Read Time:2 Minute, 40 Second
Oleh: Muftie Arief
Perjuangan demokrasi melawan kediktatoran rezim militerisme orde baru telah menjadi satu bab tersendiri dalam catatan sejarah Indonesia. Gerakan rakyat yang dipelopori mahasiswa pada 1998 mampu menumbangkan keotoriteran H.M.Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun, namun tidak bisa membersihkan orde baru.
Soeharto sebagai the god father tidak bisa dilihat hanya sebatas pribadi saja, namun harus dilihat sebagai pencipta sistem dan nilai keordebaruan yang sampai sekarang masih tumbuh subur. Atas nama pembangunan, stabilitas nasional dengan jalan kekerasan mengukuhkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme bagi kroni-kroninya. Lama kelamaan praktek tersebut melahirkan nilai bahwa kritik itu tidak sopan dan tidak perlu, korupsi itu wajar, nepotisme itu lumrah, kolusi itu cerdas, dan kekerasan adalah solusi.
Reformasi 1998 juga tidak mampu membatasi para orbais (penganut orde baru) untuk berpetualang. Orbais masih mempunyai kebebasan bersolek diatas panggung politik Indonesia. Tidak heran jika orbais sekarang ada dan berpengaruh di setiap kelompok dan golongan. Penguasa pasca reformasipun tidak bisa lepas dari bayang-bayang orde baru. Berbagai kebijakan represif yang merugikan rakyat terus dikeluarkan untuk menjaga kepentingan pemodal, sedangkan aktifis dan pengkritik ditangkap.
ABRI (TNI sekarang), Birokrasi, dan Golkar atau biasa disebut ABG sebagai penopang kekuasaan orde baru mampu memainkan peran dengan cantik saat terjadi transisi demokrasi saat reformasi. Alhasil semua kekuatan politik saat ini terinfiltrasi dan dikontrol oleh orbais. Saat ini tidak ada satupun partai politik yang bisa lepas dari jerat orbais. Tidak heran jika sekarang posisi-posisi strategis penyelenggaraan negara diisi oleh orbais, bahkan tokoh-tokoh sentral dalam politik digenggam oleh orbais.
Saat ini hasrat kekuasaan orbais sudah memuncak. Upaya mengembalikan kekuasaan orde baru secara penuh terus didorong kencang. Orbais menggencarkan politik identitas untuk meradikalisasi masyarakat. Konflik horisontal antar suku, ras, agama, dan golongan dipertajam untuk semakin mengkisruhkan keadaan. Isu PKI, Syiah, Liberal, Cina, dan seterusnya sengaja disebar untuk meresahkan masyarakat sekaligus sebagai sarana konsolidasi orbais dan para simpatisan. Perlahan masyarakat akan digiring pada kesadaran semu pentingnya supremasi TNI dengan mengembalikan Dwifungsi ABRI seperti jaman orde baru.
Sebagai bumbu penyedap, ketidak mampuan penyelenggara negara mengendalikan kasus korupsi, utang luar negeri, menurunnya daya beli, pertumbuhan ekonomi, penjualan BUMN, dan lain sebagainya dieksploitasi terus menerus. Hal ini dijadikan senjata orbais untuk mengklaim bahwa reformasi 1998 salah dan telah gagal. Operasi pengembalian memori masyarakat pada romantisme orde baru semakin lancar. Masyarakat dibuat seolah-olah rindu dengan rezim militerisme orde baru dengan jargon “Penak Jamanku”.
Di sisi lain, pemerintah dibawah komando Ir. Joko Widodo tidak berdaya dari jerat orbais. Kepungan orbais disekelilingnya membuat kebijakan Jokowi tidak bedanya dengan Soeharto. Sebagai contoh dikeluarkannya Perppu Ormas yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan memasung hak warga negara untuk berserikat. Banyak elemen masyarakat yang menolaknya, namun Jokowi tidak memperdulikannya. Tidak hanya itu, maraknya penangkapan terhadap aktifis menunjukan bahwa Jokowi sudah menjadi rezim anti kritik seperti Soeharto. Semuanya ini tidak lepas dari orbais yang sampai sekarang masih mengontrol Jokowi.
Bila diperhatikan, antara yang didalam pemerintahan dan oposisi saling bersaut-sautan. Sikap fanatik masyarakat pada dua kubu yang seolah sedang bertarung dimanfaatkan dengan sedemikian rupa. Aksi dan reaksi yang terjadi semua dalam seting besar orbais untuk menciptakan kondisi dimana orde baru akan kembali berkuasa secara penuh.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota aktif Gerakan Pemuda Patriotik Indonesia
Average Rating