Perempuan di Panggung Politik, dari Masa ke Masa

Perempuan di Panggung Politik, dari Masa ke Masa

Read Time:4 Minute, 4 Second
Perempuan di Panggung Politik, dari Masa ke Masa

Oleh Novita Soplanit 

Perempuan lahir dari Masa ke Masa. Eksistensi yang ada seharusnya tidak teralienasi oleh kepentingan-kepentingan organisasi masyarakat (ormas), konstitusi atau individu. Bukankah perempuan adalah tiang? atau bagian dari evolusi peradaban muka bumi ini?
Secara kuantitas, perempuan Indonesia yang berjumlah 101.625,816 jiwa atau 51% dari seluruh penduduk Indonesia yang menempati. Oleh sebab itu, adanya konstruksi budaya dalam masyarakat, perempuan mau tidak mau harus menempati posisi kedua setelah laki-laki. Atau dalam bahasa lain: pembagian kerja berbasis jenis kelamin (gender based division of labor).
Seharusnya, keadilan (justice) terutama di negeri ini harus ditegakkan oleh setiap laki-laki dan perempuan. Sejatinya jika kedua pihak memiliki kesadaran eksistensial untuk memahami hakikat dirinya sebagaimana manusia (human). Maka menurut hemat saya keduanya, memiliki potensi yang setara dalam mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang bersosial.
Oleh karena itu, aktivis perempuan tidak henti-hentinya berjuang untuk meningkatkan kesadaraan perempuan secara utuh dari yang sadar maupun tidak sadar telah mengadopsi praktek-praktek patriarki, bahkan bodohnya perempuan sendiri menerima keadaan tersebut sebagai kodrat (given).
Sebenarnya, bagaimana kiprah perempuan di panggung politik dari masa ke Masa terutama di Indonesia, khusunya di bidang politik? untuk itu, penulis ingin mencoba menuturkan di dalam tulisan ini kiprah perempuan di panggung politik dari masa ke masa.
Perempuan Dan Pergerakan
Sebelum Republik Indonesia merdeka, perjuangan aktivitis perempuan, telah ada. Hal ini dikuatkan oleh berdirinya organisasi-organisasi perempuan yang berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia. Misalnya, organisasi Pawijatan Wanito di Magelang berdiri sejak tahun 1951 dan PIKAT (Perantaraan Ibu Kepada Anak Temurun) yang dibentuk di Manado pada tahun 1917. Selain itu, di Surabaya juga ada organisasi perempuan yang dikenal dengan nama Poetri Boedi berdiri sejak tahun 1919 (Suryochondro, 1999.3).
Jika melihat organisasi-organisasi yang sudah berdiri. Saharusnya, aktivitis perempuan, atau pihak-pihak legislator yang simpatisan untuk menyalamatkan kesadaran regenerasi Milenal di abad 21 ini, setidaknya organisasi tersebut menjadi inspirasi bagi gerekan kaum perempuan yang terus menjamur pada masa selanjutnya, yakni masa pasca-kemederkaan hingga memasuki pra orde lama.
Jika mau dikerucutkan lagi, perkembangan organisasi semakin nampak setelah lahirnya Kongres Wanita Indonesia (kowani) pada tahun 1945. Kowani merupakan “reinkarnasi” dari organisasi yang telah didirikan sejak tahun 1928, yaitu (PPPI) Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia.
Sayangnya, pada 1965 Kowani sendiri menghadapi persoalan yang cukup serius, yakni pimpinannya mengalami goncang-gancing terhadap gerakan G 30 S/PKI. Namun demikian, gejolak tersebut melahirkan organisasi perempuan sebagai bentuk respon atas fenomena tersebut, yakni Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (Kawi). Tidak hanya itu organisasi lain yang muncul adalah (Gerwani) Gerakan Wanita Indonesia yang kerap kali dicap, sebagai sekte komunis (Kompas, 7 Oktober 1999).
Konstruksi Polemik, Politik Gender Sebagai Jalan Keluar
Jika mengacu terhadap Sustainable Development Goal (SDGs), sebagai kelanjutan Millenium Devoplment Goals (MDGs), beberapa di negara dunia telah menetapkan kesataraan (gender) sebagai salah satu tujuan (goals). Artinya, kesetaraan gender yang dimaksud di sini adalah yang terkait dengan pemberdayaan perempuan yang terkmaktub dalam pilar atau benteng pembangunan manusia. Saharusnya ini dijadikan realisasi di dalam macam-macam bidang, termasuk bidang politik. Menurut analisis saya. Jalan bagi kaum perempuan sudah terbuka sejak lama untuk berkiprah di kancah politik
internasional.
Namun demikian, perjuangan perempuan masih menemui jalan berliku karena hingga saat ini untuk mencapai wilayah publik (lembaga ligislatif) harus melalui pintu partai politik sebagai satu-satunya mesin politik di Indonesia. Padahal, tidak semua partai politik berpihak kepada perempuan. Artinya dunia politik masih kental dengan budaya maskulinisme.
Misalnya, rapat partai dilakukan pada malam hari hingga menjelang subuh. Keadaan ini menyulitkan ruang bagi perempuan, yang secara tradisional terkait dengan beban kewajiban untuk menjaga anak dan melayani suami. Sehingga, hal tersebut menghambat kebebasan perempuan untuk berperan lebih jauh lagi di kancah politik.
Dalam pemberdayaan perempuan kita sering melupakan atau pura-pura lupa sekalipun unit kecil dalam kelembangaan masyarakat “keluarga”, di mana “ibu” mengambil peranan penting di dalamnya. Di tambah mayoritas perempuan tidak mandiri secara ekonomi. Artinya, secara finansial masih bergantung terhadap suami.
Kalau pun, aktivis perempuan telah berhasil mendesak sikap afirmatif dalam UU Pemilu yang memuat kuota 30% bagi keberadaan calon anggota legislatif perempuan, itu pun tidak berjalan mulus menundukkan perempuan sebagai wakil rakyat. Tidak hanya itu, sistem zipper yang sedianya dianggap mampu menaikkan keterwakilan perempuan di parlemen justru harus “kandas” karena “dipatahkan” melalui (MK) Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, perjuangan perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Kalau pun ada olok-olok perjuangan perempuan di parlemen bisa berfungsi efektif sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol (cheks and balances) atau sebagai wadah pemberdaayan kaum perempuan di Indonesia, pada akhirnya berujung kandas.
Oleh karena itu, perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender tidak dapat dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, melainkan diperlukan afiliasi atau kerjasama dengan entititas sosial lain yang memiliki kepekaan tehadap persoalan perempuan (gender sensitivity).
Di samping itu, perjuangan tersebut juga memerlukan komitmen bersama dari pengambil keputusan, tokoh masyarakat,tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum cendekiawan, beserta seleruh elemen masyarakat dalam rangka meligitimasi berbagai kendala kultural, struktural, dan instrumental dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di muka bumi ini.
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Baharu Sistem Orientasi Kampus Previous post Baharu Sistem Orientasi Kampus
Tiga Jalur Seleksi Turun Peminat, UKT Dianggap Cacat Next post Tiga Jalur Seleksi Turun Peminat, UKT Dianggap Cacat