Read Time:3 Minute, 53 Second
*Oleh A. Humaeni Rizqi
Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan atau yang biasa kita sebut dengan istilah PBAK menjadi kegiatan yang pertama kali dilakukan oleh mereka mahasiswa baru. PBAK dilakukan untuk menta’arufkan antar mahasiswa dengan kondisi/corak aktivitas akademik dan perilaku budaya kampus tersebut. Sehingga mereka dapat menjalankan proses transisi menjadi mahasiswa yang di dalamnya diisi dengan berbagai kegiatan terkait dengan kegiatan akademik, budaya mahasiswa serta kebijakan kampus yang menjadi bekal untuk mendukung keberhasilan mereka dalam menempuh studi di berbagai macam jurusan disiplin ilmu yang berbeda. Mampu mengembangkan sikap kritis, dan kreativitas, serta penguatan mental mahasiswa dalam menumbuhkan pemahaman dan penghayatan mahasiswa terhadap Tri Darma perguruan tinggi.
Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ramai digibahkan baik oleh kalangan akademis dan mahasiswa setelah munculnya peraturan atau tata tertib yang diterbitkan oleh pihak rektorat dalam mengatur proses berjalannya PBAK tersebut. Dalam peraturan nomor empat poin b memberlakukan bahwa mahasiswi diharuskan berkerudung yang tidak menutup wajah (tampak muka). lengkap redaksinya “mahasiswi: baju putih lengan panjang, rok panjang hitam, sepatu hitam, kaos kaki putih, berkerudung hitam (tidak berbahan kaos), tidak menutup wajah (tampak muka) dan selempang sesuai dengan warna bendera masing-masing fakultas.
Kalimat “tidak menutup wajah (tampak muka) merupakan pelarangan kampus terhadap mahasiswi baru untuk tidak menggunakan cadar. Padalah cadar hanya sebatas benang yang dipintal menjadi kain kemudian dibentuk menyerupai masker untuk menutup wajah dengan hanya menampakan bola mata.
UIN Syarif Hidayatullah sebagai kampus negeri mempunyai moto knowledge, piety, dan integrity merupakan acuan atau pijakan dalam segala aktivitas baik berupa aturan dan kebijakan. Sehingga ada ketidaksesuain menerapkan peraturan pelarangan memaksi cadar bagi mahasiswa baru di kampus pada saat PBAK. Pasalnya ini dapat membunuh karakter kampus dan juga menjadi paradoks dalam mencapai spirit mewujudkan kampus madani. Peraturan tersebut jelas melanggar moto kampus, Sebagai kampus knowledge UIN Syarif Hidayatullah memiliki komitmen dalam menciptakan sumber daya insani yang cerdas, kreatif, dan inovatif. Padahal komitmen tersebut dibentuk atas tanggung jawab kampus yang mayoritas muslim.
Penekanannya jelas terletak pada moto yang ke dua dan ke tiga. Yaitu piety dan integrity. Piety atau kita kenal dengan kealiman atau kesalehan. Ini tercermin dalam setiap individu dikalangan sivitas akademika kampus dalam habl min Allah dan juga kesalehan sosial yaitu hablm min Allah. Term itulah yang menjadi pijakan membangun relasi sosial yang luas serta menjadi unsur terlahirnya sikap plural dan toleran. Pada integrity mengandung pengertian bahwa sivitas akademika merupakan pribadi yang menjadikan nilai-nilai etis sebagai basis dalam pengambilan keputusan dan perilaku sehari-hari. Selain itu, kepercayaan diri atau komitmen kampus dalam menghargai kelompok lain. Jelas komiten dalam menjaga integritas tidak terpenuhi dan kampus mejadi kampus yang tidak berintegritas. Moto-moto tersebut dengan berbagai macam dimensnya jelas telah terbunuh dengan adanya peraturan bahwa mahasiswa baru dilarang memakai cadar pada saat PBAK. Sehingga dapat dikatakan bahwa UIN Syarif Hidayatullah melakukan bunuh diri.
Kampus yang berlabel Islam seharusnya dapat mengamalkan nilai-nilai keislaman, cerminan itu dapat tergambar dikalangan mahasiswa, dosen atau pun pegawai kampus dengan berbagai macam aktivitasnya. Dua nilai keislaman yaitu plural dan toleran terlewatkan, padahal dua nilai itu menjadi pondasi dari kemajemukan sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang beragam. Sivitas akademika kampus dalam menghayati nilai plural dan toleran tidak hanya sebatas dalam bentuk teori saja tapi harus ada praktik yang kongkreat yang tidak menjadi paradoks dalam pelaksanaanya.
Ketidakrasional peraturan menjadi polemik dan muncul berbagai macam stigma bahwa pelarang itu menjadi kanal politik yang dilakukan oleh rektorat untuk berbagai macam kepentingan mereka. Jika pemakaian cadar beralasan pencegahan dini terhadap bahaya paham radikalisme dan terorisme ini bertambah tidak masuk akal, karena cadar hanya sejenis kain atau pakaian bukan paham yang dapat menebarkan virus-virus bahayanya radikalisme dan terorisme. Sehingga tidak mungkin kain itu merupakan alat yang berbahaya. Ukuran perempuan dikatakan sebagai seorang yang menganut paham radikalisme dan terorisme bukan dilihat dari hal yang tampak yang dipandang itu menjadi simbol oleh sebagian orang untuk mencirikan seseorang yang radikalisme dan terorisme, sehingga ini tidak dapat dijadikan sebagai indikator.
Kampus sebagai lingkungan akademik/pendidikan seharusnya mejadi tempat pencerdasan terhadap masyarakat khusunya masyarakat kampus, bukan melakukan anomali terhadap masyarakat. Apalagi sampai mendikotomikan mereka yang bercadar untuk diintervensi dan dipinggirkan. Asasi manusia yang fitrahnya terus berada pada jalur kehanifan harus di insafi agar dapat terus saling mengindahkan dan menghormati sesamanya.
Menjungjung nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi kewajiban bagi setiap individu dan juga organisasi, termasuk kampus yang pada dasarnya menjadi tempat untuk upaya mempelajari dan menghayati nilai-nilai pancasila secara praktis. Jika lebih lanjut kampus dijadikan laboratorium dalam kemajemukan bangsa Indonesia. Sehingga ini menjadi model untuk dicontoh oleh kampus-kampus yang lainya. Dengan demikian wujud keislaman, kebangsaan, dan kemodernan tercermin dalam diri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jayalah Negara, Jayalah Bangsa, UIN bakti nyata.
*Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta
Average Rating