan batu gamping di kawasan karst beresiko meningkatkan emisi karbon di kawasan itu dan sekitarnya.
Incaran tambang-tambang raksasa di kawasan karst Pegunungan Kendeng sangat masif. JMMPK mencatat, di Pati seluas 2025 hektar akan di tambang PT Sahabat Mulia Sakti (SMS, di Blora 2150 hektar PT Blora Alam Raya, di Grobogan 2507 hektar ditambang lempung 743 hektar oleh PT Vanda Virma Lestri dan PT Semen Grobogan 200 hektar di daerah Tanggungharjo. Selain itu seluas 900 hektar di Kabupaten Rembang oleh PT Semen Indonesia.
Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi beberapa tahun setelahnya. Usaha tambang mungkin secara singkat bisa memperkaya beberapa pihak. Tapi kekayaan harta mereka tak akan pernah sebanding dengan kerusakan alam dan kerugian beribu-ribu warga lainnya.
Darurat Lingkungan
Kendeng, hanya segelintir cerita miris serakahnya manusia atas alam ini. Di luar itu, kejahatan korporasi terus menerus terjadi. Beragam macam perusahaan besar melakukan ekspansi untuk menyedot kekayaan alam secara membabi buta. Biadabnya lagi, sebagian dari mereka hanya akan meninggalkan jejak kerusakan setelah mengeruk habis sumber daya alam yang ada.
Pertambangan mulai dari batu bara, minyak, pasir, hingga semen terus menggerogoti berbagai pegunungan di Indonesia. Tak heran, setap tahunnya kita akan terus mendegar berita seputar longsor, banjir, hingga kebakaran hutan besar-besaran. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai dengan November 2016 terdapat 2.171 jumlah kejadian bencana. Sebanyak 69% nya merupakan bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, serta longsor.
Belum lagi konflik dan kriminalisasi warga yang harus terusir dari tempat tinggalnya demi berjalannya kegiatan beragam korporasi. Ombudsman Republik Indonesia (RI) mencatat ada 450 konflik terkait lahan seluas 1.265.027 hektar pada 2016. Perkebunan menduduki peringkat tertinggi, dengan 163 konflik atau 601.680 hektar, terbanyak di perkebunan sawit. Urutan kedua sektor kehutanan seluas 450.215 hektar, properti 104.379 hektar, migas 43.882 hektar, dan infrastruktur 35.824 hektar. Lalu pertambangan 27.393 hektar, pesisir 1.706 hektar, terakhir pertanian lima hektar.
Saya rasa, jika hal ini terus berjalan sampai bertahun-tahun ke depan tentunya negara yang terkenal kaya akan sumber daya alam ini akan kolaps. Alam tak akan lagi mau menaungi mereka yang telah dengan keji merusak dan merampas kehidupannya. Ancaman ini nyata dan harus segera dihentikan.
Beragam aksi cinta lingkungan telah disuarakan oleh berbagai pihak. Tapi itu semua hanya akan sia-sia jika pemangku kebijakan sendiri belum sadar tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mulailah mencintai lingkungan dari hal-hal kecil dan diri sendiri, Berdoa dan bantulah masyarakat yang sedang menyuarakan kebenaran melestarikan alam. Karena sesungguhnya bumi ini hanya dititipkan bukan diwariskan.
*Mahasiswi Kesehatan Masyarakat, FKIK, UIN Jakarta dan pecinta lingkungan
Average Rating