Read Time:3 Minute, 12 Second
Penuh makna dan cerita, membatik perlu dilestarikan di kalangan muda Indonesia. Tak hanya menyimpan estetika bentuk dan warna, batik juga memiliki filosofis mengenai sejarah Indonesia
Lampu audit Galeri Indonesia Kaya (GIK) perlahan meredup sesaat sebelum pertunjukan dimulai. Masuknya empat penari dengan kostum serba putih beriringan ke atas panggung menjadi pembukaan pementasan. Musik khas suara Gamelan langsung menyambut penari yang langsung membentuk formasi awal. Berbaris tanpa alas kaki, keempat penari bersiap memulai penampilan. Perpaduan antara tata cahaya, suara dan video mapping membuat pengunjung bertepuk tangan riuh rendah.
Tata panggung yang begitu sederhana, menyuruk ke bawah dengan posisi lebih rendah dari tempat duduk penonton. Tak banyak peralatan dekorasi yang dipakai selama pementasan, hanya satu dua lembar kain putih sebagai latar penayangan video mapping. Kain putih berukuran 5×2 meter tersebut digantung sebagai latar panggung yang menjulur hingga ke lantai.
Berbagai gerakan tarian dimainkan. Berdiri, berbaring, sembari saling mengitari sesama penari secara beraturan. Gerak tangan, tubuh, kepala hingga kaki pun secara bersamaan dilakukan untuk menciptakan tarian yang seketika disambut antusias penonton dengan tepuk tangan. Dalam pementasan, tak hanya gerak tubuh dan formasi penari, gerak mata turutjuga dimainkan demi menciptakan karya pementasan yang maksimal.
Musik mengiringi penari selama pementasan. Kombinasi musik modern dengan gamelan Jawa menghasilkan suara yang merdu. Penonton dibawa untuk menikmati perpaduan musik tersebut. Tiba-tiba terdengar suara dua benda yang saling beradu. Sebelum wajah keheranan penonton bermunculan demi mendengar suara tersebut, seketika penampilan tarian terhenti sesaat dengan kemunculan Muhammad Fabian Arrizqi sebagai penata musik. Laki-laki yang mengenakan pakaian casual ini menjelaskan jika suara benda yang beradu tersebut berasal dari guratan canting pada kain.
Tak lama setelah penyampaian dari Muhammad Fabian Arrizqi, cahaya panggung pun kembali meredup. Cahaya kembali menerangi di tengah pementasan ketika ketiga penari muncul ke tengah panggung. Masing-masing penari menaiki tangga yang ada di pinggir di sisi kiri, kanan dan tengah dari kursi penonton. Sembari menyusuri tangga, kedua penari menghilang di sisi kiri dan kanan tangga. Satu penari yang berada di tengah tetap tinggal dan terus melakukan tarian dengan mengangkat tangan, duduk melipat kaki di tengah panggung pementasan.
Begitu pun dengan tiga penari yang meninggalkan panggung dengan sigap langsung menuju bagian tiap tangga untuk mengambil kain batik putih yang telah disediakan. Tidak membutuhkan waktu lama ketiga penari tersebut berhasil melilitkan kain di pinggang, dengan iringan musik modren dan alunan gamelan ketiga penari tersebut kembali keatas panggung dengan formasi bersila menghadap kepenonton yang ada.
Kisah pertunjukan pat(h)tern ini terinspirasi dari sebuah dongeng permaisuri yang hidup di suatu kerajaan di Yogyakarta. Permaisuri tersebut teramat sabar meski seringkali disakiti terus menerus oleh suaminya. Demi mencurahkan kesedihannya sang permasuri melampiaskannya dengan menggambar dan membatik di kain
Pementasan seni yang diadakan Sabtu, (18/03) tak kurang diisi lima puluh orang di dalam Auditorium GIK. Begitupun dengan isi acara tersebut adalah cerita mengenai proses yang dilakukan selama melakukan batik tulis. Tak mudah menjaga dan melestarikan warisan budaya Indonesia ini. Berbagai tahapan membatik seperti mencairkan malam (lilin batik), menggunakan canting, menjemur kait batik, hingga pencelupan warna harus dilakukan secara rapih agar menghasilkan guratan indah.
Sekar Sari, salah seorang sosok tokoh tari batik tersebut mengaku turut senang karena dapat mengekspresikan semua kegiatan yang berhubungan batik dengan tarian unik. Menurut perempuan berdarah Jawa, membatik merupakan warisan leluhur yang perlu dijaga. Bukan hanya secara fisik yang memang secara estetika begitu sedap dipandang, namun juga batik memiliki makna terdalam di awal kehadirannya. “Membatik adalah cara untuk meluapkan emosi dari dalam diri,” ungkapnya setelah acara, Sabtu (18/3).
Sekar menambahkan jika dalam menciptakan pertunjukan tari dengan ide dari batik ini memerlukan penelitian. Tidak mudah memadukan tari, suara dan video mapping hingga menjadi sebuah penampilan yang menginspirasi untuk lebih memerhatikan kain batik tulis khas Indonesia. “Penelitian yang tidak sebentar,” ungkapnya diiringi riuh tepuk tangan penonton saat menyampaikan sambutan sehabis pementasan.
Lia Esdwi Yani Syam Arif
Average Rating