Tak puas hanya belajar di kelas dan menjadi penerjemah di radio, pria kelahiran 1 Juni 1957 ini menceritakan bahwa dirinya banyak menghabiskan waktu luang dengan belajar dari hal-hal yang kecil. Baginya belajar tak harus melulu dari buku, semisalnya ia dapat belajar menerjemahkan bungkus makanan, komposisi obat ataupun koran yang menggunakan Bahasa Arab. Hal tersebut dilakukan Wadud karena menurutnya menjadi seorang penerjemah harus banyak paham istilah ekonomi, diplomatik, hukum, ataupun kedokteran.
Read Time:2 Minute, 36 Second
Euforia kedatangan Raja Salman dari Saudi Arabia masih terasa. Begitu pula yang dirasakan Wadud sebagai salah satu penerjemah kepresidenan.
Keseriusan menekuni bidang penerjemahan telah dilakukan Abdul Wadud Kasyful Anwar semenjak ia menjadi mahasiswa Jurusan Tarjamah Arab-Inggris di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Awal karirnya di dunia terjamah dimulai dengan menjadi penerjemah dan penyiar radio di salah satu radio Mesir yang disiarkan di Indonesia. Laki–laki yang kerap disapa Wadud ini mulai menerapkan ilmu penerjemahan yang ia dapat di kelas.
Usaha pria kelahiran Jakarta ini mendalami penerjemahan berbuah manis. Berbekal ilmu yang ia dapatkan di bangku kuliah dan pengalaman penerjemah di stasuin radio, Wadud diterima menjadi salah satu staf penerjemah di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Mesir pada 1990 sampai 1994. ”Saya pernah menjadi penerjemah beberapa pimpinan negara seperti Afrika Selatan, Mesir, Aljazair, Arab Saudi, dan Qatar,” papar Wadud, Kamis(16/3).
Seusai menyelesaikan studi di Mesir, Wadud kembali ke tanah air dan bekerja di salah satu media massa di Indonesia. Berkat kemampuan yang tak diragukan lagi, pada 1995 Dosen Jurusan Tarjamah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayattulah Jakarta ini diminta menjadi penerjemah kepresidenan pertama kali untuk acara penyambutan Putra Mahkota Kuwait.
Setelah sukses sebagai penerjemah tamu kehormatan negara, Wadud diangkat menjadi staf kepresidenan. Namun, hal tersebut membuat suami dari Ummu Hanah ini resah. Pasalnya, ia harus rela meninggalkan profesinya di media massa yang sudah ia geluti sejak lulus kuliah.
Ayah empat orang anak ini menceritakan masih jarang tamu negara yang menggunakan bahasa arab. Hal tersebut membuat dirinya mendapat tugas tambahan di UIN Jakarta sebagai dosen. Selain menjadi penerjemah dan dosen, Wadud juga memiliki kesempatan sebagai sekertaris pribadi KBRI di Saudi Arabia.
Pria yang memiliki motto: “apa yang dilihat, didengar dan dirasakan adalah pendidikan” berpendapat, mahasiswa di UIN Jakarta memiliki potensi besar menjadi seorang penerjemah. Paling tidak setiap mahasiswa sudah dibekali Bahasa Arab dan Inggris, tinggal bagaimana mahasiswa mengembangkan dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari. “Apa lagi di UIN Jakarta ada jurusan Tarjamah, Bahasa dan Sastra Arab dan Bahasa dan Sastra Inggris,” tuturnya.
Lulusan Strata 2 Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berbagi tips untuk mahasiswa yang ingin menggeluti bidang penerjemahan. Wadud menjelaskan dalam menerjemahkan yang perlu diperhatikan adalah terjemahan angka, karena apabila salah penyebutan maka salah juga artinya. Seorang penerjemah, lanjut Wadud, harus memiliki banyak wawasan dan referensi. “Setidaknya baca-baca buku mengenai topik yang akan diterjemahkan biar bisa nyambung,” paparnya.
Bukan hanya wawasan dan kehati-hatian dalam menerjemah, kefokusan juga harus dijaga karena penerjemah tidak boleh melewati satu kata pun. Selain itu, ketenangan diri saat menerjemahkan juga tidak boleh ditinggalkan. “Istirahat yang cukup akan membantu proses menerjemahkan secara baik,” tutupnya.
Lia Esdwi Yani Syam Arif
Average Rating